Selasa, 06 April 2010

Zakat Profesi

Oleh
Al Lajnah Ad Da’imah Li Al Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta


Maraknya pemikiran adanya zakat profesi yang kini berkembang, kiranya menjadi persoalan dan tanda tanya besar bagi kalangan sebagian para pekerja profesional. Di berbagai institusi, zakat profesi ini bahkan sudah diberlakukan. Bagaimanakah tinjauan atas pemberlakuan zakat profesi ini?

Berikut kami hadirkan kepada sidang pembaca, beberapa fatwa tentang zakat dari Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Li Al Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta’. Disusun oleh Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq Ad Duwaisy, Penerbit Daar Al ‘Ashimah, Riyadh KSA, Cetakan I, Tahun 1419 H/1998 M. XII/279-282.

Disamping itu, untuk melengkapi sajian tentang fatwa ini, kami nukilkan juga pendapat Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam majalah Al Ashalah. Semoga bermanfaat. (Redaksi).


FATWA NO. 282

SOAL:
1. Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain diberikan lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul (satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya?

2. Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap kali menerima gaji, ia simpan dilemarinya. Dia memenuhi kebutuhan belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan (sering). Tetapi dengan jumlah uang yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Bagaimana cara mengukur haul (satu tahun) dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus seperti ini? Padahal sebagaimana telah diterangkan dimuka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun?

JAWAB:
Karena pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada kasus-kasus senada, maka Lajnah Da’imah (lembaga fatwa ulama di Saudi Arabia) memandang perlu memberikan jawaban menyeluruh, supaya faidahnya dapat merata.

Barangsiapa yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang karenanya dikenai kewajiban zakat). Kemudian memiliki tambahannya berupa uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang pertama. Tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah. Seperti uang yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang hasil warisan, hibah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya.

Apabila ia ingin teliti menghitung haknya, ingin teliti untuk tidak membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar penghitungan khusus bagi tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung masa haul (satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masing-masing, pada tiap kali mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikan harta tersebut. (Tetapi ingat syarat nishab di atas, pen).

Namun apabila ia ingin enak dan menempuh cara yang longgar serta lapang diri untuk lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya, ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih menjaga hak-hak fakir-miskin serta seluruh golongan penerima zakat.

Sedangkan jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab) uang yang sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di muka bagi uang yang belum mencapai haul.

وبالله التوفيـق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

LAJNAH DA’IMAH LI AL BUHUTS AL ILMIYAH WA AL IFTA’ (Lembaga Ulama Untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa). Wakil Ketua Lajnah: (Syaikh) Abdur Razaq Afifi. Anggauta: (Syaikh) Abdullah bin Ghudayyan. Anggauta: (Syaikh) Abdullah bin Mani’.

FATWA NO. 1360

SOAL:
Berkaitan dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)?

JAWAB:
Bukanlah hal yang meragukan, bahwa diantara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan diantara syarat wajibnya zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka wajib untuk dizakatkan.

Zakat gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebab persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang (emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash. Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.

Berdasarkan itu, maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.

وبالله التوفيـق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

LAJNAH DA’IMAH LI AL BUHUTS AL ILMIYAH WA AL IFTA’ (Lembaga Ulama Untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa). Ketua Lajnah: (Syaikh) Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Wakil Ketua : (Syaikh) Abdur Razaq Afifi. Anggota: (Syaikh) Abdullah bin Ghudayyan. Anggota: (Syaikh) Abdullah bin Mani’.


FATWA NO. 2192

SOAL:
Apabila seorang Muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadang masih tersisa sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga). Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya?

JAWAB:
Seorang muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab tersebut berasal) dari gaji itu sendiri, ataupun ketika digabungkan dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib dizakati.

Tetapi apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu merupakan hal yang baik saja Insya Allah.

وبالله التوفيـق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

LAJNAH DA’IMAH LI AL BUHUTS AL ILMIYAH WA AL IFTA’ (Lembaga Ulama untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa). Ketua Lajnah: (Syaikh) Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Wakil Ketua: (Syaikh) Abdur Razaq Afifi. Anggota: (Syaikh) Abdullah bin Ghudayyan. Anggota: (Syaikh) Abdullah bin Qu’ud.

FATWA SYAIKH AL ALBANI

SOAL 2:
Bagaimana seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab, baik dari nishab harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa menggunakan syarat haul?

JAWAB:
Dalam hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya. (Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya masing-masing, pent.).
Apabila sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil gabungannya.

Tidak disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal diantara kaidah yang ada dalam Islam ialah :

وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". [Al Hajj:78].

Sebab, seseorang –terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau pedagang- akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya; misalnya, hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil menunggu hingga berputar satu tahun …… Demikianlah seterusnya. Tentu hal itu akan teramat sangat menyulitkan.

[Diterjemahkan secara bebas dari majalah Al Ashalah no. 5/15 Dzulhijjah 1413, dalam rubrik soal- jawab, halaman 60-61]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/2652/slash/0

0 komentar:

Posting Komentar