Selasa, 06 April 2010

Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Sunat, Duduk Istirahat Tidak Wajib

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang melaksanakan shalat fardhu dengan makmum kepada orang yang mengerjakan shalat sunat?

Jawaban
Hukumnya sah, karena telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa dalam suatu perjalanan beliau shalat dengan sekelompok para sahabatnya, yaitu shalat khauf dua raka'at, kemudian beliau shalat lagi dua raka'at dengan sekelompok lainnya, shalat beliau yang kedua adalah shalat sunat. Disebutkan juga dalam Ash-Shahihain, dari Mu'adz Radhiyallahu 'anhu, bahwa suatu ketika ia telah mengerjakan shalat Isya bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia pergi lalu mengimami shalat fardu kaummnya, shalat mereka adalah shalat fardhu, sedangkan shalat Mu'adz saat itu adalah shalat sunnat [1].

Wallahu walyut taufiq.

[Majalah Ad-Da'wah, edisi 1033, Syaikh Ibnu Baz]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang mendapati orang lain sedang shalat sirriyah, ia tidak tahu apakah orang tersebut sedang shalat fardhu atau shalat sunat? Dan apa yang harus dilakukan oleh seorang imam yang ketika orang ini masuk masjid ia mendapatinya sedang shalat, apakah ia perlu memberi isyarat agar orang tersebut ikut dalam shalatnya jika ia shalat fardhu, atau menjauhkannya jika ia sedang shalat sunat?

Jawaban
Yang benar adalah, tidak masalah adanya perbedaan niat antara imam dengan makmum, seseorang boleh melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu setelah melaksanakan shalat Isya bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia pulang kepada kaumnya lalu shalat mengimami mereka shalat itu juga. Bagi Mu'adz itu adalah shalat sunat, sedangkan bagi kaumnya itu adalah shalat fardhu.

Jika seseorang masuk masjid, sementara anda sedang shalat fardhu atau shalat sunat, lalu ia berdiri bersama anda sehingga menjadi berjama'ah, maka itu tidak mengapa, anda tidak perlu memberinya isyarat agar tidak masuk, tapi ia dibiarkan masuk shalat berjama'ah bersama anda, dan setelah anda selesai ia berdiri menyempurnakannya, baik itu shalat fardhu ataupun shalat sunat.

[Mukhtar Min Fatawa Ash-Shalah, hal. 66-67, Syaikh Ibnu Utsaimin]


Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa hukum shalat sunat bermakmum kepada yang shalat fardhu?

Jawaban
Boleh, jika imam tersebut orang yang paling mengerti tentang kitabullah dan paling mengerti tentang hukum-hukum shalat. Demikian juga jika orang tersebut adalah imam rawatib di masjid tersebut, tapi ia telah mengerjakan shalat tersebut dengan berjama'ah, lalu ketika datang ke masjidnya, ternyata mereka belum shalat, maka ia boleh shalat bersama mereka.

Dalilnya adalah kisah Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu yang mana ia mengimami kaumnya dari golongan Anshar karena ia merupakan orang yang paling mengerti tentang kitabullah dan paling mengerti tentang hukum-hukum, saat itu, ia datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu Isya lalu shalat bersama beliau, kemudian kembali kepada kaumnya dan mengimami mereka shalat Isya [2]. Saat iti ia shalat sunat dan mereka shalat fardhu.

Sebagian ulama memakruhkan hal ini karena perbedaan niat antara imam dengan makmum, tapi yang benar hal ini dibolehkan karena adanya dalil yang jelas.

Wallahu 'alm.

[Al-Lu'lu Al-Makin, Ibnu Jibrin, hal. 112-113]

DUDUK ISTIRHAT TIDAK WAJIB

Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta


Pertanyaan
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah duduk istirahat saat hendak berdiri dari raka'at pertama ke raka'at kedua, atau dari raka'at ketiga ke raka'at keempat hukumnya wajib, atau sunnah muakkadah?

Jawaban
Para ulama telah sepakat, bahwa duduknya orang yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada raka'at pertama dan ketiga, yakni sebelum berdiri ke raka'at berikutnya, tidak termasuk kewajiban shalat, tidak pula termasuk sunnah muakkadahnya. Kemudian ada perbedaan pendapat, apakah hukumnya sunat saja atau memang tidak termasuk kewajiban shalat sama sekali, atau boleh dilakukan oleh yang membutuhkannya karena fisiknya lemah akibat lanjut usia atau karena sakit atau fisiknya tidak fit.

Imam Asy-Syafi'i dan sejumlah ahli hadits mengatakan, bahwa hukumnya sunat, demikian juga menurut salah satu pendapat Imam Ahmad, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan para penyusun kitab sunan, dari Malik bin Al-Huwairits, bahwa ia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika selesai raka'at ganjil dalam shalatnya, beliau tidak langsung berdiri, tapi duduk terlebih dahulu[3].

Tapi tidak demikian pendapat mayoritas ulama, di antaranya Abu Hanifah, Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Hal ini karena hadits-hadits lainnya tidak menyebutkan adanya duduk tersebut. Kemungkinannya, bahwa yang disebutkan dalam hadits Malik bin Al-Huwairits tentang duduk tersebut adalah di akhir hayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu ketika fisik beliau telah lemah atau karena sebab lain.

Ada pendapat ketiga, yaitu menggabungkan antara hadits-hadits yang ada, yaitu bahwa hadits yang menyebutkan duduknya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah saat beliau memerlukannya. Kelompok ini mengatakan, bahwa duduk tersebut disyari'atkan saat dibutuhkan saja. Tapi yang tampak, bahwa itu hanya mustahab. Tidak disebutkannya duduk tersebut dalam hadits-hadits lainnya tidak menunjukkan bahwa itu tidak mustahab, tapi menunjukkan bahwa itu tidak wajib.

Pendapat yang menyatakan bahwa hukumnya mustahab dikuatkan dengan dua hal :
Pertama : Bahwa pada dasarnya perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah pensyari'atan untuk diikuti.
Kedua : Tentang duduk tersebut yang disebutkan dalam hadits Abu Hammad As-Sa-di, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan sanad jayyid, yang mana dalam hadits tersebut disebutkan tentang sifat shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu kepada sepuluh orang shahabat Radhiyallahu 'anhum, dan mereka membenarkannya.[4]

[Fatawa Islamiyah, Al-Lajnah Ad-Da'imah (1/268-269)]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
________
Footnote
[1]. Al-Bukhari, kitab Adzan (700, 701), Muslim, kitab Ash-Shalah (465)
[2]. Al-Bukhari, kitab Adzan (700, 701), Muslim, kitab Ash-Shalah (465)
[3]. Al-Bukhari, kitab Al-Adzan (818)
[4]. Ahmad (5/424), dan dari jalur ini pula Abu Dawud meriwayatkan dalam bab shalat (730)

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/2313/slash/0

0 komentar:

Posting Komentar