Senin, 05 April 2010

SAAT BERKENDARA TANPA HELM…

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya dan ampunan kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amal-amal kita, barangsiapa yang Allah berikan petunjuk, maka tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada seorangpun yang bisa memberinya hidayah.

Telah sampai kepada kami tentang hal-hal yang berpotensi menimbulkan syubhat dan membuka pintu keburukan secara umum tentang perbuatan menentang dan penolakan untuk taat kepada pemimpin (penguasa) yang sah.

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka yang bersangkutan agar kembali ke jalan yang benar dan menetapi agama ini dengan baik sebagaimana yang contohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

MEREKA ENGGAN MENGENAKAN HELM SAAT BERKENDARA MOTOR. Telah sampai kepada kami bahwa sebagian kaum muslimin menggampangkan dalam kewajibannya untuk taat pada pemerintah, contohnya mereka tidak mau mengenakan helm pada saat berkendaraan motor, terlebih lagi mereka tidak mengenakan helm itu justru ketika hendak mendatangi masjid dalam rangka untuk sholat berjama’ah, sholat jum’at dan lainnya, namun yang mengherankan kadang ketika mereka pergi menuju pasar untuk berdagang atau untuk urusan dunia mereka justru mengenakan helm itu. Seakan-akan dalam benak mereka ada “dispensasi” tertentu bagi yang berkendara motor untuk yang pergi ke masjid boleh tidak ber-helm, padahal tidak ada aturan yang memperbolehkan hal demikian, atau dengan melanggar peraturan lalu-lintas yang lainnya.

Padahal pemerintah (semoga Allah memberikan mereka petunjuk) walaupun tidak menegakkan hukum Islam pada negeri kita ini, kita tetap wajib untuk taat kepada mereka dalam hal yang tidak bermaksiyat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Allah berkehendak adanya kebaikan pada atran-aturan penguasa (yang tidak bermaksiyat kepada Allah) yang tidak diturunkan Allah dalam al Qur’an, termasuk adalah peraturan lalu lintas itu sendiri.


KEWAJIBAN UNTUK TAAT PADA PENGUASA

Ketaatan kepada pemerintah (penguasa) adalah kewajiban selama ketaatan itu bukan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.An-Nisaa:59)

Hal ini sesuai juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

“Tidak (boleh) taat (terhadap pemerintah) yang didalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” [Al Bukhari (no.4340,7257), Muslim (no.1840), Abu Dawud (no. 2625), dishahihkan Syaikh al Albani dalam Silsilatul Ahadiits ash Shahihah.]

“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiyatan. jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiyatan maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat. [Al Bukhari (no.2955,7144), Muslim (no.1839), at Tirmidzi (no.1707), Ibn Majah (2864), lafadz ini adalah lafadz dari Muslim.]

Perhatikanlah wahai saudaraku sesama muslim, semoga Allah memberimu hati yang mudah menerima petunjuk dan kebenaran, jelas sekali bahwa perintah untuk taat kepada pemerintah adalah kemajiban yang mutlak pada segala hal yang ma’ruf yang sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah, sedangkan untuk hal yang bermaksiyat kepada Allah, maka tidak ada kewajiban untuk taat.

Sekarang aku (penulis) tanyakan kepadamu, demi kepentingan siapakah engkau mengenakan helm ketika berkendara motor? Demi Allah itu adalah demi kepentinganmu sendiri, bukan demi kepentingan penguasa, agar lebih aman bagimu dalam berkendara, karena engkau tidak mengetahui apa yang akan terjadi dalam perjalananmu, dan yang demikian adalah perintah yang tidak bermaksiyat kepada Allah dan perintah yang baik untuk kemaslahatan bersama.

Berkata syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah : “Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap orang, dan taat kepada penguasa adalah kewajiban berdasarkan perintah Allah untuk mentaati mereka.” (Majmu’ fatawa:35/16)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah (tentang ayat 59 An Nisaa’):

“Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama (Tafsir Ibnu Katsir:1/530)

Dan berkata Imam Nawawi rahimahullah:

”Yang dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan selainnya.” (Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308)

Dan berkata As Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala:

”Ayat ini (ayat 59 An Nisaa’) adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa dan para ulama, dan telah datang dalam sunnah yang shohih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara ma’ruf.” (Al-ma’lum: 7)

BAHAYA MENINGGALKAN KETAATAN KEPADA PENGUASA

Ahlu sunnah memandang bahwa maksiyat kepada seorang pemimpin (amir) yang muslim merupakan maksiyat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

“Barangsiapa yang taat kepadaku, berarti dia telah taat kepada Allah dan barangsiapa durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiyat kepada amirku, maka ia maksiyat kepadaku” [Al Bukhari (no.7137), Muslim (no.1835(33)), Ibn Majah (2859) dan an-Nasa-i (VII/154)]

Ibnu Abil ‘Izz berkata ,” Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam hal kemaksiyatan), meskipun mereka (penguasa) berbuat zhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka (dalam hal yang ma’ruf) maka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding kezaliman (yang dilaksanakan) penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Karena Allah tidak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan karena kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan kita juga. Maka hendaknya kita bersungguh sungguh memohon ampunan, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.

Saya (penulis) katakan, apakah pemerintah kita ini lahir dan keluar dari batu? Demi Allah tidak! Mereka muncul dan dipilih oleh rakyat, jadi kalau kita mendapatkan pemerintahan yang (mungkin bagi sebagian orang) dirasakannya dholim, maka itu adalah hasil dari perbuatan kalian sendiri. Mengapa kalian semua tidak berusaha memperbaiki diri? Bukankah kalian mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [ Al An’aam 6:129]

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)..” [Asy Syuraa 42:30]

Apabila rakyat ingin selamat dari kedholiman pemimpin mereka hendaknya meninggalkan kedholiman itu juga. [Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath Thahaawiyyah (543) takhrij dan ta’liq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at Turki]

Saya (penulis) berkata, pemimpin adalah cerminan dari sifat rakyatnya, jadi apabila kita mendapati hal yang tidak disukai dari diri pemimpin, kemungkinan besar hal tersebut juga ada dalam diri kita, walaupun kadang kita tidak menyadarinya. Karena itu tidak pernah diajarkan dalam islam untuk “demonstrasi” turun kejalan dan menghujat pemerintahan, selayaknyalah kita menasihati mereka dengan cara yang ma’ruf dan penuh kelembutan yang tidak menciderai kehormatan pemimpin kita. Bukankah engkau mengetahui bahwa Nabi Musa ‘Alaihi as Salam pun diperintahkan oleh Allah untuk menasihati fir’aun dengan lemah lembut. Maka saya (penulis) katakan kepadamu, apakah dirimu lebih baik daripada Nabi Musa ‘Alaihi as Salam dan pemimpin kita sekarang lebih jelek daripada sifat fir’aun? Jawablah dengan jujur dalam hatimu wahai saudaraku!

Kalau kita mau mengambil contoh, mengapa Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu bisa menjadi pemimpin (khalifah), mengapa Umar bin Khathtab Radhiyallahu ‘anhu bisa menjadi pemimpin, mengapa Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah bisa menjadi pemimpin? Jawabnya adalah karena akhlaq dan jiwa rakyat mereka saat itu sama (mirip) dengan akhlaq pemimpinnya. Lalu bagaimana dengan zaman sekarang ini?

Wahai saudaraku, dari sini kita bisa mengambil 3 kesimpulan tantang bahasan di atas :

1.Barangsiapa yang bermaksiyat kepada pemimpin (dalam hal yang ma’ruf) maka sangat besar kemungkinan dia terjerumus dalam kemaksiyatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

2.Banyaknya bencana (kedholiman penguasa) yang menimpa kita termasuk juga wujud (hasil) dari pengingkaran kita kepada penguasa.


3.Penguasa adalah cerminan diri kita, baik atau buruknya mereka itulah yang ada juga pada diri kita, maka hendaknya perbaikilah diri kita masing-masing sebelum kita mencela pemerintah. Karena baiknya pemerintah adalah hasil dari kebaikan kita juga, dan keburukan pemerintah adalah hasil dari keburukan kita juga.

Wallahu a'lam bish showab

Oleh Andi Abu Najwa

FATWA-FATWA ULAMA TENTANG PELANGGARAN PERATURAN PEMERINTAH

Fatwa Pertama

Hukum Melanggar Peraturan Umum

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan : Ada beberapa orang yang berpandangan bahwa dirinya punya hak untuk melanggar peraturan-peraturan umum yang ditetapkan pemerintah, seperti peraturan lalu lintas, bea cukai, imigrasi dan lain-lain. Dengan asumsi peraturan-peraturan itu tidak syar'i. Apa komentar Anda tentang ucapan tersebut ?

Jawaban : Itu jelas sebuah kebatilan dan kemungkaran !. Telah disebutkan sebelumnya bahwa rakyat diperkenankan membangkang penguasa dan mengubah dengan tangan, akan tetapi mereka harus patuh dan taat kepada peraturan-peraturan yang bukan merupakan kemungkaran, yang ditetapkan oleh pemerintah untuk kemaslahatan umum. Seperti rambu-rambu lalu lintas. Wajib mematuhi peraturan tersebut karena hal itu termasuk perkara ma'ruf yang berguna bagi segenap kaum muslimin.

Adapun perkara-perkara yang mungkar atau pajak yang dinilai tidak sesuai dengan syariat, maka dalam hal ini rakyat harus memberi nasihat kepada pemerintah, mengajak pemerintah kepada hukum Allah, dengan bimbingan yang baik bukan dengan kekerasan ! Bukan dengan pukul sana, bunuh sini, membalas tanpa alasan dan lainnya. Hal itu jelas tidak boleh ! Ia harus punya kekuasaan, punya wilayah yang bebas diaturnya, jika tidak maka cukup dengan nasihat, cukup dengan pengarahan. Kecuali terhadap orang yang berada dalam tanggung jawabnya seperti ; istri, anak-anak dan orang-orang di bawah kewenangannya.

[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-sunnah wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-38 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]

Fatwa ke Dua

Hukum Melanggar Peraturan Lalu Lintas

Syaikh Ibnu Baz

Pertanyaan: Bagaimana hukum Islam tentang orang yang melanggar pera-turan lalu lintas, misalnya; melanggar lampu lalu lintas yang sedang menyala merah?

Jawaban : Seorang Muslim tidak boleh melanggar aturan-aturan negara dalam tata tertib lalu lintas karena hal itu bisa menimbulkan bahaya yang besar terhadap dirinya dan orang lain. Karena negara -semoga Allah menunjukinya- menetapkan aturan itu demi kebaikan bersama dan untuk mencegah bahaya agar tidak menimpa kaum Muslimin.

Maka tidak boleh seorang pun melanggarnya. Bagi pihak-pihak berwenang agar menerapkan hukuman terhadap pelanggar dengan suatu hukuman yang membuatnya jera. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menertibkan malalui penguasa apa-apa yang tidak diatur oleh al-Qur'an. Mayoritas manusia tidak mengindahkan aturan al-Qur'an dan as-Sunnah, tapi mengindahkan peraturan penguasa dengan ber-bagai hukuman. Ini karena lemahnya keimanan terhadap Allah dan hari akhir, atau karena tidak adanya keimanan di benak mayoritas mereka, sebagaimana firman Allah :

"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya." (Yusuf: 103).

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada semuanya.

[ Rujukan : Fatawa Islamiyah, Ibnu Baz (4/536). Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq. ]

0 komentar:

Posting Komentar