Selasa, 23 Maret 2010

Apakah Pemberian Sakl [Harakat Tanda Baca] Dan Titik Dalam Al-Qur'an Termasuk Bid'ah?

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sebagian ahli bid’ah berkata : “Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat ? (Kalau semuanya sesat) lantas apa yang dapat kalian katakan dengan pemberian sakl/ (harakat tanda baca) dan titik-titik dalam Al-Qur’an yang semuanya itu terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Bagaimana kita menjawab mereka ?

Jwaban
Umat Islam diperintahkan untuk menjaga Al-Qur’an, baik dalam penulisan maupun tilawah, dan membacanya sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh dahulu bahasa para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bahasa Arab yang salimah (baik dan benar) karena sangat sedikit orang dari luar Arab di antara mereka. Perhatian mereka dengan tilawah (bacaan) seperti yang diturunkan sangat luar biasa. Yang demikian itu berlangsung terus sampai masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan belum dikhawatirkan terjadi lahn (kesalahan) dalam membaa Al-Qur’an.

Pada masa itu tulisan masih asli tanpa titik dan harakat dan bukan suatu yang sulit bagi mereka untuk membacanya. Akan tetapi, ketika sampai pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dan semakin banyak kaum muslimin dari luar Arab maka mulai dikhawatirkan terjadi lahn dalam membaca. Begitu terasa berat membaca dari mushaf tanpa titik dan sakl (harakat). Maka Abdul Malik bin Marwan memerintahkan untuk memberi titik pada Al-Qur’an dan mengharakatinya. Tampillah Hasan Basri dan Yahya bin Ya’mur rahimahumallahu yang termasuk orang-orang yang paling alim dan bertaqwa di antara tabi’in. Semua itu demi menjaga dan membentengi Al-Qur’an dari kecenderungan terjadinya perubahan, dan agar mudah dibaca, dipelajari, dan diajarkan sebagaimana yang telah tetap dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian jelaslah bahwa semua titik dan sakl (harakat) Al-Qur’an –meskipun tidak ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- termasuk dalam keumuman perintah untuk menjaga, belajar, dan mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya demi menyempurnakan penyampaian dan meratakan pensyariatan. Dan ini terus berlangsung sampai hari kiamat. Jadi, bukan termasuk bid’ah, karena bid’ah adalah apa-apa yang baru yang tidak ada dalil khusus maupun umum yang menunjukkan atasnya baik untuknya maupun untuk selainnya.

Dalam masalah ini sebagian ulama yang mengkaji tentang sunnah dan bi’dah mengistilahkan dengan maslahat mursalah bukan bid’ah, dan terkadang juga dinamakan bid’ah dari segi bahasa karena tidak ada contoh sebelumnya, tetapi bukan dari segi syari’at, karena ia masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan atas wajibnya menjaga Al-Qur’an dan menyempurnakan dalam hal membaca, mempelajari dan mengajarkannya. Seperti perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika mengumpulkan manusia di belakang satu imam dalam shalat tarawih, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”. Yang jelas penambahan titik dan sakl (harakat) masih masuk di dalam keumuman nas-nas yang menunjukkan atas wajibnya menjaga Al-Qur’an sebagaimana ketika diturunkan.

Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah Fatwa I/112-115 Pertanyaan ke 3 dari fatwa no 2263 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Disalin ulang dari Majalah Fatawa edisi 09/I/ 1424H – 2003M]

0 komentar:

Posting Komentar