Rabu, 28 April 2010

TAHLILAN UNTUK MAYIT TIDAK PERNAH DICONTOHKAN OLEH RASULULLAH DAN IMAM SYAFI'I

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata'ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata'ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata'ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Allah subhanahu wata'ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata'ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu 'anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6

Senin, 19 April 2010

DI BALIK FENOMENA FACEBOOK

Ketika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuah episode infotainment setiap hari.
Ketika aib seseorang ditunggu-tunggu ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa.

Ketika seorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasei yang ditunggu-tunggu ...’siapa calon bapak si jabang bayi?’
Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.

Wuiih......mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.

Wuiiih......ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnya apapun diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohon maaf ....’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.

Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :
Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya.....?”------kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mau ditemanin? Dijamin puas deh...”

Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua, biasa....habis malam jumat ya begini...:” kemudian komen2 nakal bermunculan...

Ada yang menulis “ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....”, ----kemudian komen2 pelecehan bermunculan.


Ada pula yang komen di wall temannya “ eeeh ini si anu ya ...., yang dulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu....” ----lupa klu si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis.

Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya “habis minum jamu nih...., ada yang mau menerima tantangan ?’----langsung berpuluh2 komen datang.
Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit...”
Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget...bakal tidur pake dalaman lagi nih” .
Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin ada komen-komen dari lainnya.

Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.

Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.


Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru sj di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yg didalam foto tersebut sudah berjilbab



Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudah berubah dari kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan islami, foto saat dulu jahiliyah bersama teman2 prianya bergandengan dengan ceria....



Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang.



Rasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintai Allah...., yaitu Muhammad SAW, Rasulullah kepada umatnya. Seseorang yang sangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketika Rasulullah bertanya pada Aisyah r.ha

“ Wahai Aisyah apa yang dapat saya makan pagi ini?” maka Istri tercinta, sang humairah, sang pipi merah Aisyah menjawab “ Rasul, kekasih hatiku, sesungguhnya tidak ada yang dapat kita makan pagi ini”. Rasul dengan senyum teduhnya berkata “baiklah Aisyah, aku berpuasa hari ini”. Tidak perlu orang tahu bahwa tidak ada makanan di rumah rasulullah....



Ingatlah Abdurahman bin Auf r.a mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekah ke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dan sebagian rumahnya,

maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan saja saya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaan hidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimanan seseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda, “Malu itu sebahagian dari iman”. (Bukhari dan Muslim).



Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni ‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.Dan Rasulullah SAW menegaskan dengan sindiran keras kepada kita“Apabila kamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau.” (Bukhari).

Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.

Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakan cahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allah kemudian ter inqilabiyah – tershibghoh, tercelup dan terwarnai cahaya ilahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.

Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu, mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.

Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’ membuat Iffah kita luntur tak berbekas.

catatan
***"Iffah (bisa berarti martabat/kehormatan) adalah bahasa yang lebih akrab untuk menyatakan upaya penjagaan diri ini. Iffah sendiri memiliki makna usaha memelihara dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak halal, makruh dan tercela."

Sumber : FTJAI

Judul Asli : Ketika Iffah mulai luntur (dibalik fenomena facebook)
---------------------------------------------------------------------------------------------
Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”( HR Muslim)

Apabila ada kebaikan dalam catatan ini, maka sebaiknya mari kita SEBARKAN untuk dibaca oleh orang yg kita cintai

“Orang yang menyeru (menyuruh/menasehatkan) kepada kebaikan akan memperoleh pahala seperti orang yang mengamalkan seruannya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan sedikitpun. Sebaliknya, orang yang menyeru kejahatan akan mendapatkan dosa seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengamalkannya sedikitpun.” (HR. Muslim)

Kemujaraban Al-Fatihah Yang Mengandung Kesembuhan bagi Hati dan Kesembuhan bagi Badan

Kandungan Al-Fatihah yang mampu menyembuhkan hati meru-
pakan kandungannya yang paling komplit. Sumber penyakit hati dan
deritanya ada dua macam: Ilmu yang rusak dan tujuan yang rusak. Dari dua sumber ini muncul dua penyakit lain: Kesesatan dan kemarahan. Kesesatan merupakan akibat dari ilmu yang rusak, sedangkan kemarahan merupakan akibat dari tujuan yang rusak. Dua jenis penyakit ini merupakan inti dari semua jenis penyakit hat i. Hidayah ke jalan yang lurus men-jamin kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon hidayah ini merupakan doa yang paling wajib bagi setiap hamba, yang juga diwajibkan atas dirinya setiap malam dan siang, dalam setiap shalat dan saat terdesak keperluan.

Sedangkan penegasan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in secara ilmu dan ma’rifat, amal dan kondisional, menjamin kesembuhan dari penya-kit hati dan tujuan yang rusak. Sebab tujuan yang rusak ini berkaitan dengan sasaran dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang pasti akan ter-putus dan fana, menggunakan berbagai macam sarana untuk dapat me-raihnya, maka hal itu justru akan menjadi beban baginya dan tujuannya jelas salah.

Inilah keadaan setiap orang yang tujuannya untuk mendapatkan hal-hal selain Allah dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang yang hanya ingin memuaskan nafsunya, para tiranyang menopang kekuasaannya dengan segala cara, tak peduli benar maupun batil. Jika ada kebenaran yang menghambat jalan kekuasaannya, maka mereka mendepaknya. Jika tidak mampu mendepaknya, mereka akan menepis kebenaran itu, layaknya pemelihara sapi yang menyingkirkan sampah di kandang. Jika mereka tidak bisa melakukannya, mereka menghentikan langkah di jalan itu lalu mencari jalan lain. Dengan cara apa pun mereka siap menolaknya. Jika ada kebenaran yang mendukung kekuasaan, mereka mendukungnya, bukan karena itu merupakan kebenaran, tapi karena kebenaran itu yang kebetulan sejalan dengan tujuan dan nafsunya.

Karena tujuan dan sarana yang dipergunakan rusak, maka mereka
adalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi, jika tujuan yang mereka raih meleset. Merekalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi di dunia, yaitu jika kebenaran dikatakan benar dan kebatilan dikatakan batil. Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Penyesalan ini akan semakin nyata tatkala mereka meninggal dunia dan menghadap Allah serta berada di alam Barzakh.

Begitu pula orang yang mencari tujuan yang tinggi dan sasaran yang
mulia, namun tidak menggunakan sarana yang mendukungnya untuk
meraih tujuan itu, dia hanya mendugaduga sarana yang digunakannya itu akan mendukungnya. Keadaan orang ini tak jauh berbeda dengan orang yang pertama. Dia tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.

Obat ini mempunyai empat komposisi: Ibadah kepada Allah, perintah
dan larangan-Nya, memohon pertolongan dengan beribadah kepada-Nya, tidak dengan hawa nafsu, tidak dengan pendapat manusia dan
pemikirannya, tidak dengan diri manusia dan kekuatannya. Inilah unsur-unsur yang terkandung di dalam obat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Jika unsur-unsur ini diramu oleh seorang dokter yang berpengalaman, tentu akan menjadi obat yang sangat mujarab.

Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika
seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa, yaitu riya’ dan taka-bur. Obat riya adalah iyyaka na’budu, sedangkan obat takabur adalah iyyaka nasta’in. Seringkali kami mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Iyyaka na’budu menolak penyakit riya’, dan iyyaka nasta’in menolak penyakit takabur.”

Jika seseorang diberi kesembuhan dari penyakit riya’ dengan iyyaka
na’budu, diberi kesembuhan dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaka nasta ‘in, diberi kesembuhan dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan ihdinash-shirathal-mustaqim, berarti dia telah diberi kesembuhan dari segala macam penyakit. Namun di antara orang-orang yang menda-pat kenikmatan juga ada yang mendapat murka. Mereka adalah orang-orang yang tujuannya rusak, yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun menyimpanginya. Ada pula di antara mereka yang adh-dhallin (sesat), yaitu mereka yang memiliki ilmu yang rusak dan tidak mengetahui kebenaran.

Tentang surat Al-Fatihah yang mengandung obat bagi penyakit
badan, maka akan kami jelaskan seperti yang telah dijelaskan As-Sunnah dan dikuatkan ilmu medis serta berdasarkan pengalaman. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abul-Mutawakkil An-Najy, dari Abu Sa’id Al-Khudry, bahwa ada beberapa orang dari shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang melewati sebuah perkampungan Arab dalam perjalanannya. Para penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka sebagai tamu, apalagi menjamu. Pada saat yang sama pemimpin mereka disengat hewan. Maka penduduk kampung mendatangi mereka dan bertanya, “Adakah kalian mempunyai mantera atau adakah di antara kalian yang bisa menyembuhkan dengan mantera?”

“Ya, ada. Tapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami
tidak mau mengobati kecuali jika kalian memberikan imbalan kepada
kami.”

Maka penduduk kampung itu sepakat untuk memberikan beberapa
ekor kambing. Maka setiap orang di antara para shahabat itu membacakan Al-Fatihah. Seketika itu pula pemimpin kampung itu bangkit, se-akan-akan sebelumnya dia tidak pernah sakit. Kami berkata, “Janganlah kalian terburu-buru menerima imbalan ini sebelum kita menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.”

Setelah bertemu beliau, mereka menceritakan kejadian ini. Beliau
bersabda, “Apa pendapat kalian kalau memang Al-Fatihah itu benar-benar merupakan ruqyah? Terimalah imbalan itu dan sisihkan bagianku.”

Hadits ini menjelaskan keampuhan Al-Fatihah yang bisa menyem-
buhkan sengatan hewan, sehingga ia berfungsi sebagaimana obat, atau bahkan lebih mujarab daripada obat itu sendiri. Padahal orang yang disembuhkan itu tidak terlalu tepat untuk disembuhkan dengan cara tersebut, entah karena penduduk kampung itu bukan orang Muslim atau karena mereka orang-orang yang kikir. Lalu bagaimana jika yang disembuhkan tidak seperti mereka?

Sedangkan dari teori medis, dapat dibuktikan sebagai berikut, bahwa
sengatan itu berasal dari hewan yang mempunyai racun, yang berarti
mempunyai jiwa yang kotor dan terbentuk karena amarah, lalu menyalurkan unsur racun yang panas lewat sengatan itu. Jika jiwa yang kotor ini terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kemarahan, maka ia akan merasa senang jika dapat menyalurkan racun ke tempat yang layak menerimanya, sebagaimana orang jahat yang merasa senang jika dapat menyalurkan kejahatannya terhadap orang yang layak menerimanya. Bahkan dia merasa tersiksa jika tidak bisa menyalurkan kejahatannya itu kepada seseorang.

Prinsip penyembuhan ialah dengan menggunakan kebalikannya dan
menjaga dengan sesuatu yang serupa. Kesehatan dijaga dengan sesuatu yang serupa dan penyakit disembuhkan dengan kebalikannya. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Bijaksana. Namun hal ini tidak akan berhasil kecuali dengan kekuatan jiwa pelakunya dan reaksi penerimanya. Jika jiwa orang yang disengat tidak layak menerima ruqyah itu dan jiwa yang membacakan ruqyah tidak mampu memberikan pengaruh apa-apa, maka kesem-buhan tidak akan berhasil.

Jadi di sini ada tiga unsur: Kesesuaian obat dengan penyakit, ke-
sungguhan orang yang mengobati dan orang yang diobati bisa meneri-
manya. Jika tidak ada kelaikan pada salah satu unsur ini, maka kesembuhan tidak akan terjadi.

Siapa yang bisa memahami hal ini, tentu dia bisa memahami rahasia
ruqyah tersebut, bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat dan bisa mencocokkan obat dengan penyakit yang hendak diobati, seperti penggunaan pedang untuk memotong barang yang memang bisa dipotong dengan pedang itu.

Sedangkan dari kesaksian pengalaman, maka cukup banyak orang
yang mengalaminya. Saya sendiri pernah mempunyai pengalaman dalam penggunaan Al-Fatihah sebagai ruqyah ini dengan hasil yang benar-benar menakjubkan, terutama pada saat-saat saya menetap di Makkah. Suatu saat saya sakit yang benar-benar amat menyiksa, hingga hampir-hampir saya tidak bisa menggerakkan badan karenanya. Padahal saat itu saya harus mengerjakan thawaf dan lain-lainnya. Maka saya segera membaca Al-Fatihah, lalu mengusapkan telapak tangan ke bagian-bagian tubuh yang sakit. Seakan-akan dari bagian yang sakit itu ada kerikil yang jatuh. Pengalaman seperti ini tidak terjadi hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Pernah juga saya mengambil air Zamzam lalu membacakan Al-Fat ihah pada air itu dan saya meminumnya. Hasilnya, saya merasa mendapat kekuatan baru yang tidak pernah kurasakan yang seperti itu. Tentu saja semua ini harus didasari kekuatan iman dan keyakinan yang benar.

Madarijus Salaikin – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah

Di copi dari:http://shirotholmustaqim.wordpress.com/2010/04/08/kemujaraban-al-fatihah-yang-mengandung-kesembuhan-bagi-hati-dan-kesembuhan-bagi-badan/

(Biografi) Al Qosim bin Muhammad Tabi'in Amanah dari Madinah

Al-Qasim yang banyak meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma-, merupakan seorang tabi’in yang tsiqah (amanah). Wajar jika kemudian ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata, “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.” Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah sebagai anak yatim dalam tarbiyah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiallahu 'anha.
Al-Qasim, yang menurut Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu 'anhuma adalah cucu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu yang paling mirip dengan kakeknya ini, mengatakan: “‘Aisyah adalah seorang mufti wanita dari jaman Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan seterusnya sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba ilmu darinya dan juga duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar”. Ini adalah ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya terhadap ilmu din (agama) meskipun menanggung beban hidup berat sebagai anak yatim.
Ayyub, salah seorang ulama hadits, berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang halal untuknya senilai seratus ribu dinar”. Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan sifat wara’ dan keutamaan Al-Qasim. Bahkan kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia katakan sendiri, “Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak Allah, lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya.”
Adapun ketinggian ilmunya dinyatakan oleh beberapa ulama, di antaranya:
Anaknya, Abdurrahman bin Al-Qasim, berkata, “Ia adalah manusia paling utama di jamannya.” Abdurrahman bin Abiz-Zinad berkata, “Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan seseorang tidak dianggap lelaki hingga ia mengetahui As Sunnah, tak seorang pun yang lebih jenius akalnya darinya.” Khalid bin Nazar (menceritakan, red) dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: “Orang yang paling mengetahui hadits ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman.”
Ia pun memiliki banyak hikmah yang ia ucapkan. Al-Imam Malik berkata, “Al-Qasim didatangi seorang penguasa Madinah yang akan menanyakan sesuatu, lalu Al-Qasim berkata, ‘Berkata dengan ilmu termasuk memuliakan diri sendiri’.” Al-Qasim juga berkata, “Allah menjadikan (bagi) kejujuran, (dengan) kebaikan yang akan datang sebagai ganti dari-Nya”.
Sebelum meninggal, Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya, “Ratakanlah kuburku dan taburilah dengan tanah serta janganlah kamu menyebut-nyebut keadaanku demikian dan demikian.”
Al-Qasim, seorang tokoh tabi’in besar yang buta matanya di akhir kehidupannya, wafat pada masa kekhalifahan Yazid bin Abdil Malik bin Marwan, dalam usia 71 tahun. Tepatnya pada tahun 107 H, sewaktu menunaikan ibadah ‘umrah bersama Hisyam bin Abdil Malik di perbatasan antara kota Madinah dan Makkah.
Walllahu a’lam.
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=580

BIDADARIKU DI DUNIA DAN DI SURGA

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak 186*) dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imran : 14)

186*). Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.

Siapakah yang tak suka dengan hal tersebut? Kita sangat menginginkan pasangan hidup, lalu menginginkan kehadiran sang buah hati. Tak dapat dipungkiri, ingin punya harta yang banyak. Ingin memiliki kendaraan terbaik. Banyak sekali keinginan-keinginan yang lain. Itu adalah hal yang wajar dan lumrah, dan Allah memberikan penekan tentang hal tersebut di penghujung ayat tersebut "... Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."


Kebahagian hidup di dunia menjadi bagian yang banyak diinginkan manusia, Allah pun mengingatkan.... Jangan terlena. Ada kebahagiaan yang hakiki yang harus diraih....

Ingat... itu hanya kesenangan sementara....

Jangan sampai hal tersebut ... akan menghilangkan kebahagiaan yang sesungguhnya.


Allah pun mengingatkan.....

"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At Taubah : 24)

Jangan sampai Allah dikesampingkan, ada tugas pokok yang melekat dalam diri kita,

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. " (QS. Adz Dzaariyaat : 56)

Jauh-jauh hari sebelum kita lahir kita terikat dengan perjanjian kita dengan Allah

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", " (QS. Al A'raaf : 172)

Saatnya kita menata ulang niat kita, jangan sampai niat kita tersimpangkan oleh kepentingan dunia yang hanya sementara

"Amirul mukminin, Umar bin khathab radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.

Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits.

Bolehlah kita menginginkan kesenangan terhadap wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kendaraan terbaik, berbagai aktivitas bisnis.

Tapi jangan sampai lupa untuk senantiasa mengingat Allah.

Selayaknya kita harus bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kita harus bisa mendapatkan pasangan yang akan menjadi pasangan hidup selamanya di dunia dan di akhirat.


Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda:
“Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim,Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalam lafazh lain:
“Sesungguhnya dunia ini adalah perhiasan dan tidak ada di antara perhiasan dunia yang lebih baik daripada wanita yang sholihah.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam lafazh lain:
“Sesungguhnya dunia ini seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah.” (HR. Ahmad)

Ya kita harus bisa mendapatkan wanita yang sholihah!
Kita harus mendidik isteri kita menjadi isteri yang sholihah. Kita harus bisa menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan juga mau berdakwah.

Menjadi rumah tangga kita seperti yang diunggkapkan Rasulullah "Baiti Jannati'

Menjadikan isteri kita lebih dari Bidadari. dan bidadari pun cemburu kepadanya.

Al Imam Ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu Salamah,

bahwa ia Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Ya Rasulullah, jelaskanlah padaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli…”

Beliau menjawab. “Bidadari yang kulitnya bersih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau bak sayap burung Nasar."

Aku (Ummu Salamah) berkata lagi, “Jelaskanlah padaku Ya Rasulullah, tentang firmanNya: Laksana mutiara yang tersimpan baik (Al Waqi’aj 23) ..!”

Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tak pernah tersentuh tangan manusia…”

Aku bertanya, “Ya Rasulullah, jelaskanlah kepadaku tentang firman Allah: Di dalam surga itu ada bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik (Ar Rahman 70) ..!”

Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita.”

Aku bertanya lagi, “Jelaskanlah padaku firman Allah: Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan baik.” (Ash Shaffat 49) ..!”

Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada bagian dalam telur dan terlindung dari kuliat bagian luarnya, atau yang biasa disebut putih telur.”

Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah,jelaskan padaku firman Allah: Penuh cinta lagi sebaya umurnya (Al Waqi’ah 37) ..!

Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia dalam usia lanjut dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Allah menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi, dan umurnya sebaya.”

Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukan bidadari yang bermata jeli?”

Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat.”

Aku bertanya, “Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari?”

Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, “Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”

Aku berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan merekapun masuk surga. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”

Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu diapun memilih siapa di antara mereka yang paling baik akhlaqnya. Lalu dia berkata, “Rabbi, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya…”

…Wahai Ummu Salamah, akhlaq yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.” (HR At Thabrani)


Lalu seperti apakah agar bidadari cemburu padamu?

Menjadikan diri shalihah, agar bidadari cemburu padamu.

Allah berfirman:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri 289*) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)290*). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya 291*), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya 292*). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. " (QS. An Nisaa' : 34)

289*). Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

290*). Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

291*). Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

292*). Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.


Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam ditanya:’Siapakah wanita yang paling baik?’ Beliau menjawab:
‘(Sebaik-baik wanita) adalah yang menyenangkan (suami)-nya jika ia melihatnya, mentaati (suami)-nya jika ia memerintahnya dan ia tidak menyelisihi (suami)-nya dalam hal yang dibenci suami pada dirinya dan harta suaminya.’” (HR. Ahmad, al Hakim, an Nasa’i dan ath Thobrani dan di Shohihkan oleh al Albani).

Jadi jangan sampai salah dalam memilih pasangan, pilihlah wanita yang shalihah.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam beliau bersabda:

“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, kecantikannya dan karena dien (agama)-nya; maka pilihlah yang memiliki dien maka engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bagaimana menjadi wanita Shalihah?

Apakah wanita shalihah itu orang yang berbuat baik, mau sholat, menurut kepada suami selama tidak bertentangan dengan perintah Allah sementara dirinya tidak mau memakai jilbab yang menutupi auratnya?

Selalu Ada Hikmah, Di Balik Percekcokan Rumah Tangga

Oleh: Ustadz Abu Umar Basyier

Hikmah ‘Huru-Hara’ Rumah Tangga
Bagi kaum beriman, pernikahan memiliki nilai multikompleks. Nuansa iman dan pengabdian menjadi motivator tersendiri yang melahirkan berbagai target dan tujuan mulia dalam mengarungi hidup berumah tangga. Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam yang memiliki nilai ‘greget’ paling dominan adalah mencari kebahagiaan.
Kenikmatan Di Balik Prahara
Mencari kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga tak ubahnya mencari ‘benda kesayangan’ yang lenyap di rerimbunan hutan belukar, atau menuntaskan dahaga dengan meneguk air embun yang dikumpulkan dari dedaunan di kebun yang luas membentang. Sesuatu yang harus, tapi tidak bisa diperoleh dengan bersantai-santai, tidak bisa dicapai usaha yang dilakukan setengah-setengah. Namun di situlah letak seni kebahagiaan dalam rumah tangga, bahkan dalam persepsi umum, juga kebahagiaan dalam segala hal.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya di balik kesulitan, pasti terdapat kemudahan.” (Al-Insyiraah : 6)
Pepatah Arab mengatakan:
“Bersusahpayahlah. Kerena kenikmatan hidup itu didapatkan melalui kepayahan.”
Tentu saja, segala kesulitan itu bukanlah hal yang kita cari-cari. Tapi garis takdir dan sunnatullah telah tergurat sedemikian rupa dalam realitas kehidupan rumah tangga siapapun di dunia ini, termasuk rumah tangga Rasulullah r. Bahkan realitas itu mirip dengan fenomena dosa. Setiap muslim harus menghindari dosa. Tapi tak seorangpun yang terbebas dari dosa. Sehingga Rasulullah r menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:
“Masing-masing anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang paling banyak bertaubat.”
Bahkan dalam Miftaah Daaris Sa’aadah jilid kedua, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di antara hikmah terjadinya dosa adalah agar semakin jelas keberadaan Allah sebagai Yang Maha Pengampun, dan juga keberadaan Allah sebagai Yang Maha Dahsyat siksa-Nya. Melalui rangkaian dosa demi dosa, muncul berbagai keutamaan istighfar dan bertaubat. Bahkan karena ‘dosa’ Adam, umat manusia berkesempatan melakukan banyak amal kebajikan, menebarkan amar ma’ruf nahi mungkar di dunia ini. Untuk tujuan itu pula di utus para nabi. Semua itu adalah hikmah dari adanya dosa. Namun tidaklah berarti kita hidup untuk berbuat dosa. Demikian juga halnya berbagai problematika dalam hidup rumah tangga. Meski bukan hal yang dicari-cari, namun mau tidak mau harus tetap dihadapi, dan pada akhirnya, bagi seorang mukmin sejati, pasti akan menyemburatkan ribuan hikmah yang tersembunyi.
Ragam-ragam Kesulitan Rumah Tangga
Saat bahtera rumah tangga di lepas di pantai pelaminan, suka dan duka kehidupan suami istri mulai dikecap secara bergantian. Soal kenikmatan dan kebahagiaannya, tidak perlu diungkapkan lagi. Hanya sepasang pengantin yang sedang ‘dilanda’ bulan-bulan kenikmatan yang mampu mengungkapkannya secara lebih hidup dan nyata. Namun saat hubungan interaksi mulai berlangsung, saat kepekeaan, emosi dan tingkat intelektualitas mendapat ujian menghadapi batu-batu sandungan, masing-masing harus lebih mawas diri. Kesabaran menjadi kata kunci menuju sukseks melawan dera masalah. Kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul, yang mungkin bisa diistilahkan sebagai bumbu rumah tangga, bisa berpangkal dari banyak hal. Mungkin di antaranya sebagai berikut:
1. Perbedaan karakter dasar.
2. Perbedaan tingkat intelejensi, kadar intelektualitas dan wawasan berpikir.
3. Perbedaan usia yang terlalu menyolok.
4. Perbedaan latar belakang pengalaman, satus sosial dan lingkungan hidup.
5. Perbedaan pemahaman dan prinsip hidup dan beragama.
6. Kurangnya pengalaman interaksi sosial.
7. Kesulitan ekonomi.
8. Cacat dan kekurangan pisik ataupun mental yang baru diketahui belakangan.
Di antara beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga tersebut, ada yang bersifat prinsipil sehingga tidak bisa ditolerir, seperti perbedaan prinsip hidup dan pemahaman agama. Dalam hal ini, harus ada penyatuan melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Bila tidak mungkin, bisa menjadi kendala yang tidak akan terselesaikan kecuali dengan perceraian. Di antara faktor lain, ada yang sah dijadikan alasan untuk ‘menggugat pernikahan’, seperti cacat tersembunyi, atau perbedaan tingkat intelejensi dan status sosial yang terlalu menyolok. Dalam istilah agama disebut perbedaan kufu. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi sama sekali. Sementara faktor-faktor lain lebih menyerupai kendala umum yang hampir dialami oleh setiap rumah tangga.
Menghindari Badai
Segala persoalan dan kesulitan dalam rumah tangga, sekecil apapun, sering terlihat bagaikan badai laut, karena terasa mengusik kenikmatan yang sedang dicoba untuk diraih secara optimal. ‘Badai’ itu sudah pasti ada, besar atau kecil. Kita tidak dituntut untuk melawan goncangan badai, namun usahakan secerdik mungkin menghindarinya atau menghindari bahayanya bila memang ‘sang badai’ sudah sempat menerpa.
Badai rumah tangga seringkali tampil dalam wujud percekcokan antara suami istri. Kalau dibilang sebagai bumbu, mungkin lebih layak disebut bumbu yang terlalu pedas. Karena percekcokan antara dua insan yang seharusnya bersatu, yang seharusnya tenggelam dalam suasana tentram, penuh dengan kasih saying, jelas berpengaruh amat besar terhadap kebahagiaan masing-masing pihak, bahkan berpengaruh pada penyelesaian tugas masing-masing dalam rumah tangga. Banyak nasihat para ulama yang dipaparkan dalam buku-buku panduan pernikahan untuk mengatasi terjadinya kasus percekcokan pasutri tersebut. Mungkin bisa kita tarik beberapa point terpenting di antaranya:
1. Mempelajari hukum-hukum syariat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r. Kiat pertama ini untuk membentengi masing-masing pasutri dalam kesalahan mengambil sikap saat akan, sedang atau setelah terjadinya konflik.
2. Meneliti kembali hak dan kewajiban masing-masing. Dengan kiat ini, diharapkan kesalahan akibat melalaikan hak dan kewajiban yang sering menimbulkan polemik bisa dihindari, setidaknya diminimalisir.
3. Meminta nasihat orang tua dan alim ulama. Orang tua diperlukan dengan pengalamannya. Sementara para ulama dibutuhkan dengan ilmu, wawasan dan fatwanya. Menyelesaikan segala hal dengan segala keterbatasan diri sendiri adalah sikap nekat yang sering berakibat fatal.
4. Mengoptimalkan kesabaran, bila perlu melatih diri untuk menjadi lebih penyabar dan tabah menghadapi segala masalah. Di dalam hidup berumah tangga, kesabaran lebih dibutuhkan daripada sekedar berinteraksi dengan teman dekat misalnya. Istri, bagi seorang suami, sudah menjadi belahan jiwa. Sehingga menghadapi seorang istri yang sulit memahami ungkapan dan penjelasannya saja seorang suami sudah bisa dibikin susah. Oleh sebab itu, tidak jarang seorang suami tampil demikian percaya diri dan amat meyakinkan di hadapan publik, namun menjadi amat bodoh dan tidak punya nyali di hadapan istrinya. Demikian juga seorang istri. Seringkali seorang istri mampu menahan berbagai terpaan fitnah hebat dari luar rumah, namun menjadi pusing tujuh keliling, hanya menghadapi seorang suami yang menimbulkan masalah-masalah sederhana. Di situ kesabaran diuji.
5. Memaklumi sebagian kekurangan. Ibarat pepatah Arab yang artinya: “Siapa yang mencari kawan tanpa kekurangan, pasti akan hidup tanpa kawan.” Nabi r juga telah memperingatkan kita agar memaklumi sebagian dari kekurangan pasangan kita. Karena bila kita kecewa terhadap salah satu sifat buruknya, pasti kita akan dibuat terperangah dan senang oleh sifatnya yang lain.
6. Bertaubat. Hanya taubat yang tulus yang dapat membuka pintu hati masing-masing pasangan suami istri untuk mengetahui kekurangannya, untuk mau memperbaiki diri dan menjalankan segala kewajibannya di hadapan Allah dan terhadap pasangannya. Allah berfirman dalam surat At-Tahriem ayat 10, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian dengan taubat yang tulus. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian..”
Taubat yang tulus membuka pintu ampunan Allah . Seringkali salah satu pasangan suami istri menukas cerdik,
“Kalau Allah l saja mau memberikan ampunan, kenapa kita tidak?”
Mungkin bisa dijawab dengan canda ringan,
“Ya bisa saja, tapi ada syaratnya. Taubat kan juga ada syaratnya.”
Mungkin pasangan lain bisa menimpali: “Okey. Syaratnya boleh apa aja.”
1. Jangan mendramatisir persoalan. Bila masing-masing pihak sudah berbaikan, coba tekan permasalan hingga ke bawah telapak kaki. Jangan mendramatisir suasana, misalnya dengan nyeletuk: “Aduh, gara-gara kamu tadi, aku jadi gak bisa kerja. Kepalaku pusing!” Atau dengan nada kesal melontarkan kata-kata: “Baik, aku maafkan. Tapi rasanya ku tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidupku!”
Semua sikap seperti itu sering berakibat buruk. Sering menunda-nunda terjadinya perbaikan antara kedua belah pihak. Untuk itu, faktor kesabaran yang ditambah dengan formula ‘mudah mengalah’, amatlah dibutuhkan.
Pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang muncul melalui penempaan, gemblengan dan cobaan. Justru di situlah letak dari ‘seni hidup’ di dunia ini. Sementara bagi seorang mukmin, kebahagiaan di dunia hanya merupakan garis kodrat yang harus dilaluinya melalui berbagai upaya memaksimalkan penghambaan dirinya terhadap Allah, sehingga akan melahirkan kebahagiaan ‘super sejati’ di akhirat nanti, yang tidak lain, bagi seorang mukmin, adalah pintu keluar dari penjara dunia…..

Mengenal Para Ulama Pembaharu Dalam Islam

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A

Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:

“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”[1].

Arti “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah r yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah r, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan syirik dan bid’ah[2].

Perhitungan akhir seratus tahun dalam hadits ini adalah dimulai dari waktu hijrah Rasulullah r dari Mekkah ke Madinah[3].

Sabda beliau r “…orang yang akan memperbaharui (urusan) agama…” tidak menunjukkan bahwa mujaddid di setiap akhir seratus tahun hanya satu orang, tapi mungkin saja pada waktu tertentu lebih dari satu orang, sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnu Hajar dan para ulama lainnya[4].

Dalam hal ini, imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah r (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah r”[5].

Para ulama telah menyebutkan nama-nama para imam Ahlus sunnah yang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam, berdasarkan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut.

Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan beberapa di antara para imam tersebut beserta sekelumit dari biografi mereka.

1- ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz bin Marwan bin Hakam al-Qurasyi al-Umawi al-Madani

Beliau adalah khalifah yang tersohor dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mu’minin, imam tabi’in yang mulia, penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H.

Ibunya adalah cucu sahabat yang mulia Umar bin Khattab t, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin Umar bin Khattab[6].

Beliau diserupakan dalam keadilan dan kelurusan akhlak dengan kakek beliau Umar bin Khattab t, dalam sifat zuhud dengan Hasan al-Bashri, dan dalam ketinggian ilmu dengan imam az-Zuhri.

Imam asy-Syafi’i memuji beliau dengan mengatakan: “al-Khulafa’ ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah I) ada lima orang: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz”.

Para ulama Ahlus sunnah telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam.

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah r (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah r. Kemudian kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, dan (pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah imam asy-Syafi’i.

2- Imam asy-Syafi’i, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin al-‘Abbas bin ‘Utsman al-Muththalibi al-Qurasyi al-Makki.

Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah Rasulullah r, ahli fikih yang ternama, penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah r.

Imam Qutaibah bin Sa’id memuji beliau dengan mengatakan: “Kematian imam Syafi’i berarti kematian sunnah Rasulullah” .

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “(kedudukan) imam Syafi’i (di jamannya) adalah seperti matahari bagi bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia.

Para ulama Ahlus sunnah juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam.

Imam Ahmad berkata: “…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah imam asy-Syafi’i.

Imam Ibnu Hajar berkata: “Beliau adalah mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah)”.

3- Hasan al-Bashri, Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri

Beliau adalah Imam besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r. Lahir pada tahun 22 H dan wafat 110 H.

Beliau pernah disusukan oleh Ummu Salamah t, Istri Rasulullah r dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab t agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia.

Imam Muhammad bin Sa’ad memuji beliau dengan mengatakan: “Beliau adalah seorang yang berilmu (tinggi), menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya, sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah”.

Beliau termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah).

4- Muhammab bin Sirin, Abu Bakr al-Anshari al-Bashri

Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syikhul Islam, sanagt wara’ (berhati-hati dalam masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya dan kokoh dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r. Beliau wafat pada tahun 110 H.

Imam Abu ‘Awanah al-Yasykuri berkata: “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah”.

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah).

5- Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihab az-Zuhri al-Qurasyi al-Madani

Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, penghafal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan dan kecermatan hafalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H .

Imam ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz memuji beliau dengan mengatakan: “Tidak tersisa seorangpun (di jaman ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah r dari pada az-Zuhri”.

Imam Ayyub as-Sakhtiyani: “Aku belum pernah melihat (seorangpun) yang lebih berilmu dari pada beliau” .

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah).

6- Yahya bin Ma’in, Abu Zakaria al-Bagdadi

Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil (penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang ternama, penghafal hadits yang utama, dan gurunya para ulama Ahli hadits. Lahir pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H.

Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau dengan mengatakan: “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah swt ciptakan (khusus) untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah saw), dengan beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah saw)”.

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah).

7- Imam an-Nasa’i, Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan

Beliau adalah imam besar, syaikhul Islam, penghafal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H.

Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau dengan mengatakan: “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghafal hadits dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya”.

Imam Abul Hasan ad-Daraquthni berkata: “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di jaman beliau”.

Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah.

Catatan penting

- Banyak para imam besar Ahlus sunnah yang terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah saw, akan tetapi mereka tidak dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di jamannya, padahal mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Hal ini disebabkan masa hidup mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas, dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka.

- Termasuk para imam Ahlus sunnah yang dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di abad ke-12 Hijriyah adalah imam syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi (wafat 1206 H)[36]. Dalam hal ini syaikh yang Mulia ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Termasuk di antara para imam (Ahlus sunnah) yang mendapatkan petunjuk (dari Allah I) dan da’i yang mengusahakan perbaikan (umat ini) adalah imam yang sangat dalam dan luas ilmunya, pembaharu ajaran Islam yang telah ditinggalkan (manusia) di abad ke-12 Hijriyah dan penyeru kepada sunnah Rasulullah r, syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali at-Tamimi al-Hambali, semoga Allah memperindah (menerangi) tempat peristirahannya dan memuliakannya di surga sebagai tempat menetapnya”.

- Demikian pula yang disebut-sebut para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam Ahlus sunnah yang ternama: syaikh yang mulia Muhammad Nashiruddin al-Albani dan syiakh yang mulia ‘Abdul ‘aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmati semua ulama ahlus sunnah yang telah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 24 Rabi’ul Tsani 1431 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Kamis, 15 April 2010

Masih Ada yang Meragukan Haramnya Anjing?!

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Setelah kami mengkaji beberapa makanan atau hewan yang diharamkan dalam Al Qur’an Al Karim dalam posting sebelumnya. Dalam posting kali ini kami akan menjelaskan bahwa makanan yang diharamkan bukan sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sebagian kaum muslimin ada yang memahaminya seperti itu. Sehingga akibatnya mereka nyatakan bahwa anjing itu halal karena tidak diharamkan dalam Al Qur’an.

Dalil mereka adalah ayat berikut ini,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).

Berdasarkan ayat ini ada dua kesimpulan dari mereka. Pertama, hukum asal setiap makanan itu halal karena ayat ini jelas menyatakan, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya”. Kedua, yang dikecualikan dari pernyataan halal sebelumnya artinya menjadi haram adalah empat macam yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Jadi ada empat saja yang terlarang. Dalam ayat ini tidak disebutkan anjing, maka asalnya anjing itu halal.

Baiklah, apakah pemahaman semacam ini dibenarkan? Itu yang insya Allah akan kita bahas. Intinya, kami akan memaparkan bahwa hadits nabi seharusnya jadi pegangan dan jangan hanya memperhatikan Al Qur’an Al Karim saja. Karena hadits Nabawi itu berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al Qur’an, maka hukum yang ditetapkan dalam hadits pun harus diambil. Lebih lanjut mari kita simak pembahasan berikut ini.

Petunjuk Nabimu Tidak Boleh Diabaikan

Jika ada yang menanyakan, “Apakah makanan atau hewan yang diharamkan hanya sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an?” Jawabannya, tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja. Karena kita pun diperintahkan untuk mentaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang tetap kita jauhi. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الْكِتَابَ وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الرَّسُولَ وَاتِّبَاعُ أَحَدِهِمَا هُوَ اتِّبَاعُ الْآخَرِ ؛ فَإِنَّ الرَّسُولَ بَلَّغَ الْكِتَابَ وَالْكِتَابُ أَمْرٌ بِطَاعَةِ الرَّسُولِ . وَلَا يَخْتَلِفُ الْكِتَابُ وَالرَّسُولُ أَلْبَتَّةَ كَمَا لَا يُخَالِفُ الْكِتَابُ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Wajib bagi kita untuk mengikuti Al Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk menyampaikan isi Al Qur’an. Dalam Al Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al Qur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”[1]

Kita dapat melihat bahwa dalam beberapa ayat, Allah memerintahkan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat pertama,

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32). Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul.

Ayat kedua,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.

Ayat ketiga,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36). Ayat ini menunjukkan orang mukmin tidak lagi punya pilihan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetapkan hukumnya.

Ayat keempat,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan agar mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ayat kelima,

فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sini menunjukkan benarnya dan menunjukkan konsekuensi dari keimanan.

Berbagai hadits pun menunjukkan untuk menaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits pertama,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, Ahmad 4/126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits kedua,

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah)

Hadits ketiga,

أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al -Qur'an dan yang semisal bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, "Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Qur'an! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur'an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur'an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu'ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka." (HR. Abu Daud no. 4604. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perhatikan baik-baik kalimat yang kami garis bawahi dalam hadits ketiga ini. Seakan-akan apa yang dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi saat ini. Ternyata saat ini sebagian umat Islam hanya mau mengambil apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sehingga karen anjing tidak disebut dalam Al Qur’an kalau itu haram, maka mereka pun tidak mengharamkannya. Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al Qur’an. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam asalkan bersesuaian dengan Al Qur’an. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang.”[2]

Ringkasnya dari pembahasan dan dalil-dalil yang kami kemukakan: Walaupun tidak ada larangan atau perintah dalam Al Qur’an, namun jika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan atau melarang, maka seruan beliau tetap harus dipatuhi.

Bukti Haramnya Anjing Dalam Hadits Nabawi

Berikut kami bawakan beberapa bukti tentang haramnya anjing dalam berbagai hadits Nabawi.

Pertama: Hadits yang menerangkan larangan memakan binatang yang bertaring dan taringnya digunakan untuk memangsa binatangnya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)

Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)

An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Muslim,

قَالَ أَصْحَابنَا : الْمُرَاد بِذِي النَّاب مَا يُتَقَوَّى بِهِ وَيُصْطَاد

“Yang dimaksud dengan memiliki taring adalah –menurut ulama Syafi’iyah-, taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[3] Dari definisi ini, anjing berarti termasuk dari hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi.

Kedua: Anjing termasuk hewan fasik yang boleh dibunuh.

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

“Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)

An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”[4]

Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[5]

Ketiga: Upah jual beli anjing adalah upah yang haram, sehingga anjing haram untuk dimakan.

Dari Abu Mas’ud Al Anshori, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari upah jual beli anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2237)

Dari Abu Az Zubair, ia berkata bahwa ia mengatakan pada Jabir bin ‘Abdillah mengenai upah jual beli anjing dan kucing. Jabir lantas menjawab,

زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari upah jual beli anjing dan kucing.” (HR. Muslim no. 1569)

Perlu ingat pula kaedah, “Jika Allah melarang memakan sesuatu, maka pasti upah hasil jual belinya haram.”

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ

“Sungguh jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pun melarang upah hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no. 3488 dan Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari sini jelaslah pula haramnya jual beli anjing karena anjing itu haram untuk dimakan.

Keliru Dalam Memahami Surat Al An’am Ayat 145

Sebagian orang salah dalam memahami surat Al An’am ayat 145 berikut,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al An’am ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya setiap binatang buasa yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya keledai piaraan, anjing dan lainnya.

Secara global (yang dimaksud surat Al An’am ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna’ (pengecualian). Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145. Imam Malik pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah. Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Peniadaan yang dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”[6]

Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi:

1. Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.
2. Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.
3. Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring.
4. Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu ‘Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu ‘Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
5. Sebagian ulama katakan bahwa surat Al An’am ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.[7]

Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.



Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 29 Rabi’ul Akhir 1431 H (13/04/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

[1] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[2] Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (2/190-191), dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 126.

[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/83, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114.

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.

[6] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 2/490, Mawqi’ At Tafasir.

[7] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 2/427, Mawqi’ At Tafasir.

Di copi dari: http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/2998--masih-ada-yang-meragukan-haramnya-anjing.html

Apakah Boleh Seseorang Berdo'a Ketika Shalat Fardhu ?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang berdo'a di tengah shalat wajib, misalnya setelah melakukan beberapa rukun seperti ketika sujud seusai membaca Subhanallah lalu berdo'a Allahummaghfirli warhamni (Ya Allah ampunilah aku dan rahmatillah aku) atau do'a yang lain ? Saya berharap mendapatkan nasihat yang bermanfaat.

Jawaban
Disyariatkan bagi seorang mukmin untuk berdo'a ketika shalatnya di saat yang disunnahkan untuk berdo'a, baik ketika shalat fardhu maupun shalat sunnah. Adapun saat berdo'a katika shalat adalah tatkala sujud, duduk di antara dua sujud dan akhir salat setelah tasyahud dan shalawat atas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebelum salam. Sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau berdo'a ketika duduk di antara dua sujud untuk memohon ampunan. Telah diriwayatkan pula bahwa beliau berdo'a ketika duduk di antara dua sujud

"Allahummagfirlii, warhamnii, wahdinii, wajburnii, warjuqnii, wa'aafinii"

"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, rahmatillah aku, berilah hidayah kepadaku, cukupilah aku, berilah rezeki kepadaku dan maafkanlah aku"

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda.

"Artinya : Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb-mu, sedangkan ketika sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdo'a, niscaya segera dikabulkan untuk kalian"[Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya]

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jarak paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa (ketika itu)"

Di dalam Ash-Shahihian dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepadanya berkata :

"Kemudian hendaknya seseorang memilih permintaan yang dia kehendaki"

Dalam lafazh yang lain.

"Kemudian pilihlah do'a yang paling disukai lalu berdo'a"

Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hal ini menunjukkan disyariatkannya berdo'a dalam kondisi-kondisi tersebut dengan do'a yang disukai oleh seorang muslim, baik yang berhubungan dengan akhirat maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan duniawiyah. Dengan syarat dalam do'anya tidak ada unsur dosa dan memutuskan silaturahim. Namun yang paling utama adalah memperbanyak do'a dengan do'a yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo] sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0

Mampukah rumah tangga yang sakinah diawali dengan pacaran?

Mampukah rumah tangga yang sakinah diawali dengan pacaran?
Pernah ditanyakan oleh seorang ustadz kepada kami,”Yaa ikhwan, mau tidak ente nanti menikah dengan seorang wanita yang bekas dipacari orang 6 tahun?” Kami jawab,”Na’udzubillah, sisa apanya ustadz! Tidak mau yaa ustadz!” Beliau kembali menjawab,”Makanya, ente jangan pacaran! Sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warrohmah tidak bisa dijembatani dengan kemaksiyatan kepada Allah Ta’ala.”

Masih terngiang nasihat-nasihat beliau dengan jelas, memang tidak mungkin sebuah pernikahan yang mengharapkan ridha dan barokah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala didapatkan jika diawali dengan bermaksiyat kepada-Nya, bagaimana bisa mendapatkan keindahan hidup berumah tangga jika diawali dengan menentang perintah Allah Ta’ala, padahal sudah teramat jelas larangan-larangan itu termaktub dalam Al-Qur’an Al-Kariim, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa’ : 32)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…” (QS An-Nuur : 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”(QS An-Nuur : 31)

Wahai adik-adikku generasi muda Islam, bukankah telah banyak nasihat dan contoh yang engkau dapatkan tentang kebiasaan pacaran ini, betapa pintu syaithan terbuka luas, seluas-luasnya bagi dua remaja muda-mudi yang sedang berpacaran? Kalau mereka melontarkan beberapa syubhat yang berhubungan dengan pacaran ini maka tidak lain itu hanya alas an yang muncul karena dorongan syahwat mereka belaka, bukan karena petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu bagaimana mungkin engkau akan menukar petunjuk Allah dengan syahwatmu?

Kadang ketika penulis menasihati beberapa anak-anak muda untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan menghentikan pacaran mereka membantah dengan perkataan-perkataan yang membuat penulis sedih dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala, wahai adik-adiku! Aku mencintaimu karena Allah maka terimalah nasihatku ini…

Perkataan syubhat yang sering mereka bantahkah!

Syubhat Pertama : Ada yang berkata,”Ga sebegitunya seh! Yang penting kan kita tidak zina beneran!...”

Wahai adiku remaja muslim, bukankah perkataanmu di atas telah menunjukkan kesombonganmu, bahwa engkau yakin tidak akan terjerumus kepada zina? Padahal engkau telah membuka pintu syaithan untuk menjerumuskanmu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ““Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Memang pacaran telah melenakan banyak generasi muda Islam (bahkan ada yang sudah tidak muda lagi masih pacaran – na’udzubillahi min dzaalik), karena menurut pandangan seorang muslim awam pacaran itu memang manis dan mempesonakan, kadang lebih berbahaya daripada narkoba! Seringkali anak-anak muda melupakan dampah buruknya pacaran dan hanya memikirkan manisnya saja, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita terhadap hal yang mempesonakan ini.. sebuah kesenangan yang menipu! Tidak ada ujungnya kecuali kerusakan dan penyesalan!

Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”

Maka pacaran ini sudah termasuk bagian dari zina, mulai dari saling pandang mata, melempar senyuman, bergandengan tangan, kata-kata merayu dan memanja, sekaligus hati yang berfantasi dan berangan-angan agar lebih dari itu, maka potensi zina lebih diperbesar prosentasenya dengan kehadiran syaithan yang tidak akan pernah absen dari kegiatan seperti ini, dan akhirnya pun berujung dengan benar-benar terjadinya zina.

Mas..mbak..kakak..ading..aa’..teteh..uni..uda semua hal diatas adalah diawali dari kebiasaan meremehkan hukum-hukum yang telah diterapkan oleh Allah Ta’ala, juga kebiasaan meninggalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan teladan bagi setiap individu muslim, dan yang terakhir adalah kebiasaan suka melupakan kehadiran pihak ketiga dalam pacaran, yaitu syaithan!

Bahkan perbuatan zina bisa dimulai dari hanya sekedar SMS atau chatting di melalui HP atau Internet, semakin terbuka lebar peluang syaithan untuk menjerumuskan manusia melalui CMBR (canda mesra dan bujuk rayu), kemudian ujung-ujungnya ITDA (isak tangis dan derai air mata), sudah merupakan hal yang umum dan telah banyak kita melihat anak-anak muda menggunakan HPnya untuk sekadar “cekikikan” dan bersayang-sayang-an dengan laki-laki atau perempuan yang bukan mahromnya. Sehingga HP kembali menjadi tertuduh no. 1 sebagai sarana penghantar kehendak syaithan ini. Maka kami menghimbau kepada orang tua agar memberikan batasan pada penggunaan HP anak-anak remaja, mereka masih rentan akan godaan syaithan, apalagi pada remaja yang masih awam terhadap ilmu agama yang syar’i.

Syubhat Kedua : Ada yang berkata,”Kalau tidak pacaran bagaimana nanti mengenal calon istri / suami, nanti kan jadi rusak rumah tangga kalau menikah tanpa saling mengenal pribadi masing-masing!”

Betapa banyak rumah tangga yang hancur karena diawali dengan pacaran, kehidupan rumah tangga mereka hambar, tidak lagi mereka merasakan indahnya malam pertama dan madunya pernikahan, penulis ingat kembali perkataan seorang ustadz,”Bagaimana tidak hambar malam pertama pernikahan mereka, lha wong sudah hapal dari ujung rambut sampai ke ujung kaki!”, akhirnya banyak pengalaman pacaran ini di ulangi oleh masing-masing pasangan (suami atau istri) dengan berselingkuh (pacaran lagi) dengan yang lain walaupun sudah memiliki suami atau istri.

Justru rumah tangga yang dimulai dengan berpacaran sering terjadi pertengkaran di dalamnya, karena ketika terjadi pertengkaran kecil masing-masing pihak saling membuka aib masa lalu mereka, tidak ada saling mengalah dan sering terjadi saling menyalahkan, apalagi pernikahan yang terjadi karena “kecelakaan”, bagaimana mungkin bisa membangun sebuah rumah yang kokoh di pinggir tebing tanah yang mudah longsor? Bagaimana mungkin suatu rumah tangga yang baik disusun dari sebuah perzinahan?

Karena sudah sering pacaran dan berganti-ganti pacar sebelumnya, walaupun sudah berumah tangga, sering masih terjadi kontak dengan mantan pacar masing-masing, HP dan telepon sering menjadi penghubung CLBK (cinta lama bersemi kembali), kalau sudah begini maka bagaimana mungkin bisa menyusun suatu bahtera rumah tangga yang sakinah. Virus pacaran memang sering membuat orang ketagihan, bayang-bayang keindahan berdua saat pacaran akan selalu membayangi kehidupan rumah tangga mereka, tidak ketinggalan syaithan berperan serta dalam keadaan ini dan mengipasi syahwat masing-masing pihak yang berselingkuh agar semakin menggelora, hasilnya bisa kita lihat di lingkungan sekitar kita. Dan hukum yang sering terjadi pada laki-laki dan wanita yang gemar pacaran adalah : “rumput halaman tetangga lebih hijau!”.

Justru karena telah terlalu mengenal satu sama lain sebelum menikah melalui pacaran sering membuat istri banyak melawan suaminya, banyak istri yang durhaka kepada suami karena merasa derajat mereka sama di dalam rumah tangga, tidak ada lagi ketentuan bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangganya. Alasan bahwa tidak mengenal pasangan sebelum menikah akan membuat pernikahan hancur adalah sebuah kedustaan yang besar!

Sebaliknya, bunga-bunga keindahan rumah tangga yang diawali tanpa adanya pacaran semakin mekar dan bersemi mengisi hari-hari mereka, mulai dari malam pertama pernikahan mereka hingga tahun-tahun berlalu masih terasa seperti pertemuan yang pertama. Sebagian besar mereka yang menikah tanpa pacaran adalah seorang muslim yang shalih, yang memahami tentang hukum-hukum agamanya, dan tidaklah bisa memperlakukan wanita dengan baik sesuai dengan kehormatan yang diberikan Allah kepada mereka kecuali seorang lelaki yang shalih!

Karena seorang suami yang shalih jika dia menemukan sesuatu yang tidak disukainya dalam diri istrinya maka dia tidak mencelanya dan memukulnya kecuali yang menjadi hak baginya, seorang suami yang shalih akan mendidik istrinya dengan lembut sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahasan tentang hal ini telah banyak dibahas. Maka ketahuilah wahai para wanita, mana yang akan engkau pilih, mendapatkan seorang calon suami yang gemar pacaran (sudah pasti mereka ini sering gonta-ganti pacar), atau mendapatkan seorang suami yang shalih yang mampu mengantarkanmu menuju surge Allah (insya Allah) dalam naungan ilmu agama yang syar’i? Pilihannya ada pada dirimu!

Syubhat Ketiga : Ada yang berkata,”Bagaimana kita bisa mengetahui sifat dan kejujuran calon suami / istri jika tidak pacaran?”

Ini adalah syubhat yang menggelikan, justru akan kami balik pernyataan di atas dengan pertanyaan, “Bagaimana mungkin engkau menemukan kejujuran dalam pacaran? Bagaimana mungkin engkau menemukan kejujuran dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Adalah sebuah hal yang menggelikan jika seorang wanita menuntut kejujuran kepada seorang laki-laki yang gemar bermaksiat kepada Allah Ta’ala, karena mereka telah kotor dan hatinya terkontaminasi penyakit zina, mereka ini gemar mengumbar pandangan dan nafsu, suka melanggar perintah Allah Ta’ala :

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS An-Nuur : 30)

Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang gemar mengotori dirinya (gemar pacaran) akan mampu menjadi pemimpin rumah tangga yang baik? Dan apakah mereka ini mampu mendidik anak-anak mereka menjadi muslim yang shalih? Wahai saudaraku, telah cukup kemunkaran terjadi di muka bumi ini gara-gara bentuk pergaulan yang mengikuti kaum kafirin ini, sudah saatnya engkau kembali kepada jalan Rabb-mu, kepada Al-Qur’an dan sunnah yang shahih, gemar menghadiri dauroh agama dan ta’lim, bukan malah ke mall-mall dan tempat-tempat “mojok” yang banyak syaithannya.

Sebenarnya masih banyak syubhat-syubhat lain yang dilontarkan oleh mereka yang gemar berpacaran ini, seribu satu macam alasan akan selalu ada dan datang dari hati yang kosong dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga syahwat yang menggantikan untuk berbicara, namun percayalah wahai saudaraku kaum muslimin, akan senantiasa ada para penyeru-penyeru kebaikan yang hadir dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan pemahaman para pendahulu kita para salafush shalih, mereka tampil membawa pelita ilmu untuk mengarungi negeri ujian yang penuh cobaan ini, yaitu Dunia! Dan selalu sadarilah wahai saudaraku bahwa Allah Ta’ala berfirman :

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS AL-Hadiid : 20).

Wallahu a’lam bish showab

Oleh Andi Abu Najwa

Kamis, 08 April 2010

Berhati-hatilah dalam melabuhkan cinta…

Gelengan kepala dan elusan dada rasanya tidak cukup lagi untuk menggambarkan betapa generasi muda Islam sudah sedemikian jauh dari pendahulu mereka para salafush shalih, yang kami mampu lakukan hanyalah beristighfar, berdo’a kepada Allah Ta’ala agar melindungi kami dari keburukan, dan menulis nasihat ini untuk menjadi pelajaran bersama, melihat kondisi generasi muda Islam sekarang ini di berbagai kota (yang pernah penulis kunjungi), bahkan di kota yang sangat terpelosok dan jauh dari jangkauan transportasi telah banyak generasi muda Islam yang telah “terkontaminasi” oleh penyakit yang sama. Penyakit “salah melabuhkan cinta”

Model rambut, pakaian, bicara, dan tingkah laku mereka sudah tidak lagi mencerminkan bahwa mereka adalah seorang muslim, mari kita tengok dari model rambut laki-laki yang tidak karuan, dengan rambut sebelah depan dipanjangkan terurai kusut, dan rambut belakang dipotong cepak, masih ditambah lagi dengan cat pirang di sebagian rambut depan…entah mau ada pertunjukan badut di mana? Yang perempuan tidak mau kalah, mengingatkan penulis di era tahun 90-an saat banyak perempuan memotong rambutnya pendek untuk bisa mirip dengan “demi moore”. Untuk zaman sekarang ini masih ada variasi lagi dengan model pakaian ala laki-laki dan rambut dibiarkan agak acak-acakan, na’udzu billahi min dzaalik, mas.. mbak.. itu niru siapa?

Belum lagi aroma wangi semerbak yang menyebar dari para wanita muda ini, menyengat hidung laki-laki yang mencium aromanya, memaksa laki-laki untuk berfantasi lebih jauh lagi, apalagi laki-laki yang telah memiliki penyakit dalam hatinya, aroma yang memompa syahwat agar semakin berpacu dengan derai tawa renyah yang keluar dari rombongan gadis-gadis muda ini, tak mau kalah rombongan laki-laki di belakangnya bersuit-suit…

Tak berapa lama di dekat stadion kota penulis melihat banyak aparat yang sibuk mengatur lalu lintas jalan yang penuh sesak oleh motor anak-anak muda. Saat itu penulis bertemu dengan salah satu aparat yang penulis kenal, maka penulis bertanya, “Mas ada apa kok ramai sekali?” aparat itu menjawab,”Wah, masak sampeyan ndak tahu, kan ada sedang ada konser grup musik dari ibukota!”. Penulis hanya mampu mengangguk-angguk sambil mulut membentuk huruf O, “Ooooooo….!”

Jadi ini yang ditiru oleh para muda-mudi tadi! Meniru artis idola mereka, cocok tidak cocok yang penting niru habis! Apalagi kalau cocok, makin tumbuh kesombongan dalam diri mereka karena bisa “persis” dengan artis yang mereka tiru, duhai, penulis ingin sekali mengetahui apa yang ada dalam perasaan orang tua mereka mengetahui kondisi anak mereka yang demikian itu!

Di lain waktu penulis pernah bertanya kepada salah seorang anak SMA yang sering datang ke tempat penulis untuk banyak bertanya dan mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, penulis sangat kagum akan semangat pemuda ini, walaupun banyak diejek di sekolahnya karena celananya yang “cingkrang”, bahkan sering kepala sekolah pun meledeknya! Namun dengan tetap senyum terkembang ikhwan SMA ini semakin semangat belajar sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkannya.

Yang penulis tanyakan adalah, “Apa anak-anak SMA zaman sekarang ini telah mengenal dengan baik siapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengenal shahabat-shahabat radhiyallahu an’hum ajma’in.” Jawabnya sangat mencengangkan sekali! Mereka bahkan tidak mengenal bagaimana keseharian dan sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri beliau, putra-putri beliau dan apalagi shahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam!.

Namun ketika ditanyakan tentang keadaan seorang selebriti atau artis maka mereka dengan cepat menjawab dan mengetahui bahkan sampai ke nomor sepatu dan warna kesukaan masing-masing artis, mereka mengetahuinya dengan jelas dan detail, apalagi berita tentang perceraian artis dan gosip-gosip yang sedang “hot” di infotainment, seperti hafal di luar kepala.

Semakin jelas alur cerita “tiru meniru” ini terungkap! Apabila seseorang telah dijadikan idola dan teladan maka yang mengidolakan akan berusaka untuk meniru, menjiplak dan mencontoh apapun yang dilakukan oleh idolanya itu tadi, walaupun apa yang dicontohnya itu sangat jauh dari ajaran Islam yang syar’i. sebagaimana dikatakan: “Sesungguhnya orang yang mencintai akan taat kepada yang dicintainya!”

Pertanyaannya adalah – SIAPAKAH YANG ENGKAU CINTAI?-

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Ia berkata, “Kapan hari kiamat terjadi?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?” Ia menjawab, “Tidak ada sama sekali. Hanya saja, sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rosul-Nya.” Maka beliau bersabda, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas pun mengatakan, “Tidaklah kami berbahagia dengan sesuatu seperti halnya kebahagiaan kami dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas berkata, “Karena saya mencintai Nabi, Abu Bakar dan Umar. Dan saya berharap saya bersama mereka karena kecintaan saya kepada mereka, meskipun saya tidak beramal seperti amal mereka.” [HR.al-Bukhari kitab al-Jumu’ah bab man intazhara hatta tudfan 5/12 no.3688, Muslim 8/42 kitab Al-Birr wash shilah wal aadaab, bab al-Mar’u ma’a man ahabba 8/42 no.6881]

Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa Meskipun Anas radhiyallahu ‘anhu merasa tidak mampu untuk beramal sebagaimana amal mereka, namun ia yakin dan berharap cintalah yang akan bisa membawanya bersama mereka hingga hari kiamat, dan hingga masuk ke dalam surga di sisi-Nya.

Wahai adik-adikku para generasi muda, cinta mampu mengantarkan seseorang kepada kemuliaan dan juga sebaliknya, cinta juga mampu mengantarkan seseorang ke dalam jurang kehinaan, MAKA BERHATI-HATILAH ENGKAU DALAM MELABUHKAN CINTA!

Wahai adik-adikku para generasi muda, hati manusia ini lemah, mudah mencintai apapun yang dilihatnya, apalagi pada kalangan orang-orang yang jauh dari ilmu agam yang syar’i, pada orang-orang yang jauh dari mengenal kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahih.

Apalagi sekarang melalui media televisi anak-anak muda telah diarahkan untuk mengidolakan artis, selebritis, dan kehidupan dunia mereka yang gemerlap, dankesuksesan duniawi yang mereka dapatkan dengan cara yang singkat, tentunya menjadi sebuah hal yang mampu menyilaukan hasrat anak-anak muda untuk ingin mendapatkan hal yang sama, terkenal dan kaya raya! Virus ini telah lengkap menyebar ke seluruh kalangan kaum muslimin, hingga kepada generasi muda, dan balita sekalipun, tidak terkecuali dibuatlah program untuk menyentuh kehidupan kaum muslimin dan mengalihkan mereka dari tauladan yang seharusnya mereka tiru, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab : 21)

Sebagaimana yang dikatakan,” Seandainya cintamu sejati tentu engkau akan menaatinya!” Maka siapakah yang telah mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengetahui keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berusaha untuk menirunya dan mengamalkan apa-apa saja yang telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan.

Apakah di dalam Islam telah kehabisan idola sehingga kaum muslimin mengambil idola-idola lain yang tidak layak untukl dijadikan idola, idola yang mereka sukai itu tidak akan mampu membantu mereka untuk masuk surga Allah Ta’ala, kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan panutan sejati kaum muslimin saja tidak mereka kenal lalu bagaimana akan bisa untuk meniru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Bukankah telah berlalu kisah lembaran-lembaran emas dari para salafush shalih pendahulu kita? Lembaran-lembaran yang telah banyak menggetarkan hati manusia yang membacanya, atau hati kaum muslimin sudah sedemikian jauh dari cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Berbahagialah bagi mereka yang telah menyerahkan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Cinta adalah fitrah manusia yang memiliki derajat dan tingkatan. Puncak cinta tertinggi adalah penghambaan dan ibadah, kepada siapa cinta itu ditujukan, dan bagaimana cinta itu diberikan. Itulah yang akan menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan. Berbahagialah mereka yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan shahabat beliau, sehingga kita kelak akan dikumpulkan di surga bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walau kita tidak mampu untuk beramal sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mampu juga beramal sebagaimana para shahabat radhiyallah ‘anhum.

Karena seseorang pasti akan meniru orang yang dicintainya, maka janganlah sampai engkau wahai generasi muda Islam salah dalam melabuhkan cintamu, marilah berada dalam satu naungan cinta yang sama, yang insya Allah akan mampu mengantarkan kita kepada telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh Andi Abu Najwa