Selasa, 02 Februari 2010

Shalat Sunnat Di Perjalanan, Menyambung Shalat Sunnat Dengan Shalat Fardhu

SHALAT SUNNAT DI PERJALANAN


Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul



Diantara petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan adalah mengqashar shalat fardhu saja. Dan tidak ada riwayat yang diperoleh dari beliau yang menunjukkan bahwa beliau mengerjakan shalat sunnat sebelum atau sesudahnya dalam perjalanan, kecuali shalat witir dan shalat qabliyah Shubuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan keduanya, baik ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun sedang dalam perjalanan [1].

Telah ditegaskan pula bahwa beliau pernah mengerjakan shalat Dhuha di perjalanan. Selain itu, ditegaskan pula bahwa beliau mengerjakan shalat tathawwu’ mutlak di perjalanan.

Hal ini didasarkan pada dalil berikut ini.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahuma, dia bercerita.

“Artinya : Aku pernah menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi aku tidak melihat beliau mengerjakan shalat sunnat di perjalanan. Allah Jalla Dzikruhu berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” [Al-Adzaab : 21]

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.

“Artinya : Aku pernah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, dan aku tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat sunnat. Seandainya aku telah mengerjakannya, maka aku akan menyempurnakan (shalat fardhu : tidak mengqasharnya). Allah Suhanahu wa Ta’ala telah berfirman : ‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulllah itu suri teladan yang baik bagimu…”[Al-Ahzaab : 21] [Muttafaq ‘Alaih] [2]

Ibnu Qayyim mengatakan : “Hal itu merupakan bentuk pemahaman Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma yang mendalam. Karena Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah memberikan keringanan kepada musafir untuk mengerjakan dua raka’at saja dari shalat empat raka’at. Seandainya disyari’atkan lagi dua raka’at sebelum dan sesudahnya, maka sepatutnya menyempurnakan shalat fardhu yang diqashar. Dan seandainya disyariatkan shalat sunnat sebelum dan sesudahnya maka yang lebih patut dikerjakan adalah menyempurnakan shalat fardhu (tidak mengqasharnya) [3].

Demikian juga hadits Ummu Hani yang telah lebih dulu diberikan mengenai shalat Dhuha yang dikerjakan oleh Rasulullah pada saat berlangsungnya pembebasan kota Makkah di rumahnya (Ummu Hani).

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dia bercerita : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnat di atas binatang kendaraan dengan menghadap ke arah ia menuju serta mengerjakan shalat witir di atasnya. Hanya saja, beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atasnya” [Muttafaq ‘Alaihi] [4]

Dapat saya katakan, hadits yang bersumber dari Ibnu Umar ini menafsirkan hadits sebelumnya yang juga berasal darinya, dimana dia berkata : “Maka aku tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat sunnat di perjalanan”. Dengan demikian, dia telah mejelaskan bahwa dia tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat sunnat rawatib di perjalanan.

Dari Amir bin Rabi’ah, dia bercerita, aku pernah menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berada di atas kendaraannya sambil mengerjakan shalat sunnat, memberi isyarat dengan kepalanya, dengan menghadap ke arah mana beliau menuju. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal tersebut dalam shalat wajib” [Muttafaq ‘Alaih][5]

MENYAMBUNG SHALAT SUNNAT DENGAN SHALAT FARDHU

Dari Umar bin Atha’ bin Abil Khawar : Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya kepada As-Sa’ib Ibnu Ukhti Namr untuk menanyakan sesuatu yang pernah disaksikan oleh Mua’awiyah darinya dalam shalat. Maka dia menjawab : “Ya, aku memang pernah mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di Al-Masqshurah (rumah benteng besar). Setelah imam mengucapkan salam, aku berdiri di tempatku dan langsung mengerjakan shalat. Setelah dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, “Janganlah engkau mengulangi perbuatanmu lagi. Jika engkau mengerjakan shalat Jum’at maka janganlah engkau menyambungnya dengan shalat yang lain sehingga engkau berbicara atau keluar, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan hal tersebut, yaitu tidak menyambung shalat dengan shalat yang lain sehingga kita berbicara atau keluar” Diriwayatkan oleh Muslim [6]

Dapat saya katakan, hadits ini menunjukkan bahwasanya tidak dipebolehkan menyambung satu shalat dengan shalat lainnya sehingga berbicara atau keluar dari tempat shalat itu [7]


[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Zaadul Ma’ad I/473. Juga buku, Silsilatul Ahaadiits Adh-Dha’iifah III/353, hadits No. 1209
[2]..Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab Taqshiirush Shalaah, bab Man Lam Yatathawwa Fis Safar Duburash Shalaah wa Qablaha, hadits No. 1101-1102. Dan lafazh di atas adalah miliknya. Juga Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashruha, hadits No. 689. Dan riwayat di atas adalah miliknya. Lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul V/727
[3]. Zaadul Ma’aad I/316
[4]. Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam kitab Tqashiirush Shalaah, bab Yanzilu Lil Maktuubah, hadits No. 1098. Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashruha, bab Jawazu Shalaatin Naafilati Alad Daabbati Fis Safar Haitsu Tawajjahat, hadits No. 700.
[5]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab Taqshiirush Shalaah, bab Yanzilu Lil Maktuubah, hadiits No. 1097. Dan juga Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashruha, bab Jawaazu Shalaatin Naafilah ‘alad Daabbati Fis Safaar Haitsu Tawajjahahat, hadits No. 701
[6]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Jumu’ah, bab Ash-Sha;aah ba’dal Jumu’ah, hadits no. 883

Kesimpulan.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Fir Rajuli Yatathawwa’u Fii Makaanihi Alladzi Shallaa Fiihil Maktuubah, hadits No. 1006, dengan sanad dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk maju atau mundur atau bergerak ke sebelah kanan atau ke sebelah kirinya?”

Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud I/188. Dan Muhaqqiq kitab, Jaami’ul Ushuul V/595. Dam di dalam sanadnya terdapat beberapa orang yang tidak dikenal.

Dapat saya katakan, tetapi hadits ini d1iperkuat oleh hadits Mu’awiyah. Dan yang ini ada pada Muslim. Wallahu a’lam

[7]. Lihat Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim VI/170-171 dan juga kitab Fathul Baari II/335

Kesimpulan.
Di dalam kitab Al-Fataawal Mishriyyah, hal.79, Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Dan yang sunnah adalah memisahkan antara shalat fardhu dengan shalat sunnat dalam shalat Jum’at dan yang lainnya dengan bangun dari tempatnya maupun dengan pembicaraan”.

Di unduh dari : http://www.almanhaj .or.id/content/ 664/slash/ 0

0 komentar:

Posting Komentar