Senin, 11 Februari 2013

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Oleh
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna[1]. Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : "..... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata :

"Artinya : Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba"[2]

Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu : Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat berada di atasnya". Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal".[3]

Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).

Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.[4]

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum.

Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan : "..... Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah".[5]

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna :

Pertama.
Mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

Kedua.
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan :"Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil".[6]

Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :"Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli".[7]

Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.

Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang dihadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.

AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah. [8]

Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah ini dalam beberapa pendapat :[9]

[1] Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
[2] Para Imam Mujtahid
[3] Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
[4] Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
[5] Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.

Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna:

Pertama.
Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah ini dan amirnya.

Kedua.
Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.[10]

Syaikhul Islam mengatakan : "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').[11]

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala :

"Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram". [Ali-Imran : 105].

"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". [12]

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : "Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah".[13]

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.

Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH.
Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.

Az-Zubaidi mengatakan : "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah".[14]

Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan :"Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi". [15]

Al-Ayji mengatakan :"Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka : "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah".[16]

Hasan Ayyub mengatakan : "Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid". [17]

Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini :

[1] Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.

[2] Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.


[Disalin dari majalah As-Sunnah edisi 10/I/1415-1994 hal.29-32, terjemahan dari majalah Al-Bayan No. 78 Shafar 1415H/Juli 1994 oleh Ibrahim Said].
_________
Foote Note
[1] Lihat Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy'ariyah I/3804 Oleh Syaikh Abdur Rahman Al-Mahmud dan kitab Mafhum Ahlis Sunnah wal Jama'ah Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql
[2] Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam "Syarhus-Sunnah" No. 49
[3] Lihat : Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034
[4] Kasyful Karriyyah 19-20
[5] Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107
[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15.
[7] Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr
[8] Lihat : Wujubu Luzuumil Jama'ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi.
[9] Al-I'tisham 2:260-265.
[10] Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya'irah 1:17
[11] Majmu al-Fatawa 3:175.
[12] Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63
[13] Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9
[14] Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6
[15] Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3
[16] Al-Mawaqif hal. 429].
[17] Lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin, hal. 150

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=962&bagian=0

Menepis Anggapan Bulan Shafar Adalah Bulan Sial


Sebagaimana bulan Muharram (Jawa: Suro) itu diyakini sebagai bulan yang keramat dan membawa sial, maka muncul pula anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan yang membawa sial, naas, dan penuh dengan malapetaka. Karena bulan sial, maka tidak boleh mengadakan hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana, atau kegagalan dalam pekerjaannya itu.

Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.

Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.

Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.

Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.

Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.

Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan

Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.

“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)

Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.

Thiyarah Adat Jahiliyyah

Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.

Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.

Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:

1. Karena sesuatu yang dilihat

Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.

2. Karena sesuatu yang didengar

Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.

3. Karena waktu-waktu tertentu

Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.

Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.

Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.

Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.

Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)

Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.

“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Obat dari Penyakit Ini

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.

“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):

اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.

“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).

Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.

Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.

Sumber:

Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.

Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.

Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1671

METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU




Oleh
Syaikh Abdul Adhim Badawi
http://almanhaj.or.id/content/3446/slash/0/metode-salaf-dalam-menerima-ilmu/

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan)
khutbah-khutbah, nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali,
melebihi pada zaman para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat) serta tabiut
tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi'in). Namun bersamaan itu
pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan (perintah
Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan,
dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak
mengamalkan.

Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada
masa yang mulia. Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat,
khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah
seorang sahabat (yang artinya ) : " Adalah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat mencari keadaan dimana
kita giat, lantaran khawatir kita bosan" [Muttafaqun Alaihi]

Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak
perbuatan, mereka mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diamalkan, sebagaimana
keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya di medan
pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah
yang akan dialami.

Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu
Allah 'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan.
Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan
larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat mengamalkan ilmu
yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah
'Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya
ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan berbagai macam sebab) ,
saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab turunnya ayat itu :

Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan
tingkatan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara
fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara
orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula
keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah 'Azza
wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada
manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada
keutamaan bagi orang Arab terhadap selain orang Arab, dan tidak ada
keutamaan atas orang yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam
kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka). Sebagaimana firman
Allah 'Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [al-Hujurat /49 : 13]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia
mabda' (pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini,
perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan
karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta popularitas. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpendapat untuk menanamkan
pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan
keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini
dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh
yang mendalam dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab
binti Jahsiy anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
(kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama
yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengawinkannya dengan budak beliau
Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi orang merdeka
(lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan
bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti
jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah
dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
: "Engkau harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab : "Tidak, demi
Allah, selamanya saya tidak akan menikahinya".

Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu
:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat
tersebut kepada Zainab, maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah !
apakah engkau ridha ia menjadi suamiku ?" Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab : "Ya", maka Zainab berkata : "Jika
demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu akupun
menikah dengan Zaid".

Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan
RasulNya, dan hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya,
lantaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan
dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala turun wahyu, perkaranya
bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju,
tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi ketaatan
atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.

Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha
(semoga Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada
Allah dan RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka
kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah berfirman.

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu
dari Allah 'Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan
petang telinga kita mendengarkan perintah-peritah serta
larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan tetapi seolah-olah kita
tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah
menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak
dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman.

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَىٰ سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَىٰ
وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَىٰ ثُمَّ
لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ

"Artinya : Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu
bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran,
orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang
akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di
dalamnya dan tidak (pula) hidup" [al-A'la/87 : 9-13]

Dan Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala
mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mereka hadir dengan hati yang lalai.

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِنْ يَقُولُوا
تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ
كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ
قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

"Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka
menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan
perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada
mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah
terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah
mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" [al-Munafiqun/63 : 4]

Lalu tatkala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun,
Allah berfirman.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّىٰ إِذَا خَرَجُوا مِنْ
عِنْدِكَ قَالُوا لِلَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا ۚ
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا
أَهْوَاءَهُمْ

"Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan
perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata
kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi)
: 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka itulah orang-orang yang
dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka"
[Muhammad/47 : 16]

Takutlah terhadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan
yang terjadi pada orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah
untuk bersikap sebagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla telah mencela
orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah 'Azza wa Jalla
memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti
yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah
'Azza wa Jalla berfirman.

فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ
أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ
هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

"Artinya : Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu,
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [az-Zumar/39 :
17-18]

Ketahuilah wahai hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi
kalian terhadap perintah Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada
lagi pilihan bagimu ! baik engkau kerjakan ataupun tidak.

Tidak ada lagi pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla
yang engkau dilarang darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak !
Engkau dan apa yang engkau miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa
Jalla engkau hamba Allah, dan Allah 'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi
seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam dirinya untuk mendengar dan
taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu nampak berat atas
dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka dari
majikannya.

Dan Allah 'Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang
yang tidak ridha dengan hukumNya dan tidak tunduk kepada RasulNya dan
perintah RasulNya, Allah berfirman.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Sesudah itu, hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama
dengan saya memperhatikan perbandingan ini :

Kita tadi telah mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk
meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya Zainab menolak, karena
pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bersifat
menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah
perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).

Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat
itu, kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya
menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak
setuju), karena seorang wanita berhak memilih calon suami, sebagaimana
lelaki memilih calon istri, dan inilah yang terjadi pada kisah Barirah
:

Dan kisahnya Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari :
"Bahwa 'Aisyah Ummul Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak
bernama Barirah, lalu 'Aisyah memerdekakannya. Barirah ini mempunyai
suami bernama Mughis (dan ia juga seorang budak). Maka tatkala
dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih, apakah ia tetap
berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau bercerai.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya.
Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.

Adapun suaminya, sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang
sangat. Hingga tatkala Barirah memilih bercerai dengannya, ia
berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung kota Madinah
dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata kepada paman beliau Abbas : "Tidakkah engkau heran terhadap
kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis
?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada
Barirah : "Wahai Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada sumimu?"
sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka
Barirah berkata : "Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah atau
hanya mengajurkan saja ?"

Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah
ini !! Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak
berhak menyelisihi perintahmu ? atau engkau hanya menganjurkan saja
sehingga aku boleh berpendapat dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya mengajurkan saja !". Barirah
berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!"

Disini kami berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk
menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran
semata, maka tatkala turun wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan
atau maksiat.

Zainab binti Jahsiy berkata : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam apakah engkau meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya". Jika demikian aku tidak
akan mendurhakai Allah dan RasulNya.

Dan juga terhadap Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menawarkan agar ia kembali kepada suaminya, ayah dari
anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk berpisah dengannya,
Barirah meminta penjelasan : "Apakah engkau menyuruhku wahai
Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus
mendengar dan taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : "Aku hanya
menganjurkan" berkatalah Barirah : "Aku tidak membutuhkannya lagi".

Demikianlah adab para Sahabat terhadap Allah dan Rasulnya, serta
beragama karena Allah dan RasulNya dengan sikap mendengar dan taat,
maka Allah menguasakan kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia
ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong. Adapun
kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan RasulNya, kita bimbang
dan menimbang-nimbang antara perintah dan larangan-laranganNya (kita
kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah keadaan kita ini
sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah,
kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

"Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah
kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat
ditolong (lagi)" [az-Zumar/39 : 54]

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Artinya : Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [an-Nuur/24 : 31]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/
2003 - 1424H, Diterbitkan : Ma'had Ali Al-Irsyad surabaya. Alamat
Redaksi Perpustakaan Bahasa Arab Ma'had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan
Iskandar Muda 46 Surabaya]