tag:blogger.com,1999:blog-90299160664368263332024-03-13T23:07:49.992+07:00Sibolga Ahlul sunnah waljamaahJl.KH.Ahmad dahlan.Kel.Aek habil Kec.Sibolga selatanAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.comBlogger303125tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-68157096946086834362013-02-11T10:12:00.001+07:002013-02-11T10:12:48.634+07:00Ahlus Sunnah Wal Jama'ahOleh<br />
Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi<br />
<br />
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna[1]. Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : "..... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata :<br />
<br />
"Artinya : Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba"[2]<br />
<br />
Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu : Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat berada di atasnya". Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal".[3]<br />
<br />
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).<br />
<br />
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.[4]<br />
<br />
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum.<br />
<br />
Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan : "..... Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah".[5]<br />
<br />
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna :<br />
<br />
Pertama.<br />
Mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.<br />
<br />
Kedua.<br />
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.<br />
<br />
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.<br />
<br />
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan :"Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil".[6]<br />
<br />
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :"Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli".[7]<br />
<br />
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.<br />
<br />
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang dihadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.<br />
<br />
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.<br />
<br />
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH<br />
Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah. [8]<br />
<br />
Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah ini dalam beberapa pendapat :[9]<br />
<br />
[1] Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.<br />
[2] Para Imam Mujtahid<br />
[3] Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.<br />
[4] Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.<br />
[5] Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.<br />
<br />
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna:<br />
<br />
Pertama.<br />
Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah ini dan amirnya.<br />
<br />
Kedua.<br />
Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.[10]<br />
<br />
Syaikhul Islam mengatakan : "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').[11]<br />
<br />
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala :<br />
<br />
"Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram". [Ali-Imran : 105].<br />
<br />
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". [12]<br />
<br />
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : "Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah".[13]<br />
<br />
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.<br />
<br />
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.<br />
<br />
ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH.<br />
Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.<br />
<br />
Az-Zubaidi mengatakan : "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah".[14]<br />
<br />
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan :"Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi". [15]<br />
<br />
Al-Ayji mengatakan :"Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka : "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah".[16]<br />
<br />
Hasan Ayyub mengatakan : "Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid". [17]<br />
<br />
Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini :<br />
<br />
[1] Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.<br />
<br />
[2] Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah edisi 10/I/1415-1994 hal.29-32, terjemahan dari majalah Al-Bayan No. 78 Shafar 1415H/Juli 1994 oleh Ibrahim Said].<br />
_________<br />
Foote Note<br />
[1] Lihat Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy'ariyah I/3804 Oleh Syaikh Abdur Rahman Al-Mahmud dan kitab Mafhum Ahlis Sunnah wal Jama'ah Inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql<br />
[2] Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam "Syarhus-Sunnah" No. 49<br />
[3] Lihat : Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034<br />
[4] Kasyful Karriyyah 19-20<br />
[5] Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107<br />
[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15.<br />
[7] Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr<br />
[8] Lihat : Wujubu Luzuumil Jama'ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi.<br />
[9] Al-I'tisham 2:260-265.<br />
[10] Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya'irah 1:17<br />
[11] Majmu al-Fatawa 3:175.<br />
[12] Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63<br />
[13] Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9<br />
[14] Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6<br />
[15] Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3<br />
[16] Al-Mawaqif hal. 429].<br />
[17] Lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin, hal. 150<br />
<br />
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=962&bagian=0Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-36800984114202228532013-02-11T10:12:00.000+07:002013-02-11T10:12:17.547+07:00Menepis Anggapan Bulan Shafar Adalah Bulan Sial<br />
Sebagaimana bulan Muharram (Jawa: Suro) itu diyakini sebagai bulan yang keramat dan membawa sial, maka muncul pula anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan yang membawa sial, naas, dan penuh dengan malapetaka. Karena bulan sial, maka tidak boleh mengadakan hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana, atau kegagalan dalam pekerjaannya itu.
<br />
<br />
Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.
<br />
<br />
Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.
<br />
<br />
Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
<br />
<br />
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
<br />
<br />
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).
<br />
<br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
<br />
<br />
Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.
<br />
<br />
Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.
<br />
<br />
Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan
<br />
<br />
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
<br />
<br />
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.
<br />
<br />
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)
<br />
<br />
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
<br />
<br />
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.
<br />
<br />
“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)
<br />
<br />
Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.
<br />
<br />
Thiyarah Adat Jahiliyyah
<br />
<br />
Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.
<br />
<br />
Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.
<br />
<br />
Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:
<br />
<br />
1. Karena sesuatu yang dilihat
<br />
<br />
Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.
<br />
<br />
2. Karena sesuatu yang didengar
<br />
<br />
Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.
<br />
<br />
3. Karena waktu-waktu tertentu
<br />
<br />
Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.
<br />
<br />
Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
<br />
<br />
Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.
<br />
<br />
Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.
<br />
<br />
Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:
<br />
<br />
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
<br />
<br />
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)
<br />
<br />
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:
<br />
<br />
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.
<br />
<br />
“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
<br />
<br />
Obat dari Penyakit Ini
<br />
<br />
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
<br />
<br />
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
<br />
<br />
“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):
<br />
<br />
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
<br />
<br />
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).
<br />
<br />
Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.
<br />
<br />
Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.
<br />
<br />
Sumber:
<br />
<br />
Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
<br />
<br />
Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
<br />
<br />
Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
<br />
<br />
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
<br />
<br />
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
<br />
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1671Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-53619790476165637102013-02-11T10:07:00.001+07:002013-02-11T10:11:21.020+07:00METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>IN</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:DontVertAlignCellWithSp/>
<w:DontBreakConstrainedForcedTables/>
<w:DontVertAlignInTxbx/>
<w:Word11KerningPairs/>
<w:CachedColBalance/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /><br />
Oleh<br />
Syaikh Abdul Adhim Badawi<br />
<a href="http://almanhaj.or.id/content/3446/slash/0/metode-salaf-dalam-menerima-ilmu/" target="_blank">http://almanhaj.or.id/content/3446/slash/0/metode-salaf-dalam-menerima-ilmu/</a><br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">كَانَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لِمُؤْمِنٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَلَا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُؤْمِنَةٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِذَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَضَى</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهُ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولُهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَمْرًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَكُونَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَهُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْخِيَرَةُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مِنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَمْرِهِمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۗ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَعْصِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولَهُ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَقَدْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَالًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُبِينًا</span><br />
<br />
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak<br />
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah<br />
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)<br />
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya<br />
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]<br />
<br />
Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan)<br />
khutbah-khutbah, nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali,<br />
melebihi pada zaman para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,<br />
tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat) serta tabiut<br />
tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi'in). Namun bersamaan itu<br />
pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan (perintah<br />
Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan,<br />
dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak<br />
mengamalkan.<br />
<br />
Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu<br />
'alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada<br />
masa yang mulia. Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat,<br />
khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah<br />
seorang sahabat (yang artinya ) : " Adalah Rasulullah Shallallahu<br />
'alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat mencari keadaan dimana<br />
kita giat, lantaran khawatir kita bosan" [Muttafaqun Alaihi]<br />
<br />
Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak<br />
perbuatan, mereka mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diamalkan, sebagaimana<br />
keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya di medan<br />
pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah<br />
yang akan dialami.<br />
<br />
Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu<br />
Allah 'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi<br />
wa sallam dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan.<br />
Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan<br />
larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat mengamalkan ilmu<br />
yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi<br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah<br />
'Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya<br />
ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan berbagai macam sebab) ,<br />
saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab turunnya ayat itu :<br />
<br />
Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa<br />
sallam menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan<br />
tingkatan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara<br />
fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara<br />
orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula<br />
keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah 'Azza<br />
wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada<br />
manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada<br />
keutamaan bagi orang Arab terhadap selain orang Arab, dan tidak ada<br />
keutamaan atas orang yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam<br />
kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka). Sebagaimana firman<br />
Allah 'Azza wa Jalla.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَيُّهَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">النَّاسُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِنَّا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">خَلَقْنَاكُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مِنْ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ذَكَرٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَأُنْثَىٰ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَجَعَلْنَاكُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">شُعُوبًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَقَبَائِلَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لِتَعَارَفُوا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۚ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِنَّ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَكْرَمَكُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">عِنْدَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَتْقَاكُمْ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۚ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِنَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">عَلِيمٌ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">خَبِيرٌ</span><br />
<br />
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari<br />
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu<br />
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.<br />
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah<br />
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah<br />
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [al-Hujurat /49 : 13]<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia<br />
mabda' (pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini,<br />
perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan<br />
karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta popularitas. Maka<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpendapat untuk menanamkan<br />
pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang<br />
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan<br />
keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini<br />
dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh<br />
yang mendalam dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.<br />
<br />
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab<br />
binti Jahsiy anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam<br />
(kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama<br />
yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau<br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengawinkannya dengan budak beliau<br />
Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi orang merdeka<br />
(lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan<br />
bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti<br />
jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah<br />
dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab<br />
: "Engkau harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab :
"Tidak, demi<br />
Allah, selamanya saya tidak akan menikahinya".<br />
<br />
Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu<br />
'alaihi wa sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu<br />
'alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu<br />
:<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">كَانَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لِمُؤْمِنٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَلَا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُؤْمِنَةٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِذَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَضَى</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهُ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولُهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَمْرًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَكُونَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَهُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْخِيَرَةُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مِنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَمْرِهِمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۗ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَعْصِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولَهُ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَقَدْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَالًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُبِينًا</span><br />
<br />
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak<br />
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah<br />
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)<br />
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya<br />
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]<br />
<br />
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat<br />
tersebut kepada Zainab, maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah !<br />
apakah engkau ridha ia menjadi suamiku ?" Rasulullah Shallallahu<br />
'alaihi wa sallam menjawab : "Ya", maka Zainab berkata : "Jika<br />
demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu akupun<br />
menikah dengan Zaid".<br />
<br />
Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan<br />
RasulNya, dan hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya,<br />
lantaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan<br />
dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala turun wahyu, perkaranya<br />
bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju,<br />
tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi ketaatan<br />
atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.<br />
<br />
Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha<br />
(semoga Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada<br />
Allah dan RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka<br />
kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah berfirman.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَعْصِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولَهُ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَقَدْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَالًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُبِينًا</span><br />
<br />
"Artinya : Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka<br />
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]<br />
<br />
Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu<br />
dari Allah 'Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan<br />
petang telinga kita mendengarkan perintah-peritah serta<br />
larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan tetapi seolah-olah kita<br />
tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah<br />
menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak<br />
dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَذَكِّرْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">نَفَعَتِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الذِّكْرَىٰ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">سَيَذَّكَّرُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَخْشَىٰ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَيَتَجَنَّبُهَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْأَشْقَى</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الَّذِي</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَصْلَى</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">النَّارَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْكُبْرَىٰ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ثُمَّ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَمُوتُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فِيهَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَلَا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَحْيَىٰ</span><br />
<br />
"Artinya : Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu<br />
bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran,<br />
orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang<br />
akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di<br />
dalamnya dan tidak (pula) hidup" [al-A'la/87 : 9-13]<br />
<br />
Dan Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala<br />
mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,<br />
mereka hadir dengan hati yang lalai.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَإِذَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">رَأَيْتَهُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">تُعْجِبُكَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَجْسَامُهُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۖ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَإِنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَقُولُوا</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">تَسْمَعْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لِقَوْلِهِمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۖ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">كَأَنَّهُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">خُشُبٌ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُسَنَّدَةٌ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۖ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَحْسَبُونَ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">كُلَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">صَيْحَةٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">عَلَيْهِمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۚ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">هُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْعَدُوُّ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَاحْذَرْهُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۚ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَاتَلَهُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۖ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَنَّىٰ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يُؤْفَكُونَ</span><br />
<br />
"Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka<br />
menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan<br />
perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.<br />
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada<br />
mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah<br />
terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah<br />
mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" [al-Munafiqun/63 : 4]<br />
<br />
Lalu tatkala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun,<br />
Allah berfirman.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمِنْهُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَسْتَمِعُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِلَيْكَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">حَتَّىٰ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِذَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">خَرَجُوا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مِنْ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">عِنْدِكَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَالُوا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لِلَّذِينَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أُوتُوا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْعِلْمَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مَاذَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَالَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">آنِفًا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۚ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أُولَٰئِكَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الَّذِينَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">طَبَعَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">عَلَىٰ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قُلُوبِهِمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَاتَّبَعُوا</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَهْوَاءَهُمْ</span><br />
<br />
"Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan<br />
perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata<br />
kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi)<br />
: 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka itulah orang-orang yang<br />
dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka"<br />
[Muhammad/47 : 16]<br />
<br />
Takutlah terhadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan<br />
yang terjadi pada orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah<br />
untuk bersikap sebagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa<br />
sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla telah mencela<br />
orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah 'Azza wa Jalla<br />
memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti<br />
yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah<br />
'Azza wa Jalla berfirman.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَبَشِّرْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">عِبَادِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الَّذِينَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَسْتَمِعُونَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْقَوْلَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَيَتَّبِعُونَ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَحْسَنَهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۚ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أُولَٰئِكَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الَّذِينَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">هَدَاهُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۖ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَأُولَٰئِكَ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">هُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أُولُو</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْأَلْبَابِ</span><br />
<br />
"Artinya : Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu,<br />
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di<br />
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk<br />
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [az-Zumar/39 :<br />
17-18]<br />
<br />
Ketahuilah wahai hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi<br />
kalian terhadap perintah Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada<br />
lagi pilihan bagimu ! baik engkau kerjakan ataupun tidak.<br />
<br />
Tidak ada lagi pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla<br />
yang engkau dilarang darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak !<br />
Engkau dan apa yang engkau miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa<br />
Jalla engkau hamba Allah, dan Allah 'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi<br />
seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam dirinya untuk mendengar dan<br />
taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu nampak berat atas<br />
dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka dari<br />
majikannya.<br />
<br />
Dan Allah 'Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang<br />
yang tidak ridha dengan hukumNya dan tidak tunduk kepada RasulNya dan<br />
perintah RasulNya, Allah berfirman.<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">كَانَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لِمُؤْمِنٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَلَا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُؤْمِنَةٍ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِذَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَضَى</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهُ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولُهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَمْرًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَكُونَ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَهُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْخِيَرَةُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مِنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَمْرِهِمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ۗ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَمَنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَعْصِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَرَسُولَهُ</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">فَقَدْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ضَلَالًا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مُبِينًا</span><br />
<br />
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak<br />
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah<br />
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)<br />
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya<br />
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]<br />
<br />
Sesudah itu, hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama<br />
dengan saya memperhatikan perbandingan ini :<br />
<br />
Kita tadi telah mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa<br />
sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk<br />
meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya Zainab menolak, karena<br />
pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bersifat<br />
menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah<br />
perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).<br />
<br />
Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat<br />
itu, kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya<br />
menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak<br />
setuju), karena seorang wanita berhak memilih calon suami, sebagaimana<br />
lelaki memilih calon istri, dan inilah yang terjadi pada kisah Barirah<br />
:<br />
<br />
Dan kisahnya Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari :<br />
"Bahwa 'Aisyah Ummul Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak<br />
bernama Barirah, lalu 'Aisyah memerdekakannya. Barirah ini mempunyai<br />
suami bernama Mughis (dan ia juga seorang budak). Maka tatkala<br />
dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih, apakah ia tetap<br />
berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau bercerai.<br />
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya.<br />
Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.<br />
<br />
Adapun suaminya, sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang<br />
sangat. Hingga tatkala Barirah memilih bercerai dengannya, ia<br />
berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung kota Madinah<br />
dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa<br />
sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam<br />
berkata kepada paman beliau Abbas : "Tidakkah engkau heran terhadap<br />
kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis<br />
?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada<br />
Barirah : "Wahai Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada
sumimu?"<br />
sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka<br />
Barirah berkata : "Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah atau<br />
hanya mengajurkan saja ?"<br />
<br />
Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah<br />
ini !! Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak<br />
berhak menyelisihi perintahmu ? atau engkau hanya menganjurkan saja<br />
sehingga aku boleh berpendapat dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu<br />
'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya mengajurkan saja !". Barirah<br />
berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!"<br />
<br />
Disini kami berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk<br />
menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran<br />
semata, maka tatkala turun wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan<br />
atau maksiat.<br />
<br />
Zainab binti Jahsiy berkata : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa<br />
sallam apakah engkau meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah<br />
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya". Jika demikian aku
tidak<br />
akan mendurhakai Allah dan RasulNya.<br />
<br />
Dan juga terhadap Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa<br />
sallam menawarkan agar ia kembali kepada suaminya, ayah dari<br />
anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk berpisah dengannya,<br />
Barirah meminta penjelasan : "Apakah engkau menyuruhku wahai<br />
Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus<br />
mendengar dan taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : "Aku hanya<br />
menganjurkan" berkatalah Barirah : "Aku tidak membutuhkannya
lagi".<br />
<br />
Demikianlah adab para Sahabat terhadap Allah dan Rasulnya, serta<br />
beragama karena Allah dan RasulNya dengan sikap mendengar dan taat,<br />
maka Allah menguasakan kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia<br />
ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong. Adapun<br />
kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan RasulNya, kita bimbang<br />
dan menimbang-nimbang antara perintah dan larangan-laranganNya (kita<br />
kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah keadaan kita ini<br />
sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah,<br />
kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَأَنِيبُوا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِلَىٰ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">رَبِّكُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَأَسْلِمُوا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَهُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">مِنْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">قَبْلِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَنْ</span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">يَأْتِيَكُمُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْعَذَابُ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">ثُمَّ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">تُنْصَرُونَ</span><br />
<br />
"Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah<br />
kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat<br />
ditolong (lagi)" [az-Zumar/39 : 54]<br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">وَتُوبُوا</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">إِلَى</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">اللَّهِ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">جَمِيعًا</span>
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">أَيُّهَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">الْمُؤْمِنُونَ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">لَعَلَّكُمْ</span> <span style="font-family: "Arial","sans-serif";">تُفْلِحُونَ</span><br />
<br />
"Artinya : Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai<br />
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [an-Nuur/24 : 31]<br />
<br />
[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/<br />
2003 - 1424H, Diterbitkan : Ma'had Ali Al-Irsyad surabaya. Alamat<br />
Redaksi Perpustakaan Bahasa Arab Ma'had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan<br />
Iskandar Muda 46 Surabaya]</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-38447304375994107152012-03-12T14:21:00.000+07:002012-03-12T14:21:22.113+07:00<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":1}" style="color: cyan;">
<span style="font-size: large;"><span class="messageBody" data-ft="{"type":3}">ARTI SEBUAH NIAT</span></span></h6>
<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":1}">
<span class="messageBody" data-ft="{"type":3}"> </span></h6>
<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":1}" style="font-weight: normal;">
<span style="font-size: small;"><span class="messageBody" data-ft="{"type":3}">12 Jum'at, 30 April 2003 - 09:30:39,<br /> <br /> Penulis : Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari<br /> <br /> Kategori : Hadits<br /> <br /> ARTI SEBUAH NIAT<br /> <br />
Fungsi niat dalam ibadah sangatlah penting. Karena itu setiap muslim
harus senantiasa memperbaiki niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas untuk
Allah semata.<br /> <br /> عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله
عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات ,
وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله
ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما
هاجر إليه “- متفق عليه<br /> <br /> Arti Hadits / ترجمة الحديث :<br /> <br />
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang
hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan."<br /> <br /> (Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al
Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan
kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang
pernah dikarang) .<br /> <br /> Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh
Imam Bukhari rahimahullah dalam beberapa tempat dari kitab shahihnya
(hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim
rahimahullah dalam shahihnya (no. 1908).<br /> <br /> Berkata Al Imam Ibnu
Rajab Al Hambali tentang hadits ini : "Yahya bin Said Al Anshari
bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ibrahim At
Taimi, dari `Alqamah bin Waqqash Al Laitsi, dari Umar ibnul Khaththab
radliallahu anhu. Dan tidak ada jalan lain yang shahih dari hadits ini
kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh Ali ibnul Madini dan
selainnya”. Berkata Al Khaththabi : "Aku tidak mengetahui adanya
perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini sementara hadits ini
juga diriwayatkan dari shahabat Abu Said Al Khudri dan selainnya”. Dan
dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak akan tetapi
tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan tersebut di sisi para
huffadz (para penghafal hadits).<br /> <br /> Kemudian setelah Yahya bin
Said Al Anshari banyak sekali perawi yang meriwayatkan darinya, sampai
dikatakan : Telah meriwayatkan dari Yahya Al Anshari lebih dari 200
perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya mencapai 700 rawi, yang
terkenal dari mereka di antaranya Malik, Ats Tsauri, Al Auza`i , Ibnul
Mubarak, Al Laits bin Sa`ad, Hammad bin Zaid, Syu`bah, Ibnu `Uyainah dan
selainnya. .<br /> <br /> Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan
menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mantap. Imam Bukhari membuka
kitab Shahihnya dengan hadits ini dan menempatkannya seperti
khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau, sebagai isyarat bahwasanya setiap
amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah maka amalan
itu batil, tidak akan diperoleh buah/hasilnya di dunia terlebih lagi di
akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: "Seandainya aku
membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab
hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya”. Beliau juga mengatakan:
"Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan
hadits innamal a'malu binniyah. (Jam`iul `Ulum wal Hikam, karya Ibnu
Rajab Al Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar Risalah, cet. Ke-4, th. 1413
H/1993 M)<br /> <br /> Hadits ini selain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Dan komentar tentang
hadits ini kami cukupkan dari menukil ucapan Ibnu Rajab Al Hambali di
atas karena padanya ada kifayah (kecukupan).<br /> <br /> Penjelasan Hadits<br /> <br />
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh
balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niatnya. Dalam hal ini
telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Setiap amalan
yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan ataupun kejelekan
tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut
niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan, sebaliknya bila
maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan".
Beliau juga mengatakan: "Hadits ini mencakup di dalamnya seluruh amalan,
yakni setiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan
antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridla Allah dan
pahala di negeri akhirat dengan orang yang beramal karena ingin dunia
apakah berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan
selainnya". (Makarimul Akhlaq, hal 26 dan 27)<br /> <br /> Di sini kita bisa
melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti dan sendinya. Amal
menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal jadi rusak
karena niat yang rusak.<br /> <br /> Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan
mereka yang bermakna: "Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang
dilakukannya maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah ta`ala
memberi pahala bagi seorang hamba apabila baik niatnya sampaipun satu
suapan yang dia berikan (akan diberi pahala)".<br /> <br /> Berkata Ibnul
Mubarak rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi
besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai
kecil karena niatnya". (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 71)<br /> <br /> Perlu
diketahui bahwasanya suatu perkara yang sifatnya mubah bisa diberi
pahala bagi pelakunya karena niat yang baik. Seperti orang yang makan
dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya
untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya. Maka dia
akan diberi pahala karena niatnya yang baik tersebut. Ibnul Qayyim Al
Jauziyah rahimahullah mengatakan : "Perkara mubah pada diri orang-orang
yang khusus dari kalangan muqarrabin (mereka yang selalu berupaya
mendekatkan diri kepada Allah) bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat
(perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah) karena niat".
(Madarijus Salikin 1/107)<br /> <br /> Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits:<br /> <br /> Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.<br /> <br />
Beliau menyatakan: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan
bahwasanya perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan
niat yang baik. Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah
apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul
dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah
perintahkan, atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih, atau
untuk menjaga kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya dan untuk
mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, atau berfikir kepada
perkara haram atau berkeinginan melakukannya dan selainnya dari
tujuan-tujuan yang tidak baik".(Syarh Muslim 3/44)<br /> <br /> Meluruskan Niat<br /> <br />
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niatnya dan
meluruskannya agar apa yang dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan
perbaikan niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan
mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini
sampai-sampai Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : "Tidak ada suatu
perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan
niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku". (Hilyatul Auliya
7/5 dan 62)<br /> <br /> Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah,
ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan
niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang
ikhlas dalam ibadah ini :<br /> <br /> Dan tidaklah mereka diperintah
kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama
bagi-Nya. (Al Bayyinah : 5)<br /> <br /> Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata dalam Majmu` Fatawa (10/49) : "Mengikhlaskan agama
untuk Allah adalah pokok ajaran agama ini yang Allah tidak menerima
selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah mengutus rasul yang pertama
sampai rasul yang akhir, yang karenanya Allah menurunkan seluruh kitab.
Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam
ahlul iman. Dan ia merupakan inti dari dakwah para nabi dan poros Al
Qur'an".<br /> <br /> Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di
hati sehingga tidak boleh dilafazkan dengan lisan. Bahkan termasuk
perbuatan bid`ah bila niat itu dilafazkan.<br /> <br /> Pelajaran Yang Dipetik dari Hadits Ini<br /> <br /> 1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.<br />
2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia
melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak,
apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan
bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang
disyariatkan.<br /> 3. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan
dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka
ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan
apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila
ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah,
puasa qadha atau yang lainnya.<br /> 4. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.<br />
5. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu
diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu
menjadi ma'ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi
sunnah.<br /> 6. Wajibnya berhati-hati dari riya, sum`ah (beramal karena
ingin didengar orang lain) dan tujuan dunia yang lainnya karena perkara
tersebut merusakkan ibadah kepada Allah ta`ala.<br /> 7. Hijrah
(berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang
besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya.<br /> <br /> Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.<br /> <br /> Sumber :<br /> <br /> <a href="http://bit.ly/x36Mei" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://bit.ly/x36Mei</a></span></span></h6>
<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":1}" style="font-weight: normal;">
<span style="font-size: small;"><span class="messageBody" data-ft="{"type":3}"> </span></span></h6>
<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":1}">
<span class="messageBody" data-ft="{"type":3}">-><span class="fcg"> — di MARKIZ SALAFIYIN, JAKARTA.</span></span></h6>
<div class="mvm uiStreamAttachments clearfix fbMainStreamAttachment" data-ft="{"type":10}">
<div class="UIImageBlock clearfix">
<a class="external UIImageBlock_Image UIImageBlock_MED_Image" data-ft="{"type":41}" href="http://bit.ly/x36Mei" rel="nofollow" target="_blank" title=""><img alt="" class="img" src="https://s-external.ak.fbcdn.net/safe_image.php?d=AQB7eKVvkKyspqGr&w=90&h=90&url=http%3A%2F%2Fasysyariah.com%2Fwp-content%2Fplugins%2Feasing-slider%2Fimages%2Fshadow_arc.png" /></a><div class="UIImageBlock_Content UIImageBlock_MED_Content fsm fwn fcg">
<div class="uiAttachmentTitle" data-ft="{"type":11}">
<strong><a href="http://bit.ly/x36Mei" rel="nofollow" target="_blank">Majalah Islam AsySyariah</a></strong> </div>
<span class="caption">asysyariah.com</span></div>
</div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-52044782108553419162010-04-28T11:50:00.000+07:002010-04-28T11:51:36.590+07:00TAHLILAN UNTUK MAYIT TIDAK PERNAH DICONTOHKAN OLEH RASULULLAH DAN IMAM SYAFI'IMaha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata'ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.<br /><br />Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.<br /><br />Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.<br /><br />Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.<br /><br />Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.<br /><br />Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.<br /><br />Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata'ala telah berfirman (artinya):<br />“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)<br /><br />Historis Upacara Tahlilan<br />Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?<br />Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.<br />Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.<br /><br />Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam<br />Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:<br /><br />Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.<br />Kedua: Penyajian hidangan makanan.<br />Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.<br />Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah<br /><br />1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.<br />Memang benar Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?<br />Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):<br />“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)<br /><br />Juga Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br /><br />مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ<br /><br />“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)<br />Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />Suatu ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)<br />Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata'ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Allah subhanahu wata'ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):<br />“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)<br />Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.<br />Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata'ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)<br />Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:<br /><br />مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ<br /><br />“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)<br />Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:<br /><br />فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ<br /><br />“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”<br />Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:<br /><br />مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ<br /><br />“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.<br />Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):<br />“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).<br /><br />2. Penyajian hidangan makanan.<br />Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu 'anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)<br /><br />Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)<br /><br />Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).<br /><br />Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?<br /><br />Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadistnya:<br /><br />اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ<br /><br />“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)<br />Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.<br /><br />http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-19646739504696081322010-04-19T10:57:00.001+07:002010-04-19T10:57:56.620+07:00DI BALIK FENOMENA FACEBOOKKetika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuah episode infotainment setiap hari.<br />Ketika aib seseorang ditunggu-tunggu ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa.<br /><br />Ketika seorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasei yang ditunggu-tunggu ...’siapa calon bapak si jabang bayi?’<br />Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.<br /><br />Wuiih......mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.<br /><br />Wuiiih......ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnya apapun diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohon maaf ....’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.<br /><br />Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :<br />Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya.....?”------kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mau ditemanin? Dijamin puas deh...”<br /><br />Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua, biasa....habis malam jumat ya begini...:” kemudian komen2 nakal bermunculan...<br /><br />Ada yang menulis “ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....”, ----kemudian komen2 pelecehan bermunculan.<br /><br /><br />Ada pula yang komen di wall temannya “ eeeh ini si anu ya ...., yang dulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu....” ----lupa klu si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis.<br /><br />Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya “habis minum jamu nih...., ada yang mau menerima tantangan ?’----langsung berpuluh2 komen datang.<br />Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit...”<br />Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget...bakal tidur pake dalaman lagi nih” .<br />Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin ada komen-komen dari lainnya.<br /><br />Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.<br /><br />Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.<br /><br /><br />Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru sj di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yg didalam foto tersebut sudah berjilbab<br /><br /><br /><br />Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudah berubah dari kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan islami, foto saat dulu jahiliyah bersama teman2 prianya bergandengan dengan ceria....<br /><br /><br /><br />Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang.<br /><br /><br /><br />Rasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintai Allah...., yaitu Muhammad SAW, Rasulullah kepada umatnya. Seseorang yang sangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketika Rasulullah bertanya pada Aisyah r.ha<br /><br />“ Wahai Aisyah apa yang dapat saya makan pagi ini?” maka Istri tercinta, sang humairah, sang pipi merah Aisyah menjawab “ Rasul, kekasih hatiku, sesungguhnya tidak ada yang dapat kita makan pagi ini”. Rasul dengan senyum teduhnya berkata “baiklah Aisyah, aku berpuasa hari ini”. Tidak perlu orang tahu bahwa tidak ada makanan di rumah rasulullah....<br /><br /><br /><br />Ingatlah Abdurahman bin Auf r.a mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekah ke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dan sebagian rumahnya,<br /><br />maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan saja saya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaan hidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimanan seseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda, “Malu itu sebahagian dari iman”. (Bukhari dan Muslim).<br /><br /><br /><br />Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni ‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.Dan Rasulullah SAW menegaskan dengan sindiran keras kepada kita“Apabila kamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau.” (Bukhari).<br /><br />Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.<br /><br />Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakan cahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allah kemudian ter inqilabiyah – tershibghoh, tercelup dan terwarnai cahaya ilahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.<br /><br />Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu, mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.<br /><br />Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’ membuat Iffah kita luntur tak berbekas.<br /><br />catatan<br />***"Iffah (bisa berarti martabat/kehormatan) adalah bahasa yang lebih akrab untuk menyatakan upaya penjagaan diri ini. Iffah sendiri memiliki makna usaha memelihara dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak halal, makruh dan tercela."<br /><br />Sumber : FTJAI<br /><br />Judul Asli : Ketika Iffah mulai luntur (dibalik fenomena facebook)<br />---------------------------------------------------------------------------------------------<br />Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”( HR Muslim)<br /><br />Apabila ada kebaikan dalam catatan ini, maka sebaiknya mari kita SEBARKAN untuk dibaca oleh orang yg kita cintai<br /><br />“Orang yang menyeru (menyuruh/menasehatkan) kepada kebaikan akan memperoleh pahala seperti orang yang mengamalkan seruannya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan sedikitpun. Sebaliknya, orang yang menyeru kejahatan akan mendapatkan dosa seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengamalkannya sedikitpun.” (HR. Muslim)Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-77118415012610062502010-04-19T10:44:00.000+07:002010-04-19T10:48:58.036+07:00Kemujaraban Al-Fatihah Yang Mengandung Kesembuhan bagi Hati dan Kesembuhan bagi BadanKandungan Al-Fatihah yang mampu menyembuhkan hati meru-<br />pakan kandungannya yang paling komplit. Sumber penyakit hati dan<br />deritanya ada dua macam: Ilmu yang rusak dan tujuan yang rusak. Dari dua sumber ini muncul dua penyakit lain: Kesesatan dan kemarahan. Kesesatan merupakan akibat dari ilmu yang rusak, sedangkan kemarahan merupakan akibat dari tujuan yang rusak. Dua jenis penyakit ini merupakan inti dari semua jenis penyakit hat i. Hidayah ke jalan yang lurus men-jamin kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon hidayah ini merupakan doa yang paling wajib bagi setiap hamba, yang juga diwajibkan atas dirinya setiap malam dan siang, dalam setiap shalat dan saat terdesak keperluan.<br /><br />Sedangkan penegasan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in secara ilmu dan ma’rifat, amal dan kondisional, menjamin kesembuhan dari penya-kit hati dan tujuan yang rusak. Sebab tujuan yang rusak ini berkaitan dengan sasaran dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang pasti akan ter-putus dan fana, menggunakan berbagai macam sarana untuk dapat me-raihnya, maka hal itu justru akan menjadi beban baginya dan tujuannya jelas salah.<br /><br />Inilah keadaan setiap orang yang tujuannya untuk mendapatkan hal-hal selain Allah dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang yang hanya ingin memuaskan nafsunya, para tiranyang menopang kekuasaannya dengan segala cara, tak peduli benar maupun batil. Jika ada kebenaran yang menghambat jalan kekuasaannya, maka mereka mendepaknya. Jika tidak mampu mendepaknya, mereka akan menepis kebenaran itu, layaknya pemelihara sapi yang menyingkirkan sampah di kandang. Jika mereka tidak bisa melakukannya, mereka menghentikan langkah di jalan itu lalu mencari jalan lain. Dengan cara apa pun mereka siap menolaknya. Jika ada kebenaran yang mendukung kekuasaan, mereka mendukungnya, bukan karena itu merupakan kebenaran, tapi karena kebenaran itu yang kebetulan sejalan dengan tujuan dan nafsunya.<br /><br />Karena tujuan dan sarana yang dipergunakan rusak, maka mereka<br />adalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi, jika tujuan yang mereka raih meleset. Merekalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi di dunia, yaitu jika kebenaran dikatakan benar dan kebatilan dikatakan batil. Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Penyesalan ini akan semakin nyata tatkala mereka meninggal dunia dan menghadap Allah serta berada di alam Barzakh.<br /><br />Begitu pula orang yang mencari tujuan yang tinggi dan sasaran yang<br />mulia, namun tidak menggunakan sarana yang mendukungnya untuk<br />meraih tujuan itu, dia hanya mendugaduga sarana yang digunakannya itu akan mendukungnya. Keadaan orang ini tak jauh berbeda dengan orang yang pertama. Dia tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.<br /><br />Obat ini mempunyai empat komposisi: Ibadah kepada Allah, perintah<br />dan larangan-Nya, memohon pertolongan dengan beribadah kepada-Nya, tidak dengan hawa nafsu, tidak dengan pendapat manusia dan<br />pemikirannya, tidak dengan diri manusia dan kekuatannya. Inilah unsur-unsur yang terkandung di dalam obat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Jika unsur-unsur ini diramu oleh seorang dokter yang berpengalaman, tentu akan menjadi obat yang sangat mujarab.<br /><br />Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika<br />seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa, yaitu riya’ dan taka-bur. Obat riya adalah iyyaka na’budu, sedangkan obat takabur adalah iyyaka nasta’in. Seringkali kami mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Iyyaka na’budu menolak penyakit riya’, dan iyyaka nasta’in menolak penyakit takabur.”<br /><br />Jika seseorang diberi kesembuhan dari penyakit riya’ dengan iyyaka<br />na’budu, diberi kesembuhan dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaka nasta ‘in, diberi kesembuhan dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan ihdinash-shirathal-mustaqim, berarti dia telah diberi kesembuhan dari segala macam penyakit. Namun di antara orang-orang yang menda-pat kenikmatan juga ada yang mendapat murka. Mereka adalah orang-orang yang tujuannya rusak, yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun menyimpanginya. Ada pula di antara mereka yang adh-dhallin (sesat), yaitu mereka yang memiliki ilmu yang rusak dan tidak mengetahui kebenaran.<br /><br />Tentang surat Al-Fatihah yang mengandung obat bagi penyakit<br />badan, maka akan kami jelaskan seperti yang telah dijelaskan As-Sunnah dan dikuatkan ilmu medis serta berdasarkan pengalaman. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abul-Mutawakkil An-Najy, dari Abu Sa’id Al-Khudry, bahwa ada beberapa orang dari shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang melewati sebuah perkampungan Arab dalam perjalanannya. Para penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka sebagai tamu, apalagi menjamu. Pada saat yang sama pemimpin mereka disengat hewan. Maka penduduk kampung mendatangi mereka dan bertanya, “Adakah kalian mempunyai mantera atau adakah di antara kalian yang bisa menyembuhkan dengan mantera?”<br /><br />“Ya, ada. Tapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami<br />tidak mau mengobati kecuali jika kalian memberikan imbalan kepada<br />kami.”<br /><br />Maka penduduk kampung itu sepakat untuk memberikan beberapa<br />ekor kambing. Maka setiap orang di antara para shahabat itu membacakan Al-Fatihah. Seketika itu pula pemimpin kampung itu bangkit, se-akan-akan sebelumnya dia tidak pernah sakit. Kami berkata, “Janganlah kalian terburu-buru menerima imbalan ini sebelum kita menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.”<br /><br />Setelah bertemu beliau, mereka menceritakan kejadian ini. Beliau<br />bersabda, “Apa pendapat kalian kalau memang Al-Fatihah itu benar-benar merupakan ruqyah? Terimalah imbalan itu dan sisihkan bagianku.”<br /><br />Hadits ini menjelaskan keampuhan Al-Fatihah yang bisa menyem-<br />buhkan sengatan hewan, sehingga ia berfungsi sebagaimana obat, atau bahkan lebih mujarab daripada obat itu sendiri. Padahal orang yang disembuhkan itu tidak terlalu tepat untuk disembuhkan dengan cara tersebut, entah karena penduduk kampung itu bukan orang Muslim atau karena mereka orang-orang yang kikir. Lalu bagaimana jika yang disembuhkan tidak seperti mereka?<br /><br />Sedangkan dari teori medis, dapat dibuktikan sebagai berikut, bahwa<br />sengatan itu berasal dari hewan yang mempunyai racun, yang berarti<br />mempunyai jiwa yang kotor dan terbentuk karena amarah, lalu menyalurkan unsur racun yang panas lewat sengatan itu. Jika jiwa yang kotor ini terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kemarahan, maka ia akan merasa senang jika dapat menyalurkan racun ke tempat yang layak menerimanya, sebagaimana orang jahat yang merasa senang jika dapat menyalurkan kejahatannya terhadap orang yang layak menerimanya. Bahkan dia merasa tersiksa jika tidak bisa menyalurkan kejahatannya itu kepada seseorang.<br /><br />Prinsip penyembuhan ialah dengan menggunakan kebalikannya dan<br />menjaga dengan sesuatu yang serupa. Kesehatan dijaga dengan sesuatu yang serupa dan penyakit disembuhkan dengan kebalikannya. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Bijaksana. Namun hal ini tidak akan berhasil kecuali dengan kekuatan jiwa pelakunya dan reaksi penerimanya. Jika jiwa orang yang disengat tidak layak menerima ruqyah itu dan jiwa yang membacakan ruqyah tidak mampu memberikan pengaruh apa-apa, maka kesem-buhan tidak akan berhasil.<br /><br />Jadi di sini ada tiga unsur: Kesesuaian obat dengan penyakit, ke-<br />sungguhan orang yang mengobati dan orang yang diobati bisa meneri-<br />manya. Jika tidak ada kelaikan pada salah satu unsur ini, maka kesembuhan tidak akan terjadi.<br /><br />Siapa yang bisa memahami hal ini, tentu dia bisa memahami rahasia<br />ruqyah tersebut, bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat dan bisa mencocokkan obat dengan penyakit yang hendak diobati, seperti penggunaan pedang untuk memotong barang yang memang bisa dipotong dengan pedang itu.<br /><br />Sedangkan dari kesaksian pengalaman, maka cukup banyak orang<br />yang mengalaminya. Saya sendiri pernah mempunyai pengalaman dalam penggunaan Al-Fatihah sebagai ruqyah ini dengan hasil yang benar-benar menakjubkan, terutama pada saat-saat saya menetap di Makkah. Suatu saat saya sakit yang benar-benar amat menyiksa, hingga hampir-hampir saya tidak bisa menggerakkan badan karenanya. Padahal saat itu saya harus mengerjakan thawaf dan lain-lainnya. Maka saya segera membaca Al-Fatihah, lalu mengusapkan telapak tangan ke bagian-bagian tubuh yang sakit. Seakan-akan dari bagian yang sakit itu ada kerikil yang jatuh. Pengalaman seperti ini tidak terjadi hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Pernah juga saya mengambil air Zamzam lalu membacakan Al-Fat ihah pada air itu dan saya meminumnya. Hasilnya, saya merasa mendapat kekuatan baru yang tidak pernah kurasakan yang seperti itu. Tentu saja semua ini harus didasari kekuatan iman dan keyakinan yang benar.<br /><br />Madarijus Salaikin – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah<br /><br />Di copi dari:http://shirotholmustaqim.wordpress.com/2010/04/08/kemujaraban-al-fatihah-yang-mengandung-kesembuhan-bagi-hati-dan-kesembuhan-bagi-badan/Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-87732410114059196312010-04-19T10:39:00.000+07:002010-04-19T10:44:44.368+07:00(Biografi) Al Qosim bin Muhammad Tabi'in Amanah dari MadinahAl-Qasim yang banyak meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma-, merupakan seorang tabi’in yang tsiqah (amanah). Wajar jika kemudian ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia berkata, “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim sebagai khalifah.” Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah sebagai anak yatim dalam tarbiyah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiallahu 'anha.<br />Al-Qasim, yang menurut Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu 'anhuma adalah cucu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu yang paling mirip dengan kakeknya ini, mengatakan: “‘Aisyah adalah seorang mufti wanita dari jaman Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan seterusnya sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba ilmu darinya dan juga duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar”. Ini adalah ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya terhadap ilmu din (agama) meskipun menanggung beban hidup berat sebagai anak yatim.<br />Ayyub, salah seorang ulama hadits, berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang halal untuknya senilai seratus ribu dinar”. Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan sifat wara’ dan keutamaan Al-Qasim. Bahkan kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia katakan sendiri, “Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak Allah, lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya.”<br />Adapun ketinggian ilmunya dinyatakan oleh beberapa ulama, di antaranya:<br />Anaknya, Abdurrahman bin Al-Qasim, berkata, “Ia adalah manusia paling utama di jamannya.” Abdurrahman bin Abiz-Zinad berkata, “Aku tidak melihat seorang yang lebih tahu tentang As Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan seseorang tidak dianggap lelaki hingga ia mengetahui As Sunnah, tak seorang pun yang lebih jenius akalnya darinya.” Khalid bin Nazar (menceritakan, red) dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: “Orang yang paling mengetahui hadits ‘Aisyah ada tiga: Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman.”<br />Ia pun memiliki banyak hikmah yang ia ucapkan. Al-Imam Malik berkata, “Al-Qasim didatangi seorang penguasa Madinah yang akan menanyakan sesuatu, lalu Al-Qasim berkata, ‘Berkata dengan ilmu termasuk memuliakan diri sendiri’.” Al-Qasim juga berkata, “Allah menjadikan (bagi) kejujuran, (dengan) kebaikan yang akan datang sebagai ganti dari-Nya”.<br />Sebelum meninggal, Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya, “Ratakanlah kuburku dan taburilah dengan tanah serta janganlah kamu menyebut-nyebut keadaanku demikian dan demikian.”<br />Al-Qasim, seorang tokoh tabi’in besar yang buta matanya di akhir kehidupannya, wafat pada masa kekhalifahan Yazid bin Abdil Malik bin Marwan, dalam usia 71 tahun. Tepatnya pada tahun 107 H, sewaktu menunaikan ibadah ‘umrah bersama Hisyam bin Abdil Malik di perbatasan antara kota Madinah dan Makkah.<br />Walllahu a’lam.<br />http://darussalaf.or.id/stories.php?id=580Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-21509817209182021042010-04-19T10:35:00.000+07:002010-04-19T10:39:10.774+07:00BIDADARIKU DI DUNIA DAN DI SURGA"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak 186*) dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imran : 14)<br /><br />186*). Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.<br /><br />Siapakah yang tak suka dengan hal tersebut? Kita sangat menginginkan pasangan hidup, lalu menginginkan kehadiran sang buah hati. Tak dapat dipungkiri, ingin punya harta yang banyak. Ingin memiliki kendaraan terbaik. Banyak sekali keinginan-keinginan yang lain. Itu adalah hal yang wajar dan lumrah, dan Allah memberikan penekan tentang hal tersebut di penghujung ayat tersebut "... Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."<br /><br /><br />Kebahagian hidup di dunia menjadi bagian yang banyak diinginkan manusia, Allah pun mengingatkan.... Jangan terlena. Ada kebahagiaan yang hakiki yang harus diraih....<br /><br />Ingat... itu hanya kesenangan sementara....<br /><br />Jangan sampai hal tersebut ... akan menghilangkan kebahagiaan yang sesungguhnya.<br /><br /><br />Allah pun mengingatkan.....<br /><br />"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At Taubah : 24)<br /><br />Jangan sampai Allah dikesampingkan, ada tugas pokok yang melekat dalam diri kita,<br /><br />"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. " (QS. Adz Dzaariyaat : 56)<br /><br />Jauh-jauh hari sebelum kita lahir kita terikat dengan perjanjian kita dengan Allah<br /><br />"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", " (QS. Al A'raaf : 172)<br /><br />Saatnya kita menata ulang niat kita, jangan sampai niat kita tersimpangkan oleh kepentingan dunia yang hanya sementara<br /><br />"Amirul mukminin, Umar bin khathab radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.<br /><br />Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits.<br /><br />Bolehlah kita menginginkan kesenangan terhadap wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kendaraan terbaik, berbagai aktivitas bisnis.<br /><br />Tapi jangan sampai lupa untuk senantiasa mengingat Allah.<br /><br />Selayaknya kita harus bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kita harus bisa mendapatkan pasangan yang akan menjadi pasangan hidup selamanya di dunia dan di akhirat.<br /><br /><br />Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda:<br />“Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim,Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)<br /><br />Dalam lafazh lain:<br />“Sesungguhnya dunia ini adalah perhiasan dan tidak ada di antara perhiasan dunia yang lebih baik daripada wanita yang sholihah.” (HR. Ibnu Majah)<br /><br />Dalam lafazh lain:<br />“Sesungguhnya dunia ini seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah.” (HR. Ahmad)<br /><br />Ya kita harus bisa mendapatkan wanita yang sholihah!<br />Kita harus mendidik isteri kita menjadi isteri yang sholihah. Kita harus bisa menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan juga mau berdakwah.<br /><br />Menjadi rumah tangga kita seperti yang diunggkapkan Rasulullah "Baiti Jannati'<br /><br />Menjadikan isteri kita lebih dari Bidadari. dan bidadari pun cemburu kepadanya.<br /><br />Al Imam Ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu Salamah,<br /><br />bahwa ia Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Ya Rasulullah, jelaskanlah padaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli…”<br /><br />Beliau menjawab. “Bidadari yang kulitnya bersih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau bak sayap burung Nasar."<br /><br />Aku (Ummu Salamah) berkata lagi, “Jelaskanlah padaku Ya Rasulullah, tentang firmanNya: Laksana mutiara yang tersimpan baik (Al Waqi’aj 23) ..!”<br /><br />Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tak pernah tersentuh tangan manusia…”<br /><br />Aku bertanya, “Ya Rasulullah, jelaskanlah kepadaku tentang firman Allah: Di dalam surga itu ada bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik (Ar Rahman 70) ..!”<br /><br />Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita.”<br /><br />Aku bertanya lagi, “Jelaskanlah padaku firman Allah: Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan baik.” (Ash Shaffat 49) ..!”<br /><br />Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada bagian dalam telur dan terlindung dari kuliat bagian luarnya, atau yang biasa disebut putih telur.”<br /><br />Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah,jelaskan padaku firman Allah: Penuh cinta lagi sebaya umurnya (Al Waqi’ah 37) ..!<br /><br />Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia dalam usia lanjut dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Allah menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi, dan umurnya sebaya.”<br /><br />Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukan bidadari yang bermata jeli?”<br /><br />Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat.”<br /><br />Aku bertanya, “Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari?”<br /><br />Beliau menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, “Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”<br /><br />Aku berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan merekapun masuk surga. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”<br /><br />Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu diapun memilih siapa di antara mereka yang paling baik akhlaqnya. Lalu dia berkata, “Rabbi, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya…”<br /><br />…Wahai Ummu Salamah, akhlaq yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.” (HR At Thabrani)<br /><br /><br />Lalu seperti apakah agar bidadari cemburu padamu?<br /><br />Menjadikan diri shalihah, agar bidadari cemburu padamu.<br /><br />Allah berfirman:<br /><br />"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri 289*) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)290*). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya 291*), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya 292*). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. " (QS. An Nisaa' : 34)<br /><br />289*). Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.<br /><br />290*). Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.<br /><br />291*). Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.<br /><br />292*). Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.<br /><br /><br />Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam ditanya:’Siapakah wanita yang paling baik?’ Beliau menjawab:<br />‘(Sebaik-baik wanita) adalah yang menyenangkan (suami)-nya jika ia melihatnya, mentaati (suami)-nya jika ia memerintahnya dan ia tidak menyelisihi (suami)-nya dalam hal yang dibenci suami pada dirinya dan harta suaminya.’” (HR. Ahmad, al Hakim, an Nasa’i dan ath Thobrani dan di Shohihkan oleh al Albani).<br /><br />Jadi jangan sampai salah dalam memilih pasangan, pilihlah wanita yang shalihah.<br /><br />Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam beliau bersabda:<br /><br />“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, kecantikannya dan karena dien (agama)-nya; maka pilihlah yang memiliki dien maka engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim).<br /><br />Bagaimana menjadi wanita Shalihah?<br /><br />Apakah wanita shalihah itu orang yang berbuat baik, mau sholat, menurut kepada suami selama tidak bertentangan dengan perintah Allah sementara dirinya tidak mau memakai jilbab yang menutupi auratnya?Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-75531087738091681472010-04-19T10:32:00.002+07:002010-04-19T10:35:09.672+07:00Selalu Ada Hikmah, Di Balik Percekcokan Rumah TanggaOleh: Ustadz Abu Umar Basyier<br /><br />Hikmah ‘Huru-Hara’ Rumah Tangga<br />Bagi kaum beriman, pernikahan memiliki nilai multikompleks. Nuansa iman dan pengabdian menjadi motivator tersendiri yang melahirkan berbagai target dan tujuan mulia dalam mengarungi hidup berumah tangga. Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam yang memiliki nilai ‘greget’ paling dominan adalah mencari kebahagiaan.<br />Kenikmatan Di Balik Prahara<br />Mencari kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga tak ubahnya mencari ‘benda kesayangan’ yang lenyap di rerimbunan hutan belukar, atau menuntaskan dahaga dengan meneguk air embun yang dikumpulkan dari dedaunan di kebun yang luas membentang. Sesuatu yang harus, tapi tidak bisa diperoleh dengan bersantai-santai, tidak bisa dicapai usaha yang dilakukan setengah-setengah. Namun di situlah letak seni kebahagiaan dalam rumah tangga, bahkan dalam persepsi umum, juga kebahagiaan dalam segala hal.<br />Allah berfirman:<br />“Sesungguhnya di balik kesulitan, pasti terdapat kemudahan.” (Al-Insyiraah : 6)<br />Pepatah Arab mengatakan:<br />“Bersusahpayahlah. Kerena kenikmatan hidup itu didapatkan melalui kepayahan.”<br />Tentu saja, segala kesulitan itu bukanlah hal yang kita cari-cari. Tapi garis takdir dan sunnatullah telah tergurat sedemikian rupa dalam realitas kehidupan rumah tangga siapapun di dunia ini, termasuk rumah tangga Rasulullah r. Bahkan realitas itu mirip dengan fenomena dosa. Setiap muslim harus menghindari dosa. Tapi tak seorangpun yang terbebas dari dosa. Sehingga Rasulullah r menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:<br />“Masing-masing anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang paling banyak bertaubat.”<br />Bahkan dalam Miftaah Daaris Sa’aadah jilid kedua, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di antara hikmah terjadinya dosa adalah agar semakin jelas keberadaan Allah sebagai Yang Maha Pengampun, dan juga keberadaan Allah sebagai Yang Maha Dahsyat siksa-Nya. Melalui rangkaian dosa demi dosa, muncul berbagai keutamaan istighfar dan bertaubat. Bahkan karena ‘dosa’ Adam, umat manusia berkesempatan melakukan banyak amal kebajikan, menebarkan amar ma’ruf nahi mungkar di dunia ini. Untuk tujuan itu pula di utus para nabi. Semua itu adalah hikmah dari adanya dosa. Namun tidaklah berarti kita hidup untuk berbuat dosa. Demikian juga halnya berbagai problematika dalam hidup rumah tangga. Meski bukan hal yang dicari-cari, namun mau tidak mau harus tetap dihadapi, dan pada akhirnya, bagi seorang mukmin sejati, pasti akan menyemburatkan ribuan hikmah yang tersembunyi.<br />Ragam-ragam Kesulitan Rumah Tangga<br />Saat bahtera rumah tangga di lepas di pantai pelaminan, suka dan duka kehidupan suami istri mulai dikecap secara bergantian. Soal kenikmatan dan kebahagiaannya, tidak perlu diungkapkan lagi. Hanya sepasang pengantin yang sedang ‘dilanda’ bulan-bulan kenikmatan yang mampu mengungkapkannya secara lebih hidup dan nyata. Namun saat hubungan interaksi mulai berlangsung, saat kepekeaan, emosi dan tingkat intelektualitas mendapat ujian menghadapi batu-batu sandungan, masing-masing harus lebih mawas diri. Kesabaran menjadi kata kunci menuju sukseks melawan dera masalah. Kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul, yang mungkin bisa diistilahkan sebagai bumbu rumah tangga, bisa berpangkal dari banyak hal. Mungkin di antaranya sebagai berikut:<br />1. Perbedaan karakter dasar.<br />2. Perbedaan tingkat intelejensi, kadar intelektualitas dan wawasan berpikir.<br />3. Perbedaan usia yang terlalu menyolok.<br />4. Perbedaan latar belakang pengalaman, satus sosial dan lingkungan hidup.<br />5. Perbedaan pemahaman dan prinsip hidup dan beragama.<br />6. Kurangnya pengalaman interaksi sosial.<br />7. Kesulitan ekonomi.<br />8. Cacat dan kekurangan pisik ataupun mental yang baru diketahui belakangan.<br />Di antara beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga tersebut, ada yang bersifat prinsipil sehingga tidak bisa ditolerir, seperti perbedaan prinsip hidup dan pemahaman agama. Dalam hal ini, harus ada penyatuan melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Bila tidak mungkin, bisa menjadi kendala yang tidak akan terselesaikan kecuali dengan perceraian. Di antara faktor lain, ada yang sah dijadikan alasan untuk ‘menggugat pernikahan’, seperti cacat tersembunyi, atau perbedaan tingkat intelejensi dan status sosial yang terlalu menyolok. Dalam istilah agama disebut perbedaan kufu. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi sama sekali. Sementara faktor-faktor lain lebih menyerupai kendala umum yang hampir dialami oleh setiap rumah tangga.<br />Menghindari Badai<br />Segala persoalan dan kesulitan dalam rumah tangga, sekecil apapun, sering terlihat bagaikan badai laut, karena terasa mengusik kenikmatan yang sedang dicoba untuk diraih secara optimal. ‘Badai’ itu sudah pasti ada, besar atau kecil. Kita tidak dituntut untuk melawan goncangan badai, namun usahakan secerdik mungkin menghindarinya atau menghindari bahayanya bila memang ‘sang badai’ sudah sempat menerpa.<br />Badai rumah tangga seringkali tampil dalam wujud percekcokan antara suami istri. Kalau dibilang sebagai bumbu, mungkin lebih layak disebut bumbu yang terlalu pedas. Karena percekcokan antara dua insan yang seharusnya bersatu, yang seharusnya tenggelam dalam suasana tentram, penuh dengan kasih saying, jelas berpengaruh amat besar terhadap kebahagiaan masing-masing pihak, bahkan berpengaruh pada penyelesaian tugas masing-masing dalam rumah tangga. Banyak nasihat para ulama yang dipaparkan dalam buku-buku panduan pernikahan untuk mengatasi terjadinya kasus percekcokan pasutri tersebut. Mungkin bisa kita tarik beberapa point terpenting di antaranya:<br />1. Mempelajari hukum-hukum syariat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r. Kiat pertama ini untuk membentengi masing-masing pasutri dalam kesalahan mengambil sikap saat akan, sedang atau setelah terjadinya konflik.<br />2. Meneliti kembali hak dan kewajiban masing-masing. Dengan kiat ini, diharapkan kesalahan akibat melalaikan hak dan kewajiban yang sering menimbulkan polemik bisa dihindari, setidaknya diminimalisir.<br />3. Meminta nasihat orang tua dan alim ulama. Orang tua diperlukan dengan pengalamannya. Sementara para ulama dibutuhkan dengan ilmu, wawasan dan fatwanya. Menyelesaikan segala hal dengan segala keterbatasan diri sendiri adalah sikap nekat yang sering berakibat fatal.<br />4. Mengoptimalkan kesabaran, bila perlu melatih diri untuk menjadi lebih penyabar dan tabah menghadapi segala masalah. Di dalam hidup berumah tangga, kesabaran lebih dibutuhkan daripada sekedar berinteraksi dengan teman dekat misalnya. Istri, bagi seorang suami, sudah menjadi belahan jiwa. Sehingga menghadapi seorang istri yang sulit memahami ungkapan dan penjelasannya saja seorang suami sudah bisa dibikin susah. Oleh sebab itu, tidak jarang seorang suami tampil demikian percaya diri dan amat meyakinkan di hadapan publik, namun menjadi amat bodoh dan tidak punya nyali di hadapan istrinya. Demikian juga seorang istri. Seringkali seorang istri mampu menahan berbagai terpaan fitnah hebat dari luar rumah, namun menjadi pusing tujuh keliling, hanya menghadapi seorang suami yang menimbulkan masalah-masalah sederhana. Di situ kesabaran diuji.<br />5. Memaklumi sebagian kekurangan. Ibarat pepatah Arab yang artinya: “Siapa yang mencari kawan tanpa kekurangan, pasti akan hidup tanpa kawan.” Nabi r juga telah memperingatkan kita agar memaklumi sebagian dari kekurangan pasangan kita. Karena bila kita kecewa terhadap salah satu sifat buruknya, pasti kita akan dibuat terperangah dan senang oleh sifatnya yang lain.<br />6. Bertaubat. Hanya taubat yang tulus yang dapat membuka pintu hati masing-masing pasangan suami istri untuk mengetahui kekurangannya, untuk mau memperbaiki diri dan menjalankan segala kewajibannya di hadapan Allah dan terhadap pasangannya. Allah berfirman dalam surat At-Tahriem ayat 10, yang artinya:<br />“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian dengan taubat yang tulus. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian..”<br />Taubat yang tulus membuka pintu ampunan Allah . Seringkali salah satu pasangan suami istri menukas cerdik,<br />“Kalau Allah l saja mau memberikan ampunan, kenapa kita tidak?”<br />Mungkin bisa dijawab dengan canda ringan,<br />“Ya bisa saja, tapi ada syaratnya. Taubat kan juga ada syaratnya.”<br />Mungkin pasangan lain bisa menimpali: “Okey. Syaratnya boleh apa aja.”<br />1. Jangan mendramatisir persoalan. Bila masing-masing pihak sudah berbaikan, coba tekan permasalan hingga ke bawah telapak kaki. Jangan mendramatisir suasana, misalnya dengan nyeletuk: “Aduh, gara-gara kamu tadi, aku jadi gak bisa kerja. Kepalaku pusing!” Atau dengan nada kesal melontarkan kata-kata: “Baik, aku maafkan. Tapi rasanya ku tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidupku!”<br />Semua sikap seperti itu sering berakibat buruk. Sering menunda-nunda terjadinya perbaikan antara kedua belah pihak. Untuk itu, faktor kesabaran yang ditambah dengan formula ‘mudah mengalah’, amatlah dibutuhkan.<br />Pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang muncul melalui penempaan, gemblengan dan cobaan. Justru di situlah letak dari ‘seni hidup’ di dunia ini. Sementara bagi seorang mukmin, kebahagiaan di dunia hanya merupakan garis kodrat yang harus dilaluinya melalui berbagai upaya memaksimalkan penghambaan dirinya terhadap Allah, sehingga akan melahirkan kebahagiaan ‘super sejati’ di akhirat nanti, yang tidak lain, bagi seorang mukmin, adalah pintu keluar dari penjara dunia…..Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-12060338225495731662010-04-19T10:32:00.001+07:002010-04-19T10:32:39.135+07:00Mengenal Para Ulama Pembaharu Dalam IslamOleh Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A<br /><br />Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda:<br /><br />“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”[1].<br /><br />Arti “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah r yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah r, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan syirik dan bid’ah[2].<br /><br />Perhitungan akhir seratus tahun dalam hadits ini adalah dimulai dari waktu hijrah Rasulullah r dari Mekkah ke Madinah[3].<br /><br />Sabda beliau r “…orang yang akan memperbaharui (urusan) agama…” tidak menunjukkan bahwa mujaddid di setiap akhir seratus tahun hanya satu orang, tapi mungkin saja pada waktu tertentu lebih dari satu orang, sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnu Hajar dan para ulama lainnya[4].<br /><br />Dalam hal ini, imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah r (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah r”[5].<br /><br />Para ulama telah menyebutkan nama-nama para imam Ahlus sunnah yang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam, berdasarkan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut.<br /><br />Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan beberapa di antara para imam tersebut beserta sekelumit dari biografi mereka.<br /><br />1- ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz bin Marwan bin Hakam al-Qurasyi al-Umawi al-Madani<br /><br />Beliau adalah khalifah yang tersohor dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mu’minin, imam tabi’in yang mulia, penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H.<br /><br />Ibunya adalah cucu sahabat yang mulia Umar bin Khattab t, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin Umar bin Khattab[6].<br /><br />Beliau diserupakan dalam keadilan dan kelurusan akhlak dengan kakek beliau Umar bin Khattab t, dalam sifat zuhud dengan Hasan al-Bashri, dan dalam ketinggian ilmu dengan imam az-Zuhri.<br /><br />Imam asy-Syafi’i memuji beliau dengan mengatakan: “al-Khulafa’ ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah I) ada lima orang: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz”.<br /><br />Para ulama Ahlus sunnah telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam.<br /><br />Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah r (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah r. Kemudian kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, dan (pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah imam asy-Syafi’i.<br /><br />2- Imam asy-Syafi’i, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin al-‘Abbas bin ‘Utsman al-Muththalibi al-Qurasyi al-Makki.<br /><br />Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah Rasulullah r, ahli fikih yang ternama, penghafal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah r.<br /><br />Imam Qutaibah bin Sa’id memuji beliau dengan mengatakan: “Kematian imam Syafi’i berarti kematian sunnah Rasulullah” .<br /><br />Imam Ahmad bin Hambal berkata: “(kedudukan) imam Syafi’i (di jamannya) adalah seperti matahari bagi bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia.<br /><br />Para ulama Ahlus sunnah juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam.<br /><br />Imam Ahmad berkata: “…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah imam asy-Syafi’i.<br /><br />Imam Ibnu Hajar berkata: “Beliau adalah mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah)”.<br /><br />3- Hasan al-Bashri, Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri<br /><br />Beliau adalah Imam besar dari kalangan tabi’in, syaikhul Islam, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r. Lahir pada tahun 22 H dan wafat 110 H.<br /><br />Beliau pernah disusukan oleh Ummu Salamah t, Istri Rasulullah r dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab t agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia.<br /><br />Imam Muhammad bin Sa’ad memuji beliau dengan mengatakan: “Beliau adalah seorang yang berilmu (tinggi), menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya, sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah”.<br /><br />Beliau termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah).<br /><br />4- Muhammab bin Sirin, Abu Bakr al-Anshari al-Bashri<br /><br />Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syikhul Islam, sanagt wara’ (berhati-hati dalam masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya dan kokoh dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r. Beliau wafat pada tahun 110 H.<br /><br />Imam Abu ‘Awanah al-Yasykuri berkata: “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah”.<br /><br />Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah).<br /><br />5- Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihab az-Zuhri al-Qurasyi al-Madani<br /><br />Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, penghafal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan dan kecermatan hafalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H .<br /><br />Imam ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz memuji beliau dengan mengatakan: “Tidak tersisa seorangpun (di jaman ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah r dari pada az-Zuhri”.<br /><br />Imam Ayyub as-Sakhtiyani: “Aku belum pernah melihat (seorangpun) yang lebih berilmu dari pada beliau” .<br /><br />Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah).<br /><br />6- Yahya bin Ma’in, Abu Zakaria al-Bagdadi<br /><br />Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil (penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang ternama, penghafal hadits yang utama, dan gurunya para ulama Ahli hadits. Lahir pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H.<br /><br />Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau dengan mengatakan: “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah swt ciptakan (khusus) untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah saw), dengan beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah saw)”.<br /><br />Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah).<br /><br />7- Imam an-Nasa’i, Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan<br /><br />Beliau adalah imam besar, syaikhul Islam, penghafal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H.<br /><br />Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau dengan mengatakan: “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghafal hadits dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya”.<br /><br />Imam Abul Hasan ad-Daraquthni berkata: “Abu ‘Abdirrahman an-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di jaman beliau”.<br /><br />Beliau juga termasuk yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah.<br /><br />Catatan penting<br /><br />- Banyak para imam besar Ahlus sunnah yang terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah saw, akan tetapi mereka tidak dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di jamannya, padahal mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Hal ini disebabkan masa hidup mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas, dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka.<br /><br />- Termasuk para imam Ahlus sunnah yang dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di abad ke-12 Hijriyah adalah imam syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi (wafat 1206 H)[36]. Dalam hal ini syaikh yang Mulia ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Termasuk di antara para imam (Ahlus sunnah) yang mendapatkan petunjuk (dari Allah I) dan da’i yang mengusahakan perbaikan (umat ini) adalah imam yang sangat dalam dan luas ilmunya, pembaharu ajaran Islam yang telah ditinggalkan (manusia) di abad ke-12 Hijriyah dan penyeru kepada sunnah Rasulullah r, syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali at-Tamimi al-Hambali, semoga Allah memperindah (menerangi) tempat peristirahannya dan memuliakannya di surga sebagai tempat menetapnya”.<br /><br />- Demikian pula yang disebut-sebut para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam Ahlus sunnah yang ternama: syaikh yang mulia Muhammad Nashiruddin al-Albani dan syiakh yang mulia ‘Abdul ‘aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmati semua ulama ahlus sunnah yang telah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup.<br /><br />وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين<br /><br />Kota Kendari, 24 Rabi’ul Tsani 1431 H<br /><br />Abdullah bin Taslim al-ButhoniAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-41504236980715594172010-04-15T15:03:00.000+07:002010-04-15T15:04:50.815+07:00Masih Ada yang Meragukan Haramnya Anjing?!Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.<br /><br />Setelah kami mengkaji beberapa makanan atau hewan yang diharamkan dalam Al Qur’an Al Karim dalam posting sebelumnya. Dalam posting kali ini kami akan menjelaskan bahwa makanan yang diharamkan bukan sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sebagian kaum muslimin ada yang memahaminya seperti itu. Sehingga akibatnya mereka nyatakan bahwa anjing itu halal karena tidak diharamkan dalam Al Qur’an.<br /><br />Dalil mereka adalah ayat berikut ini,<br /><br />قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ<br /><br />“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).<br /><br />Berdasarkan ayat ini ada dua kesimpulan dari mereka. Pertama, hukum asal setiap makanan itu halal karena ayat ini jelas menyatakan, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya”. Kedua, yang dikecualikan dari pernyataan halal sebelumnya artinya menjadi haram adalah empat macam yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Jadi ada empat saja yang terlarang. Dalam ayat ini tidak disebutkan anjing, maka asalnya anjing itu halal.<br /><br />Baiklah, apakah pemahaman semacam ini dibenarkan? Itu yang insya Allah akan kita bahas. Intinya, kami akan memaparkan bahwa hadits nabi seharusnya jadi pegangan dan jangan hanya memperhatikan Al Qur’an Al Karim saja. Karena hadits Nabawi itu berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al Qur’an, maka hukum yang ditetapkan dalam hadits pun harus diambil. Lebih lanjut mari kita simak pembahasan berikut ini.<br /><br />Petunjuk Nabimu Tidak Boleh Diabaikan<br /><br />Jika ada yang menanyakan, “Apakah makanan atau hewan yang diharamkan hanya sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an?” Jawabannya, tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja. Karena kita pun diperintahkan untuk mentaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang tetap kita jauhi. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,<br /><br />فَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الْكِتَابَ وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الرَّسُولَ وَاتِّبَاعُ أَحَدِهِمَا هُوَ اتِّبَاعُ الْآخَرِ ؛ فَإِنَّ الرَّسُولَ بَلَّغَ الْكِتَابَ وَالْكِتَابُ أَمْرٌ بِطَاعَةِ الرَّسُولِ . وَلَا يَخْتَلِفُ الْكِتَابُ وَالرَّسُولُ أَلْبَتَّةَ كَمَا لَا يُخَالِفُ الْكِتَابُ بَعْضُهُ بَعْضًا<br /><br />“Wajib bagi kita untuk mengikuti Al Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk menyampaikan isi Al Qur’an. Dalam Al Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al Qur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”[1]<br /><br />Kita dapat melihat bahwa dalam beberapa ayat, Allah memerintahkan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Ayat pertama,<br /><br />قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ<br /><br />“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32). Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul.<br /><br />Ayat kedua,<br /><br />فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ<br /><br />“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.<br /><br />Ayat ketiga,<br /><br />وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ<br /><br />“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36). Ayat ini menunjukkan orang mukmin tidak lagi punya pilihan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetapkan hukumnya.<br /><br />Ayat keempat,<br /><br />فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ<br /><br />“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan agar mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.<br /><br />Ayat kelima,<br /><br />فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ<br /><br />“Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sini menunjukkan benarnya dan menunjukkan konsekuensi dari keimanan.<br /><br />Berbagai hadits pun menunjukkan untuk menaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Hadits pertama,<br /><br />فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ<br /><br />“Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, Ahmad 4/126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)<br /><br />Hadits kedua,<br /><br />دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ<br /><br />“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah)<br /><br />Hadits ketiga,<br /><br />أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ<br /><br />“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al -Qur'an dan yang semisal bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, "Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Qur'an! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur'an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur'an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu'ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka." (HR. Abu Daud no. 4604. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).<br /><br />Perhatikan baik-baik kalimat yang kami garis bawahi dalam hadits ketiga ini. Seakan-akan apa yang dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi saat ini. Ternyata saat ini sebagian umat Islam hanya mau mengambil apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sehingga karen anjing tidak disebut dalam Al Qur’an kalau itu haram, maka mereka pun tidak mengharamkannya. Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al Qur’an. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam asalkan bersesuaian dengan Al Qur’an. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang.”[2]<br /><br />Ringkasnya dari pembahasan dan dalil-dalil yang kami kemukakan: Walaupun tidak ada larangan atau perintah dalam Al Qur’an, namun jika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan atau melarang, maka seruan beliau tetap harus dipatuhi.<br /><br />Bukti Haramnya Anjing Dalam Hadits Nabawi<br /><br />Berikut kami bawakan beberapa bukti tentang haramnya anjing dalam berbagai hadits Nabawi.<br /><br />Pertama: Hadits yang menerangkan larangan memakan binatang yang bertaring dan taringnya digunakan untuk memangsa binatangnya.<br /><br />Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ<br /><br />“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)<br /><br />Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,<br /><br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .<br /><br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)<br /><br />Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,<br /><br />نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ<br /><br />“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)<br /><br />An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Muslim,<br /><br />قَالَ أَصْحَابنَا : الْمُرَاد بِذِي النَّاب مَا يُتَقَوَّى بِهِ وَيُصْطَاد<br /><br />“Yang dimaksud dengan memiliki taring adalah –menurut ulama Syafi’iyah-, taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[3] Dari definisi ini, anjing berarti termasuk dari hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi.<br /><br />Kedua: Anjing termasuk hewan fasik yang boleh dibunuh.<br /><br />Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ<br /><br />“Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)<br /><br />An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”[4]<br /><br />Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[5]<br /><br />Ketiga: Upah jual beli anjing adalah upah yang haram, sehingga anjing haram untuk dimakan.<br /><br />Dari Abu Mas’ud Al Anshori, beliau berkata,<br /><br />أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ<br /><br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari upah jual beli anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2237)<br /><br />Dari Abu Az Zubair, ia berkata bahwa ia mengatakan pada Jabir bin ‘Abdillah mengenai upah jual beli anjing dan kucing. Jabir lantas menjawab,<br /><br />زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.<br /><br />“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari upah jual beli anjing dan kucing.” (HR. Muslim no. 1569)<br /><br />Perlu ingat pula kaedah, “Jika Allah melarang memakan sesuatu, maka pasti upah hasil jual belinya haram.”<br /><br />Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br /><br />وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ<br /><br />“Sungguh jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pun melarang upah hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no. 3488 dan Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)<br /><br />Dari sini jelaslah pula haramnya jual beli anjing karena anjing itu haram untuk dimakan.<br /><br />Keliru Dalam Memahami Surat Al An’am Ayat 145<br /><br />Sebagian orang salah dalam memahami surat Al An’am ayat 145 berikut,<br /><br />قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ<br /><br />“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al An’am ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:<br /><br />“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya setiap binatang buasa yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya keledai piaraan, anjing dan lainnya.<br /><br />Secara global (yang dimaksud surat Al An’am ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna’ (pengecualian). Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145. Imam Malik pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah. Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Peniadaan yang dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”[6]<br /><br />Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi:<br /><br /> 1. Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.<br /> 2. Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.<br /> 3. Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring.<br /> 4. Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu ‘Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu ‘Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)<br /> 5. Sebagian ulama katakan bahwa surat Al An’am ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.[7]<br /><br />Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.<br /><br /> <br /><br />Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 29 Rabi’ul Akhir 1431 H (13/04/2010)<br /><br />Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal<br /><br />Artikel www.rumaysho.com<br /><br />[1] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.<br /><br />[2] Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (2/190-191), dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 126.<br /><br />[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/83, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.<br /><br />[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114.<br /><br />[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.<br /><br />[6] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 2/490, Mawqi’ At Tafasir.<br /><br />[7] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 2/427, Mawqi’ At Tafasir.<br /><br />Di copi dari: http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/2998--masih-ada-yang-meragukan-haramnya-anjing.htmlAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-753565161720360942010-04-15T14:59:00.000+07:002010-04-15T15:00:48.754+07:00Apakah Boleh Seseorang Berdo'a Ketika Shalat Fardhu ?Oleh<br />Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz<br /><br /><br /><br />Pertanyaan.<br />Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang berdo'a di tengah shalat wajib, misalnya setelah melakukan beberapa rukun seperti ketika sujud seusai membaca Subhanallah lalu berdo'a Allahummaghfirli warhamni (Ya Allah ampunilah aku dan rahmatillah aku) atau do'a yang lain ? Saya berharap mendapatkan nasihat yang bermanfaat.<br /><br />Jawaban<br />Disyariatkan bagi seorang mukmin untuk berdo'a ketika shalatnya di saat yang disunnahkan untuk berdo'a, baik ketika shalat fardhu maupun shalat sunnah. Adapun saat berdo'a katika shalat adalah tatkala sujud, duduk di antara dua sujud dan akhir salat setelah tasyahud dan shalawat atas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebelum salam. Sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau berdo'a ketika duduk di antara dua sujud untuk memohon ampunan. Telah diriwayatkan pula bahwa beliau berdo'a ketika duduk di antara dua sujud<br /><br />"Allahummagfirlii, warhamnii, wahdinii, wajburnii, warjuqnii, wa'aafinii"<br /><br />"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, rahmatillah aku, berilah hidayah kepadaku, cukupilah aku, berilah rezeki kepadaku dan maafkanlah aku"<br /><br />Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda.<br /><br />"Artinya : Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb-mu, sedangkan ketika sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdo'a, niscaya segera dikabulkan untuk kalian"[Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya]<br /><br />Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />"Artinya : Jarak paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa (ketika itu)"<br /><br />Di dalam Ash-Shahihian dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepadanya berkata :<br /><br />"Kemudian hendaknya seseorang memilih permintaan yang dia kehendaki"<br /><br />Dalam lafazh yang lain.<br /><br />"Kemudian pilihlah do'a yang paling disukai lalu berdo'a"<br /><br />Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hal ini menunjukkan disyariatkannya berdo'a dalam kondisi-kondisi tersebut dengan do'a yang disukai oleh seorang muslim, baik yang berhubungan dengan akhirat maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan duniawiyah. Dengan syarat dalam do'anya tidak ada unsur dosa dan memutuskan silaturahim. Namun yang paling utama adalah memperbanyak do'a dengan do'a yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam<br /><br />[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo] sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-29399413809074082272010-04-15T11:03:00.000+07:002010-04-15T11:04:04.383+07:00Mampukah rumah tangga yang sakinah diawali dengan pacaran?Mampukah rumah tangga yang sakinah diawali dengan pacaran?<br />Pernah ditanyakan oleh seorang ustadz kepada kami,”Yaa ikhwan, mau tidak ente nanti menikah dengan seorang wanita yang bekas dipacari orang 6 tahun?” Kami jawab,”Na’udzubillah, sisa apanya ustadz! Tidak mau yaa ustadz!” Beliau kembali menjawab,”Makanya, ente jangan pacaran! Sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warrohmah tidak bisa dijembatani dengan kemaksiyatan kepada Allah Ta’ala.”<br /><br />Masih terngiang nasihat-nasihat beliau dengan jelas, memang tidak mungkin sebuah pernikahan yang mengharapkan ridha dan barokah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala didapatkan jika diawali dengan bermaksiyat kepada-Nya, bagaimana bisa mendapatkan keindahan hidup berumah tangga jika diawali dengan menentang perintah Allah Ta’ala, padahal sudah teramat jelas larangan-larangan itu termaktub dalam Al-Qur’an Al-Kariim, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :<br /><br />“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa’ : 32)<br /><br />“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…” (QS An-Nuur : 30)<br /><br />“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”(QS An-Nuur : 31)<br /><br />Wahai adik-adikku generasi muda Islam, bukankah telah banyak nasihat dan contoh yang engkau dapatkan tentang kebiasaan pacaran ini, betapa pintu syaithan terbuka luas, seluas-luasnya bagi dua remaja muda-mudi yang sedang berpacaran? Kalau mereka melontarkan beberapa syubhat yang berhubungan dengan pacaran ini maka tidak lain itu hanya alas an yang muncul karena dorongan syahwat mereka belaka, bukan karena petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu bagaimana mungkin engkau akan menukar petunjuk Allah dengan syahwatmu?<br /><br />Kadang ketika penulis menasihati beberapa anak-anak muda untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan menghentikan pacaran mereka membantah dengan perkataan-perkataan yang membuat penulis sedih dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala, wahai adik-adiku! Aku mencintaimu karena Allah maka terimalah nasihatku ini…<br /><br />Perkataan syubhat yang sering mereka bantahkah!<br /><br />Syubhat Pertama : Ada yang berkata,”Ga sebegitunya seh! Yang penting kan kita tidak zina beneran!...”<br /><br />Wahai adiku remaja muslim, bukankah perkataanmu di atas telah menunjukkan kesombonganmu, bahwa engkau yakin tidak akan terjerumus kepada zina? Padahal engkau telah membuka pintu syaithan untuk menjerumuskanmu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ““Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)<br /><br />Memang pacaran telah melenakan banyak generasi muda Islam (bahkan ada yang sudah tidak muda lagi masih pacaran – na’udzubillahi min dzaalik), karena menurut pandangan seorang muslim awam pacaran itu memang manis dan mempesonakan, kadang lebih berbahaya daripada narkoba! Seringkali anak-anak muda melupakan dampah buruknya pacaran dan hanya memikirkan manisnya saja, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita terhadap hal yang mempesonakan ini.. sebuah kesenangan yang menipu! Tidak ada ujungnya kecuali kerusakan dan penyesalan!<br /><br />Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”<br /><br />Maka pacaran ini sudah termasuk bagian dari zina, mulai dari saling pandang mata, melempar senyuman, bergandengan tangan, kata-kata merayu dan memanja, sekaligus hati yang berfantasi dan berangan-angan agar lebih dari itu, maka potensi zina lebih diperbesar prosentasenya dengan kehadiran syaithan yang tidak akan pernah absen dari kegiatan seperti ini, dan akhirnya pun berujung dengan benar-benar terjadinya zina.<br /><br />Mas..mbak..kakak..ading..aa’..teteh..uni..uda semua hal diatas adalah diawali dari kebiasaan meremehkan hukum-hukum yang telah diterapkan oleh Allah Ta’ala, juga kebiasaan meninggalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan teladan bagi setiap individu muslim, dan yang terakhir adalah kebiasaan suka melupakan kehadiran pihak ketiga dalam pacaran, yaitu syaithan!<br /><br />Bahkan perbuatan zina bisa dimulai dari hanya sekedar SMS atau chatting di melalui HP atau Internet, semakin terbuka lebar peluang syaithan untuk menjerumuskan manusia melalui CMBR (canda mesra dan bujuk rayu), kemudian ujung-ujungnya ITDA (isak tangis dan derai air mata), sudah merupakan hal yang umum dan telah banyak kita melihat anak-anak muda menggunakan HPnya untuk sekadar “cekikikan” dan bersayang-sayang-an dengan laki-laki atau perempuan yang bukan mahromnya. Sehingga HP kembali menjadi tertuduh no. 1 sebagai sarana penghantar kehendak syaithan ini. Maka kami menghimbau kepada orang tua agar memberikan batasan pada penggunaan HP anak-anak remaja, mereka masih rentan akan godaan syaithan, apalagi pada remaja yang masih awam terhadap ilmu agama yang syar’i.<br /><br />Syubhat Kedua : Ada yang berkata,”Kalau tidak pacaran bagaimana nanti mengenal calon istri / suami, nanti kan jadi rusak rumah tangga kalau menikah tanpa saling mengenal pribadi masing-masing!”<br /><br />Betapa banyak rumah tangga yang hancur karena diawali dengan pacaran, kehidupan rumah tangga mereka hambar, tidak lagi mereka merasakan indahnya malam pertama dan madunya pernikahan, penulis ingat kembali perkataan seorang ustadz,”Bagaimana tidak hambar malam pertama pernikahan mereka, lha wong sudah hapal dari ujung rambut sampai ke ujung kaki!”, akhirnya banyak pengalaman pacaran ini di ulangi oleh masing-masing pasangan (suami atau istri) dengan berselingkuh (pacaran lagi) dengan yang lain walaupun sudah memiliki suami atau istri.<br /><br />Justru rumah tangga yang dimulai dengan berpacaran sering terjadi pertengkaran di dalamnya, karena ketika terjadi pertengkaran kecil masing-masing pihak saling membuka aib masa lalu mereka, tidak ada saling mengalah dan sering terjadi saling menyalahkan, apalagi pernikahan yang terjadi karena “kecelakaan”, bagaimana mungkin bisa membangun sebuah rumah yang kokoh di pinggir tebing tanah yang mudah longsor? Bagaimana mungkin suatu rumah tangga yang baik disusun dari sebuah perzinahan?<br /><br />Karena sudah sering pacaran dan berganti-ganti pacar sebelumnya, walaupun sudah berumah tangga, sering masih terjadi kontak dengan mantan pacar masing-masing, HP dan telepon sering menjadi penghubung CLBK (cinta lama bersemi kembali), kalau sudah begini maka bagaimana mungkin bisa menyusun suatu bahtera rumah tangga yang sakinah. Virus pacaran memang sering membuat orang ketagihan, bayang-bayang keindahan berdua saat pacaran akan selalu membayangi kehidupan rumah tangga mereka, tidak ketinggalan syaithan berperan serta dalam keadaan ini dan mengipasi syahwat masing-masing pihak yang berselingkuh agar semakin menggelora, hasilnya bisa kita lihat di lingkungan sekitar kita. Dan hukum yang sering terjadi pada laki-laki dan wanita yang gemar pacaran adalah : “rumput halaman tetangga lebih hijau!”.<br /><br />Justru karena telah terlalu mengenal satu sama lain sebelum menikah melalui pacaran sering membuat istri banyak melawan suaminya, banyak istri yang durhaka kepada suami karena merasa derajat mereka sama di dalam rumah tangga, tidak ada lagi ketentuan bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangganya. Alasan bahwa tidak mengenal pasangan sebelum menikah akan membuat pernikahan hancur adalah sebuah kedustaan yang besar!<br /><br />Sebaliknya, bunga-bunga keindahan rumah tangga yang diawali tanpa adanya pacaran semakin mekar dan bersemi mengisi hari-hari mereka, mulai dari malam pertama pernikahan mereka hingga tahun-tahun berlalu masih terasa seperti pertemuan yang pertama. Sebagian besar mereka yang menikah tanpa pacaran adalah seorang muslim yang shalih, yang memahami tentang hukum-hukum agamanya, dan tidaklah bisa memperlakukan wanita dengan baik sesuai dengan kehormatan yang diberikan Allah kepada mereka kecuali seorang lelaki yang shalih!<br /><br />Karena seorang suami yang shalih jika dia menemukan sesuatu yang tidak disukainya dalam diri istrinya maka dia tidak mencelanya dan memukulnya kecuali yang menjadi hak baginya, seorang suami yang shalih akan mendidik istrinya dengan lembut sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahasan tentang hal ini telah banyak dibahas. Maka ketahuilah wahai para wanita, mana yang akan engkau pilih, mendapatkan seorang calon suami yang gemar pacaran (sudah pasti mereka ini sering gonta-ganti pacar), atau mendapatkan seorang suami yang shalih yang mampu mengantarkanmu menuju surge Allah (insya Allah) dalam naungan ilmu agama yang syar’i? Pilihannya ada pada dirimu!<br /><br />Syubhat Ketiga : Ada yang berkata,”Bagaimana kita bisa mengetahui sifat dan kejujuran calon suami / istri jika tidak pacaran?”<br /><br />Ini adalah syubhat yang menggelikan, justru akan kami balik pernyataan di atas dengan pertanyaan, “Bagaimana mungkin engkau menemukan kejujuran dalam pacaran? Bagaimana mungkin engkau menemukan kejujuran dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?<br /><br />Adalah sebuah hal yang menggelikan jika seorang wanita menuntut kejujuran kepada seorang laki-laki yang gemar bermaksiat kepada Allah Ta’ala, karena mereka telah kotor dan hatinya terkontaminasi penyakit zina, mereka ini gemar mengumbar pandangan dan nafsu, suka melanggar perintah Allah Ta’ala : <br /><br />“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS An-Nuur : 30)<br /><br />Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang gemar mengotori dirinya (gemar pacaran) akan mampu menjadi pemimpin rumah tangga yang baik? Dan apakah mereka ini mampu mendidik anak-anak mereka menjadi muslim yang shalih? Wahai saudaraku, telah cukup kemunkaran terjadi di muka bumi ini gara-gara bentuk pergaulan yang mengikuti kaum kafirin ini, sudah saatnya engkau kembali kepada jalan Rabb-mu, kepada Al-Qur’an dan sunnah yang shahih, gemar menghadiri dauroh agama dan ta’lim, bukan malah ke mall-mall dan tempat-tempat “mojok” yang banyak syaithannya.<br /><br />Sebenarnya masih banyak syubhat-syubhat lain yang dilontarkan oleh mereka yang gemar berpacaran ini, seribu satu macam alasan akan selalu ada dan datang dari hati yang kosong dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga syahwat yang menggantikan untuk berbicara, namun percayalah wahai saudaraku kaum muslimin, akan senantiasa ada para penyeru-penyeru kebaikan yang hadir dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan pemahaman para pendahulu kita para salafush shalih, mereka tampil membawa pelita ilmu untuk mengarungi negeri ujian yang penuh cobaan ini, yaitu Dunia! Dan selalu sadarilah wahai saudaraku bahwa Allah Ta’ala berfirman :<br /><br />“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS AL-Hadiid : 20).<br /><br />Wallahu a’lam bish showab<br /><br />Oleh Andi Abu NajwaAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-34883418217877622162010-04-08T15:25:00.000+07:002010-04-08T15:27:21.117+07:00Berhati-hatilah dalam melabuhkan cinta…Gelengan kepala dan elusan dada rasanya tidak cukup lagi untuk menggambarkan betapa generasi muda Islam sudah sedemikian jauh dari pendahulu mereka para salafush shalih, yang kami mampu lakukan hanyalah beristighfar, berdo’a kepada Allah Ta’ala agar melindungi kami dari keburukan, dan menulis nasihat ini untuk menjadi pelajaran bersama, melihat kondisi generasi muda Islam sekarang ini di berbagai kota (yang pernah penulis kunjungi), bahkan di kota yang sangat terpelosok dan jauh dari jangkauan transportasi telah banyak generasi muda Islam yang telah “terkontaminasi” oleh penyakit yang sama. Penyakit “salah melabuhkan cinta”<br /><br />Model rambut, pakaian, bicara, dan tingkah laku mereka sudah tidak lagi mencerminkan bahwa mereka adalah seorang muslim, mari kita tengok dari model rambut laki-laki yang tidak karuan, dengan rambut sebelah depan dipanjangkan terurai kusut, dan rambut belakang dipotong cepak, masih ditambah lagi dengan cat pirang di sebagian rambut depan…entah mau ada pertunjukan badut di mana? Yang perempuan tidak mau kalah, mengingatkan penulis di era tahun 90-an saat banyak perempuan memotong rambutnya pendek untuk bisa mirip dengan “demi moore”. Untuk zaman sekarang ini masih ada variasi lagi dengan model pakaian ala laki-laki dan rambut dibiarkan agak acak-acakan, na’udzu billahi min dzaalik, mas.. mbak.. itu niru siapa?<br /><br />Belum lagi aroma wangi semerbak yang menyebar dari para wanita muda ini, menyengat hidung laki-laki yang mencium aromanya, memaksa laki-laki untuk berfantasi lebih jauh lagi, apalagi laki-laki yang telah memiliki penyakit dalam hatinya, aroma yang memompa syahwat agar semakin berpacu dengan derai tawa renyah yang keluar dari rombongan gadis-gadis muda ini, tak mau kalah rombongan laki-laki di belakangnya bersuit-suit…<br /><br />Tak berapa lama di dekat stadion kota penulis melihat banyak aparat yang sibuk mengatur lalu lintas jalan yang penuh sesak oleh motor anak-anak muda. Saat itu penulis bertemu dengan salah satu aparat yang penulis kenal, maka penulis bertanya, “Mas ada apa kok ramai sekali?” aparat itu menjawab,”Wah, masak sampeyan ndak tahu, kan ada sedang ada konser grup musik dari ibukota!”. Penulis hanya mampu mengangguk-angguk sambil mulut membentuk huruf O, “Ooooooo….!”<br /><br />Jadi ini yang ditiru oleh para muda-mudi tadi! Meniru artis idola mereka, cocok tidak cocok yang penting niru habis! Apalagi kalau cocok, makin tumbuh kesombongan dalam diri mereka karena bisa “persis” dengan artis yang mereka tiru, duhai, penulis ingin sekali mengetahui apa yang ada dalam perasaan orang tua mereka mengetahui kondisi anak mereka yang demikian itu!<br /><br />Di lain waktu penulis pernah bertanya kepada salah seorang anak SMA yang sering datang ke tempat penulis untuk banyak bertanya dan mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, penulis sangat kagum akan semangat pemuda ini, walaupun banyak diejek di sekolahnya karena celananya yang “cingkrang”, bahkan sering kepala sekolah pun meledeknya! Namun dengan tetap senyum terkembang ikhwan SMA ini semakin semangat belajar sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menerapkannya.<br /><br />Yang penulis tanyakan adalah, “Apa anak-anak SMA zaman sekarang ini telah mengenal dengan baik siapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengenal shahabat-shahabat radhiyallahu an’hum ajma’in.” Jawabnya sangat mencengangkan sekali! Mereka bahkan tidak mengenal bagaimana keseharian dan sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri beliau, putra-putri beliau dan apalagi shahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam!.<br /><br />Namun ketika ditanyakan tentang keadaan seorang selebriti atau artis maka mereka dengan cepat menjawab dan mengetahui bahkan sampai ke nomor sepatu dan warna kesukaan masing-masing artis, mereka mengetahuinya dengan jelas dan detail, apalagi berita tentang perceraian artis dan gosip-gosip yang sedang “hot” di infotainment, seperti hafal di luar kepala.<br /><br />Semakin jelas alur cerita “tiru meniru” ini terungkap! Apabila seseorang telah dijadikan idola dan teladan maka yang mengidolakan akan berusaka untuk meniru, menjiplak dan mencontoh apapun yang dilakukan oleh idolanya itu tadi, walaupun apa yang dicontohnya itu sangat jauh dari ajaran Islam yang syar’i. sebagaimana dikatakan: “Sesungguhnya orang yang mencintai akan taat kepada yang dicintainya!”<br /><br />Pertanyaannya adalah – SIAPAKAH YANG ENGKAU CINTAI?-<br /><br />Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat. Ia berkata, “Kapan hari kiamat terjadi?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?” Ia menjawab, “Tidak ada sama sekali. Hanya saja, sesungguhnya saya mencintai Allah dan Rosul-Nya.” Maka beliau bersabda, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas pun mengatakan, “Tidaklah kami berbahagia dengan sesuatu seperti halnya kebahagiaan kami dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau bersama orang yang engkau cintai.” Anas berkata, “Karena saya mencintai Nabi, Abu Bakar dan Umar. Dan saya berharap saya bersama mereka karena kecintaan saya kepada mereka, meskipun saya tidak beramal seperti amal mereka.” [HR.al-Bukhari kitab al-Jumu’ah bab man intazhara hatta tudfan 5/12 no.3688, Muslim 8/42 kitab Al-Birr wash shilah wal aadaab, bab al-Mar’u ma’a man ahabba 8/42 no.6881]<br /><br />Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa Meskipun Anas radhiyallahu ‘anhu merasa tidak mampu untuk beramal sebagaimana amal mereka, namun ia yakin dan berharap cintalah yang akan bisa membawanya bersama mereka hingga hari kiamat, dan hingga masuk ke dalam surga di sisi-Nya.<br /><br />Wahai adik-adikku para generasi muda, cinta mampu mengantarkan seseorang kepada kemuliaan dan juga sebaliknya, cinta juga mampu mengantarkan seseorang ke dalam jurang kehinaan, MAKA BERHATI-HATILAH ENGKAU DALAM MELABUHKAN CINTA!<br /><br />Wahai adik-adikku para generasi muda, hati manusia ini lemah, mudah mencintai apapun yang dilihatnya, apalagi pada kalangan orang-orang yang jauh dari ilmu agam yang syar’i, pada orang-orang yang jauh dari mengenal kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah yang shahih.<br /><br />Apalagi sekarang melalui media televisi anak-anak muda telah diarahkan untuk mengidolakan artis, selebritis, dan kehidupan dunia mereka yang gemerlap, dankesuksesan duniawi yang mereka dapatkan dengan cara yang singkat, tentunya menjadi sebuah hal yang mampu menyilaukan hasrat anak-anak muda untuk ingin mendapatkan hal yang sama, terkenal dan kaya raya! Virus ini telah lengkap menyebar ke seluruh kalangan kaum muslimin, hingga kepada generasi muda, dan balita sekalipun, tidak terkecuali dibuatlah program untuk menyentuh kehidupan kaum muslimin dan mengalihkan mereka dari tauladan yang seharusnya mereka tiru, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :<br /><br />“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab : 21)<br /><br />Sebagaimana yang dikatakan,” Seandainya cintamu sejati tentu engkau akan menaatinya!” Maka siapakah yang telah mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengetahui keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berusaha untuk menirunya dan mengamalkan apa-apa saja yang telah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan.<br /><br />Apakah di dalam Islam telah kehabisan idola sehingga kaum muslimin mengambil idola-idola lain yang tidak layak untukl dijadikan idola, idola yang mereka sukai itu tidak akan mampu membantu mereka untuk masuk surga Allah Ta’ala, kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan panutan sejati kaum muslimin saja tidak mereka kenal lalu bagaimana akan bisa untuk meniru beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?<br /><br />Bukankah telah berlalu kisah lembaran-lembaran emas dari para salafush shalih pendahulu kita? Lembaran-lembaran yang telah banyak menggetarkan hati manusia yang membacanya, atau hati kaum muslimin sudah sedemikian jauh dari cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?<br /><br />Berbahagialah bagi mereka yang telah menyerahkan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Cinta adalah fitrah manusia yang memiliki derajat dan tingkatan. Puncak cinta tertinggi adalah penghambaan dan ibadah, kepada siapa cinta itu ditujukan, dan bagaimana cinta itu diberikan. Itulah yang akan menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan. Berbahagialah mereka yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan shahabat beliau, sehingga kita kelak akan dikumpulkan di surga bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walau kita tidak mampu untuk beramal sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mampu juga beramal sebagaimana para shahabat radhiyallah ‘anhum.<br /><br />Karena seseorang pasti akan meniru orang yang dicintainya, maka janganlah sampai engkau wahai generasi muda Islam salah dalam melabuhkan cintamu, marilah berada dalam satu naungan cinta yang sama, yang insya Allah akan mampu mengantarkan kita kepada telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br /><br />Oleh Andi Abu NajwaAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-34489052341838898052010-04-08T15:23:00.000+07:002010-04-08T15:25:48.264+07:00Aroma pembawa petaka..Seorang ikhwan bercerita :”Yaa akhi, bagaimana kami harus menyikapi begitu banyak pezina di sekeliling kami? Kami berusaha untuk menahan pandangan kami dari yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun ada satu hal yang tak mampu kami halangi datangnya! Yaitu aroma wewangian wanita-wanita ketika kami berjualan di pasar, aroma itu tanpa permisi langsung saja main selonong masuk ke dalam hidung kami, apa kami juga harus menahan nafas agar bebas dari aroma wewangian ini? Apakah ada nasihat anda untuk kami? Kalau kami harus pakai masker nanti malah akan mengundang fitnah dan syubhat orang-orang disekeliling kami.”<br /><br />Penulis hanya bisa tersenyum,”Ishbir, akhi, bayangkan saja aroma terburuk yang bisa keluar dari wanita yang berparfum wangi tersebut, setiap manusia memiliki aroma buruk pada tubuhnya!” Hanya itu nasihat yang mampu penulis berikan, memang pandangan mata bisa ditahan dan ditundukkan, namun apakah mereka harus berhenti bernafas untuk menahan diri dari serangan parfum wanita-wanita awam ini?<br /><br />Kami kadang menyebutnya sebagai “serangan fajar”, ya! Sebuah serangan yang bisa mendahului suatu perbuatan zina, serangan yang menjadi muqodimah dari terbukanya pintu-pintu syaithan untuk mengajak manusia melakukan perbuatan yang keji! Biasanya setelah serangan aroma wangi dari seorang wanita diikuti dengan penasaran rasa hati untuk mengetahui siapa yang memakai wewangian tersebut, lalu terjadilah pandangan mata yang diharamkan, setelah mata bertemu mata lalu bergetarlah hati dan memulai perkenalan, kemudian saling tukar nomor telepon dan selanjutnya…<br /><br />Dari Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414). Juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam At-Tarajjul (4174, 4175). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais, dari Abu Musa Al-Asy'ari]<br /><br />Dalam menerangkan hadits di atas, Al-Allamah Al-Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan, “"Yang demikian disebut berzina karena wangi-wangian yang dikenakan wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki dan menarik perhatian mereka. Laki-laki yang melihatnya berarti telah berzina dengan mata, dan dengan demikian wanita itu telah melakukan perbuatan dosa"<br /><br />Penulis katakan bahwa wanita adalah gerbang dimulainya pintu zina, dengan kehadiran wanita yang mempertontonkan tubuh dan aromanya akan semakin membuka lebar gerbang zina tersebut, demi Allah perbuatan zina itu adalah hal yang sangat keji, bagaimana suatu kaum bisa selamat dan mendapatkan ridha Allah Ta’ala jika kondisi wanitanya menjadi sumber datangnya perbuatan zina?<br /><br />Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Israa’ : 32)<br /><br />Duhai betapa aroma pembawa petaka ini telah menyebar dengan lembut di kalangan wanita muslimah dan mereka menganggapnya suatu hal yang biasa, bahkan sampai diiklankan di media televisi agar semakin menyebarkan pemahaman bahwa sah-sah saja wanita memakai wewangian untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Benar wahai saudariku! Satu-satunya alas an engkau keluar rumah dengan memakai wewangian adalah untuk menarik perhatian dan minat laki-laki akan dirimu!<br /><br />Wahai saudariku muslimah, betapa Allah Ta’ala telah meninggikan kedudukanmu dan kau mencampakkannya begitu saja, mengikuti gaya wanita-wanita kafir yang mengumbar syahwatnya seenaknya di jalanan, duhai saudariku muslimah, kembalilah pulang ke rumah, dan janganlah engkau keluar dari istanamu kecuali untuk kepentingan yang syar’i, jika memang terpaksa harus keluar maka berhijablah dengan baik dan janganlah engkau memakai wewangian, agar semakin tersembunyi dirimu dari gangguan lelaki yang memiliki penyakit dalam hatinya.<br /><br />Jika tujuanmu wahai muslimah saat keluar rumah dengan memakai wewangian untuk mencari pendamping hidup, maka ketahuilah! Tidak aka nada seorangpun lelaki shalih mau melihat dan mendekatimu, para lelaki shalih itu akan berlomba menjauh darimu, dan sebagai gantinya akan dating lelaki hidung belang yang memiliki penyakit dalam hatinya, lelaki yang hanya akan mengharapkan madumu lalu mencampakkanmu. Apakah ini yang engkau harapkan wahai saudariku?<br /><br />Wahai adik-adikku kaum muslimah remaja, semakin kalian tersembunyi dari manusia, semakin kalian mencapai derajat mulia, tekunlah dalam menuntut ilmu agama yang syar’i, ketahuilah hukum-hukum dalam agamamu, agar kelak engkau mendapatkan pendamping yang shalih, agar selamat kami dari dirimu, agar semakin indah kehidupan ini dengan adanya kehadiranmu…<br /><br />Wallahu a’lam bish showab<br /><br />Oleh Andi Abu NajwaAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-65882593803065288062010-04-08T15:20:00.001+07:002010-04-08T15:23:21.261+07:00MENGENAL KEDUDUKAN SYAHADATAINDua syahadat, syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan syahadat Muhammad Rosululloh, memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam agama Islam. Laa ilaaha illa Alloh merupakan kalimat tauhid, sedangkan syahadat Muhammad Rosululloh shollallohu ‘alaih wa sallam merupakan jalan dan prakteknya. Sehingga kedua syahadat ini tidak dapat dipisahkan. Jika disebut syahadat Laa ilaaha illa Alloh, maka ini mengharuskan syahadat Muhammad Rosululloh. Dan jika disebut syahadat Muhammad Rosululloh, maka ini mengandung syahadat Laa ilaaha illa Alloh.<br /><br />Untuk mengetahui hal ini, di sini akan kami sampaikan beberapa keterangan yang menunjukkan tingginya nilai syahadatain.<br /><br />Syahadatain Merupakan Jalan Ke Surga<br /><br />Nabi Muhammad shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda:<br /><br />((مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةُ))<br /><br />“Barangsiapa bersyahadat (bersak-si) Laa ilaaha illa Alloh, dia pasti akan masuk sorga”. [Hadits Shohih Riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ‘Umar. Lihat: Ash-Shohihah no: 2344; Shohihul Jami’ no: 6318]<br /><br />Beliau shollallohu ‘alaih wa sallam juga bersabda:<br /><br />((مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ , حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ النَّارَ))<br /><br />“Barangsiapa bersyahadat (bersak-si) Laa ilaaha illa Alloh, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Alloh, niscaya Alloh haramkan neraka atasnya.” [Hadits Shohih Riwayat Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dari ‘Ubadah. Shohih Al-Jami’ush Shoghir, no: 6319]<br /><br />Beliau shollallohu ‘alaih wa sallam juga bersabda:<br /><br />((مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْـدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ))<br /><br />“Barangsiapa bersyahadat (bersaksi)<br /><br />· Laa ilaaha illa Alloh, tidak ada sekutu bagiNya,<br /><br />· dan bahwa Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya,<br /><br />· dan bahwa Isa adalah hambaNya, RasulNya, dan kalimatNya yang Dia berikan kepada Maryam, serta ruh (ciptaan)Nya,<br /><br />· dan bahwa sorga benar-benar ada,<br /><br />· dan bahwa neraka benar-benar ada,<br /><br />pasti Alloh akan memasukkannya ke dalam sorga sesuai dengan amalannya.” [Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 3435; Muslim, no: 28; dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit]<br /><br />Al-Qodhi ‘Iyadh –semoga Alloh merahmatinya- berkata: “Apa yang tersebut di dalam hadits Ubadah, adalah khusus bagi orang yang mengucapkan apa yang telah disebutkan oleh Nabi shollallohu ‘alaih wa sallam, dan dia menggabungkan pada syahadatain dengan hakekat iman dan tauhid yang telah tersebut di dalam hadits itu. Sehingga dia akan mendapatkan balasan yang akan memberatkan (kebaikannya) terhadap keburukan-keburukannya, dan menyebabkan ampunan dan rohmat baginya serta masuk sorga pada awal waktu”. [Kitab Fathul Majid, hlm: 42, karya: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, penerbit: Dar Ibni Hazm]<br /><br />Syahadatain Merupakan Rukun Islam Yang Pertama<br /><br />Maka syahadatain merupakan kewajiban pertama dan terbesar atas hamba.<br /><br />Nabi shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda:<br /><br />((بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ))<br /><br />Islam dibangun di atas lima (tiang): syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan syahadat Muhammad Rosululloh; menegakkan sholat; membayar zakat; haji; dan puasa Romadhon. [Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 8; Muslim, no: 16; dll]<br /><br />Imam Ibnu Rojab Al-Hambali (wafat tahun 795 H) berkata: “Maksud hadits ini adalah menggam-barkan Islam sebagai bangunan, tiang-tiangnya adalah lima ini. Maka Islam tidak akan berdiri tanpa lima ini. Adapun bagian-bagian Islam lainnya (selain lima ini), merupakan pelengkap bangunan. Jika ada di antara bagiannya tidak ada, maka bangunan itu kurang, dan masih tegak, tidak roboh dengan sebab berkurangnya bagian itu. Berbeda dengan robohnya lima tiang ini. Karena sesungguhnya Islam akan hilang dengan tiadanya lima tiang semuanya, tanpa keraguan. Demikian juga, Islam hilang dengan ketiadaan syahadatain”. [Kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, juz: 1, hlm: 145; tahqiq: Syakh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Ibrohim Bajis]<br /><br />Syahadatain Merupakan Pintu Gerbang Menuju Islam<br /><br />Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaih wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:<br /><br />((إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ أَنْ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ))<br /><br />“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illa Alloh”. [Hadits Riwayat Bukhari no: 4347; Muslim no: (29)(30)]<br /><br />Oleh karena itulah, tanpa syahadatain, Islam tidak ada.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th: 728 H) berkata: “Tiap-tiap orang kafir (wajib) diajak kepada syahadatain, baik orang kafir itu adalah seorang mu’aththil (orang yang tidak percaya adanya Alloh), atau musyrik (orang yang menyekutukan Alloh), atau Kitabi (orang Yahudi atau Nashrani). Dengan syahadatain itulah orang kafir menjadi orang Islam, dan dia tidak menjadi orang Islam kecuali dengan itu”. [Dar’ut Ta’arudh, juz: 8, hlm: 7]<br /><br />Tauhid Adalah Sebab Disyari’atkannya Jihad<br /><br />Alloh ta’ala berfirman:<br /><br />{وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ}<br /><br />Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah (syirik) lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Alloh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zholim. [QS. Al-Baqoroh (2): 193]<br /><br />Arti fitnah dalam ayat di atas adalah syirik, sebagaimana pendapat para ahli tafsir yang disebutkan oleh imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya.<br /><br />Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rohimahulloh – berkata di dalam Tafsirnya pada ayat ini: “Alloh menyebutkan maksud peperangan di jalanNya, yaitu bahwa maksudnya bukanlah untuk menumpahkan darah orang-orang kafir dan mengambil harta mereka. Tetapi maksudnya agar agama itu hanya untuk Alloh belaka, sehingga agama Alloh menjadi menang di atas agama-agama lainnya, dan untuk menolak perkara-perkara yang bertentangan dengan agama, seperti syirik dan lainnya, inilah yang dimaksud dengan fitnah. Maka jika maksud ini telah tercapai, tidak ada lagi pembunuhan dan peperangan.” [Kitab Taisir Karimir Rahman Fi Tafsir Kalamil Mannan, surat Al-Baqoroh, ayat: 193]<br /><br />Rosululloh shollallohu ‘alaih wa sallam juga menjelaskan tujuan jihad dalam Islam dengan sabda beliau:<br /><br />((أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ))<br /><br />“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat (bersaksi) Laa ilaaha illa Alloh dan Muhammad Rosululloh, menegakkan sholat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukannya, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka di sisi Alloh.” [Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 25; Muslim, no: 22; dan lainnya, dari Ibnu Umar]<br /><br />Setelah kita mengetahui keuta-maan dan kedudukan syahadatain yang sangat tinggi ini, maka kita wajib mengerahkan segenap kemam-puan untuk memahami dengan sebenar-benarnya masalah syahadat ini. Hanya Alloh tempat mohon pertolongan.<br /><br />الْحَمْدً ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ<br /><br />Penulis: Muslim Atsari<br /><br />Artikel: www.ustadzmuslim.com<br /><br />Di copi dari: http://ustadzmuslim.com/?p=22Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-65696005428223322202010-04-08T15:20:00.000+07:002012-03-12T14:26:58.544+07:00MENGENAL KEDUDUKAN SYAHADATAINDua syahadat, syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan syahadat Muhammad Rosululloh, memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam agama Islam. Laa ilaaha illa Alloh merupakan kalimat tauhid, sedangkan syahadat Muhammad Rosululloh shollallohu ‘alaih wa sallam merupakan jalan dan prakteknya. Sehingga kedua syahadat ini tidak dapat dipisahkan. Jika disebut syahadat Laa ilaaha illa Alloh, maka ini mengharuskan syahadat Muhammad Rosululloh. Dan jika disebut syahadat Muhammad Rosululloh, maka ini mengandung syahadat Laa ilaaha illa Alloh.<br /><br />Untuk mengetahui hal ini, di sini akan kami sampaikan beberapa keterangan yang menunjukkan tingginya nilai syahadatain.<br /><br />Syahadatain Merupakan Jalan Ke Surga<br /><br />Nabi Muhammad shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda:<br /><br />((مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةُ))<br /><br />“Barangsiapa bersyahadat (bersak-si) Laa ilaaha illa Alloh, dia pasti akan masuk sorga”. [Hadits Shohih Riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ‘Umar. Lihat: Ash-Shohihah no: 2344; Shohihul Jami’ no: 6318]<br /><br />Beliau shollallohu ‘alaih wa sallam juga bersabda:<br /><br />((مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ , حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ النَّارَ))<br /><br />“Barangsiapa bersyahadat (bersak-si) Laa ilaaha illa Alloh, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Alloh, niscaya Alloh haramkan neraka atasnya.” [Hadits Shohih Riwayat Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dari ‘Ubadah. Shohih Al-Jami’ush Shoghir, no: 6319]<br /><br />Beliau shollallohu ‘alaih wa sallam juga bersabda:<br /><br />((مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْـدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ))<br /><br />“Barangsiapa bersyahadat (bersaksi)<br /><br />· Laa ilaaha illa Alloh, tidak ada sekutu bagiNya,<br /><br />· dan bahwa Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya,<br /><br />· dan bahwa Isa adalah hambaNya, RasulNya, dan kalimatNya yang Dia berikan kepada Maryam, serta ruh (ciptaan)Nya,<br /><br />· dan bahwa sorga benar-benar ada,<br /><br />· dan bahwa neraka benar-benar ada,<br /><br />pasti Alloh akan memasukkannya ke dalam sorga sesuai dengan amalannya.” [Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 3435; Muslim, no: 28; dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit]<br /><br />Al-Qodhi ‘Iyadh –semoga Alloh merahmatinya- berkata: “Apa yang tersebut di dalam hadits Ubadah, adalah khusus bagi orang yang mengucapkan apa yang telah disebutkan oleh Nabi shollallohu ‘alaih wa sallam, dan dia menggabungkan pada syahadatain dengan hakekat iman dan tauhid yang telah tersebut di dalam hadits itu. Sehingga dia akan mendapatkan balasan yang akan memberatkan (kebaikannya) terhadap keburukan-keburukannya, dan menyebabkan ampunan dan rohmat baginya serta masuk sorga pada awal waktu”. [Kitab Fathul Majid, hlm: 42, karya: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, penerbit: Dar Ibni Hazm]<br /><br />Syahadatain Merupakan Rukun Islam Yang Pertama<br /><br />Maka syahadatain merupakan kewajiban pertama dan terbesar atas hamba.<br /><br />Nabi shollallohu ‘alaih wa sallam bersabda:<br /><br />((بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ))<br /><br />Islam dibangun di atas lima (tiang): syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan syahadat Muhammad Rosululloh; menegakkan sholat; membayar zakat; haji; dan puasa Romadhon. [Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 8; Muslim, no: 16; dll]<br /><br />Imam Ibnu Rojab Al-Hambali (wafat tahun 795 H) berkata: “Maksud hadits ini adalah menggam-barkan Islam sebagai bangunan, tiang-tiangnya adalah lima ini. Maka Islam tidak akan berdiri tanpa lima ini. Adapun bagian-bagian Islam lainnya (selain lima ini), merupakan pelengkap bangunan. Jika ada di antara bagiannya tidak ada, maka bangunan itu kurang, dan masih tegak, tidak roboh dengan sebab berkurangnya bagian itu. Berbeda dengan robohnya lima tiang ini. Karena sesungguhnya Islam akan hilang dengan tiadanya lima tiang semuanya, tanpa keraguan. Demikian juga, Islam hilang dengan ketiadaan syahadatain”. [Kitab Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, juz: 1, hlm: 145; tahqiq: Syakh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Ibrohim Bajis]<br /><br />Syahadatain Merupakan Pintu Gerbang Menuju Islam<br /><br />Ketika Rosululloh shollallohu ‘alaih wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:<br /><br />((إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ أَنْ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ))<br /><br />“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illa Alloh”. [Hadits Riwayat Bukhari no: 4347; Muslim no: (29)(30)]<br /><br />Oleh karena itulah, tanpa syahadatain, Islam tidak ada.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th: 728 H) berkata: “Tiap-tiap orang kafir (wajib) diajak kepada syahadatain, baik orang kafir itu adalah seorang mu’aththil (orang yang tidak percaya adanya Alloh), atau musyrik (orang yang menyekutukan Alloh), atau Kitabi (orang Yahudi atau Nashrani). Dengan syahadatain itulah orang kafir menjadi orang Islam, dan dia tidak menjadi orang Islam kecuali dengan itu”. [Dar’ut Ta’arudh, juz: 8, hlm: 7]<br /><br />Tauhid Adalah Sebab Disyari’atkannya Jihad<br /><br />Alloh ta’ala berfirman:<br /><br />{وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ}<br /><br />Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah (syirik) lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Alloh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zholim. [QS. Al-Baqoroh (2): 193]<br /><br />Arti fitnah dalam ayat di atas adalah syirik, sebagaimana pendapat para ahli tafsir yang disebutkan oleh imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya.<br /><br />Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rohimahulloh – berkata di dalam Tafsirnya pada ayat ini: “Alloh menyebutkan maksud peperangan di jalanNya, yaitu bahwa maksudnya bukanlah untuk menumpahkan darah orang-orang kafir dan mengambil harta mereka. Tetapi maksudnya agar agama itu hanya untuk Alloh belaka, sehingga agama Alloh menjadi menang di atas agama-agama lainnya, dan untuk menolak perkara-perkara yang bertentangan dengan agama, seperti syirik dan lainnya, inilah yang dimaksud dengan fitnah. Maka jika maksud ini telah tercapai, tidak ada lagi pembunuhan dan peperangan.” [Kitab Taisir Karimir Rahman Fi Tafsir Kalamil Mannan, surat Al-Baqoroh, ayat: 193]<br /><br />Rosululloh shollallohu ‘alaih wa sallam juga menjelaskan tujuan jihad dalam Islam dengan sabda beliau:<br /><br />((أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ))<br /><br />“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat (bersaksi) Laa ilaaha illa Alloh dan Muhammad Rosululloh, menegakkan sholat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukannya, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka di sisi Alloh.” [Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 25; Muslim, no: 22; dan lainnya, dari Ibnu Umar]<br /><br />Setelah kita mengetahui keuta-maan dan kedudukan syahadatain yang sangat tinggi ini, maka kita wajib mengerahkan segenap kemam-puan untuk memahami dengan sebenar-benarnya masalah syahadat ini. Hanya Alloh tempat mohon pertolongan.<br /><br />الْحَمْدً ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ<br /><br />Penulis: Muslim Atsari<br /><br />Artikel: www.ustadzmuslim.com<br /><br />Di copi dari: http://ustadzmuslim.com/?p=22Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-44017061552332239992010-04-08T15:17:00.000+07:002010-04-08T15:20:31.320+07:00Syahadat Cukupkah dengan perkataan? Pesan BaruSyahadat sering diartikan dengan: persaksian; pengakuan; ikrar. Sesungguhnya syahadat memuat empat perkara, yaitu: perkataan, ilmu, keyakinan, dan amal.<br /><br />Dengan demikian orang yang mengikrarkan syahadatain, dia wajib mengikrarkan dan memberitahukan kepada orang lain, dengan disertai ilmu dan pemahaman tentang makna syahadatain, dengan keyakinan kebenaran kandungannya, dan pengamalan terhadap isinya.<br /><br />Alloh ta’ala berfirman:<br /><br />{قُلْ يَآأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَآءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}<br /><br />Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak beribadah kecuali kepada Alloh dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun. Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah (tuhan) selain Alloh!”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Alloh)”. [QS. Ali ‘Imron (3): 64]<br /><br />Berikut ini adalah rincian bagian syahadat:<br /><br />Perkataan/pemberitahuan.<br /><br />Orang yang bersyahadat harus menetapkan, mengucapkan dan memberitahukan kepada orang lain. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />((فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ))<br /><br />“Sesungguhnya Alloh mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan Laa ilaaha illa Alloh, dia mencari wajah Alloh dengan (perkataan) nya.” [Hadits Shohih Riwayat Bukhari no: 425, 667, 686, 6423, 7938; Muslim no: 33, 657; dari ‘Itban bin Malik]<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rohimahulloh – (wafat 728 H) ber-kata: “Telah diketahui secara pasti di dalam agama dan telah disepakati oleh umat: bahwa fondasi Islam dan yang pertama kali diperintahkan kepada manusia adalah syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan bahwa Muhammad utusan Alloh. Dengan itulah orang kafir menjadi muslim, musuh menjadi kekasih, orang yang halal darahnya dan hartanya menjadi terjaga darah dan hartanya. Kemudian jika dia bersyahadat itu dari hatinya, maka dia telah masuk ke dalam iman. Jika dia mengucapkannya dengan lidahnya tanpa hatinya, maka dia berada pada Islam secara lahiriyah, namun tanpa iman pada batinnya.<br /><br />Adapun jika dia tidak mengucap-kan syahadat, padahal mampu, maka dia kafir secara lahir batin dengan kesepakatan umat Islam, menurut Salaf (orang-orang dahulu) umat ini, imam-imamnya, dan mayoritas ulama”. [Kitab Fathul Majid, hlm: 73, karya: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, penerbit: Dar Ibni Hazm]<br /><br />Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi – rohimahulloh – (wafat th: 792 H) berkata: “Ungkapan-ungkapan Salaf (ulama zaman dahulu) tentang “syahadat” berkisar pada makna: penetapan, keputusan, informasi, penjelasan, dan pemberitahuan. Semua perkataan ini benar, tidak bertentangan. Karena sesungguhnya “syahadat” memuat: perkataan dan berita orang yang bersaksi, dan memuat: informasinya, penjelasan-nya, dan pemberitahuannya”. [Kitab Minhatul Ilahiyah Fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 45]<br /><br />Ilmu.<br /><br />Orang yang bersyahadat harus disertai ilmu. Maka orang yang mengikrarkan syahadatain wajib mengetahui makna syahadatain dengan sebenarnya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br />{فَاعْلَمْ أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ}<br /><br />Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Alloh dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Alloh mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. [QS. Muhammad (47): 19]<br /><br />Dia juga berfirman:<br />{وَلاَ يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ}<br /><br />Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang bersyahadat terhadap al-haq (tauhid; Laa ilaaha illa Alloh) dan mereka mengeta-hui(nya). [QS. Az-Zukhruf (43): 86]<br /><br />Yaitu mereka bersyahadat Laa ilaaha illa Alloh “dan mereka mengetahui” dengan hati mereka apa yang diucapkan oleh lidah mereka. Jika seseorang mengucapkannya dengan tanpa mengetahui maknanya, kalimat itu tidak bermanfaat baginya, karena dia tidak meyakini apa kandu-ngannya”. [Lihat kitab Muqorror Tauhid Lishoffil Awwal Al-‘Ali, juz: 1, hlm: 52]<br /><br />Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />((مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ))<br /><br />Barangsiapa mati, dan dia mengetahui bahwa: Laa ilaaha illa Alloh, dia pasti masuk sorga. [Hadits Shohih Riwayat Muslim, no: 26]<br /><br />I’tiqod (keyakinan).<br /><br />Orang yang bersyahadat harus meyakini kebenaran apa yang dia beritahukan. Syaikh Muhammad Kholil Harros (wafat 1975 M) mengatakan: “Syahadat adalah: Memberitahukan sesuatu, dengan ilmu terhadapnya, dan keyakinan terhadap kebenaran dan kepas-tiannya. Dan syahadat tidak dianggap kecuali dengan disertai pengakuan dan ketundukan, dan hati mencocoki lidahnya. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyata-kan kedustaan orang-orang munafik di dalam perkataan mereka:<br />{نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللهِ}<br /><br />“Kami bersyahadat (mengakui) bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh”. [QS. Al-Munafiqun (63): 1]<br /><br />Sedangkan mereka telah mengu-capkannya dengan lidah mereka”. [Kitab Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hlm: 55, karya Syaikh Muhammad Kholil Harros, diteliti oleh: Syaikh ‘Alwi bin Abdul Qodir As-Saqqof]<br /><br />Amal.<br /><br />Orang yang bersyahadat harus mengamalkan isi syahadatnya, jika tidak itu bukanlah syahadat. Alloh ta’ala berfirman:<br />{وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى}<br /><br />Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. [QS. Luqman (31): 22]<br /><br />Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh (wafat th: 1285 H) menjelaskan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Barang-siapa bersyahadat Laa ilaaha illa Alloh”, beliau berkata: “Yaitu: Barangsiapa mengucapkannya de-ngan mengetahui maknannya, menga-malkan kandungannya secara lahir batin. Di dalam syahadatain wajib ada ilmu, keyakinan, dan amalan terhadap kandungannya”. [Kitab Fathul Majid, hlm: 35, karya: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, penerbit: Dar Ibni Hazm]<br /><br />Dengan penjelasan ini kita mengetahui bahwa: syahadat yang akan menyelamatkan seseorang dari api neraka dan memasukkan ke dalam sorga, bukanlah sekedar mengucap-kan dua kalimat syahadat di hadapan penghulu saat pernikahan. Akan tetapi, selain mengikrarkan, orang itu harus memahami makna dan kandu-ngan kedua kalimat syahadat tersebut, meyakininya, dan mengamalkan kandungannya.<br /><br />Inilah yang kami sampaikan semoga bermanfaat. Hanya Alloh tempat mohon pertolongan.<br /><br />Penulis: Abu Isma’il Muslim Al Atsari<br /><br />Artikel: www.UstadzMuslim.comAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-83447055598766844832010-04-08T15:15:00.000+07:002010-04-08T15:16:56.800+07:00Bantahan Ilmiyah Atas Kesesatan Akidah HTPenulis: Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil<br />Firqoh-Firqoh, 04 Juli 2003, 23:50:29<br />Kami nukilkan di sini bantahan Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil (Asyaratus Sa’ah) dan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly (Kasyfu Mauqifi Al Ghazaly) terhadap tulisan Muhammad Al Ghazaly (As Sunnah An Nabawiyah Baina Ahlil Fiqih wa Ahlil Hadits) yang diterjemahkan oleh penerbit Syiah yaitu Mizan Bandung, dengan judul “Studi Kritis Atas Hadits Nabi”. Tulisan ini relevan karena antara Al Ghazaly (tokoh Ikhwanul Muslimin) dengan Hizbut Tahrir sama-sama memiliki keyakinan terhadap penolakan khabar ahad dalam masalah akidah.<br /><br />Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah<br />oleh<br />Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA*<br /><br /><br />Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad[1]. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia[2]. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul[3], yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.<br /><br />Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)<br /><br />Dan firman-Nya :<br /><br />“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32)<br /><br />Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad[4].”<br /><br />Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini[5].”<br /><br />Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6]<br /><br />Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang[7].” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.<br /><br />Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Semua yang datang dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :<br /><br />“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7)<br /><br />Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits[8]. Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya[9].”<br /><br />Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.<br /><br />Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah[10].<br /><br />Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran[11] bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah.<br /><br />Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)<br /><br />Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan[12].<br /><br />Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((Wa maa lahum bihi min ‘ilm)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an)) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan[13].”<br /><br />Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am : 116)<br /><br />Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai[14]. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.<br /><br />Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.<br /><br />Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Ahad<br /><br />Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari Al Qur’an maupun hadits, yaitu :<br /><br />1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122)<br /><br />Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang.<br /><br />Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)<br /><br />Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas[15]. Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum[16].<br /><br />2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)<br /><br />Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))[17]. Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu[18].<br /><br />3. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’ : 59)<br /><br />Ibnul Qayyim berkata : “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu[19].”<br /><br />Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :<br /><br />a) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu 'anhu ke negara Najran[20], Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu ke negara Yaman[21]. Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah[22] dan lain-lain.<br /><br />b) Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah[23].” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.<br /><br />c) Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[24]”<br /><br />Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.<br /><br />d) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.[25]”<br /><br />Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya.<br /><br />Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal akidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah akidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.<br /><br />Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah akidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang :<br /><br />1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam.<br /><br />2. Syafaatnya yang besar di akhirat.<br /><br />3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.<br /><br />4. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an.<br /><br />5. Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an.<br /><br />6. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.<br /><br />7. Himpitan kubur terhadap mayit.<br /><br />8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal.<br /><br />9. Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.<br /><br />10. Keistimewaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa.<br /><br />11. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga.<br /><br />12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka.<br /><br />13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an.<br /><br />14. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain. Kemudian semua dalil akidah, menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil akidah itu bukan dengan hadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka mereka menolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih[26].<br /><br />Tambahan<br /><br />Disebutkan dalam kitab Maqaayiisu Naqdu Mutuuni As Sunnah : “Wajib bagi siapa saja yang mendengar khabar ahad yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk mengikuti, mengamalkan, dan tidak boleh menyelisihinya, walaupun manusia itu tidak mesti kebenarannya dan tidak terlepas dari keraguan dan kesalahan.”<br /><br />Makna hadits ahad itu bisa mendatangkan ilmu dengan mengikutinya atau sebagaimana yang diibaratkan oleh para ulama ahli fiqih : (Mengamalkan) Zhanni Al Ghalib (dugaan terkuat/paling umum) itulah yang dimaksud. Karena hukum-hukum syariat itu pasti mempunyai tujuan-tujuan. Termasuk kewajiban dan perintahnya adalah Ittiba’ (mengikuti). Maka bila hal itu (mengamalkan hadits ahad, pent.) telah dilakukan berarti kita telah menunaikan apa yang diinginkan (oleh syariat, pent.).<br /><br />Meskipun para ulama ahli fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad Dumainiy, halaman 277).<br /><br /><br />--------------------------------------------------------------------------------<br /><br />§ Berapa banyak pemuda yang tertipu dengan buku itu.<br /><br />* (Asyratus Sa’ah/Tanda-Tanda Hari Kiamat).<br /><br />[1] Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin mereka berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir. Ahad yaitu hadits selain Mutawatir. Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi, dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan.<br /><br />[2] Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180, editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani, halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202 M. Abduh editor M. Rasyid Ridha. Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata : “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib.<br /><br />[3] Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr. Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad.<br /><br />[4] Lihat Fathul Bari 13/234.<br /><br />[5] Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H.<br /><br />[6] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Syafi’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz.<br /><br />[7] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350.<br /><br />[8] Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4.<br /><br />[9] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85.<br /><br />[10] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362.<br /><br />[11] Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7.<br /><br />[12] Lihat An Nihayah 3/162-163.<br /><br />[13] Lihat Shahih Muslim 16/118.<br /><br />[14] Lihat Al Aqidah fii Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969.<br /><br />[15] Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231.<br /><br />[16] Lihat Al Aqidah fii Allah halaman 51.<br /><br />[17] Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60.<br /><br />[18] Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani.<br /><br />[19] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim.<br /><br />[20] Lihat Shahih Bukhari 13/232.<br /><br />[21] Lihat Shahih Bukhari 3/261.<br /><br />[22] Lihat Shahih Bukhari 13/241.<br /><br />[23] Lihat Shahih Bukhari 13/232.<br /><br />[24] Lihat Shahih Bukhari 13/232.<br /><br />[25] Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H.<br /><br />[26] Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar.<br /><br />(Bersambung ke Tikaman Terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan As Sunnah) [Dinukil dari Bagian Kedua - Kumpulan Risalah Ilmiah "Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru" (Cahaya Tauhid Press)]<br /><br />Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.<br />Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=78Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-82236197151085533792010-04-08T15:14:00.000+07:002010-04-08T15:15:48.219+07:00Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir : Khilafah IslamiyyahPenulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh<br />Firqoh-Firqoh, 27 Agustus 2005, 09:50:23<br />Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi Salaful Ummah di dalam mengatasi problematika umat dalam upaya mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah Al-Haq yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya n serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan.<br />Sebagaimana firman Allah:<br />فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ<br />“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)<br /><br />Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:<br />وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ<br />“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan yang lain), karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah Ta’alaepadamu agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)<br /><br />Diantara cara-cara sesat yang mereka tempuh antara lain:<br />1. Penyelesaian problem umat melalui jalur politik dengan ikut terjun langsung atau tidak langsung dalam panggung politik dengan berbagai macam alasan untuk membenarkan tindakan mereka.<br /><br />Diantara mereka ada yang beralasan bahwa tidak mungkin Daulah Islamiyyah akan terwujud kecuali dengan cara merebut kekuasaan melalui jalur politik, yaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan dan kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan banyaknya dukungan dan kursi di pemerintahan, syariat Islam bisa diterapkan. Walaupun dalam pelaksanaannya, mereka rela untuk mengadopsi dan menerapkan sistem politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan Islam.<br /><br />Mereka sanggup untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif terhadap lawan politiknya. Bila perlu, merekapun sanggup untuk mencampakkan prinsip-prisip Islam yang paling utama dalam rangka untuk memuluskan ambisi mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang semisalnya.(1) Bahkan tidak jarang merekapun sanggup untuk berdusta atas nama Ulama Ahlus Sunnah dengan mencuplik fatwa-fatwa para ulama tersebut dan mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini lebih banyak dipraktekkan oleh kelompok Al-Ikhwanul Muslimun.<br /><br />Sebagian kelompok lagi beralasan bahwa melalui politik ini akan bisa direalisasikan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, yaitu dengan menekan dan memaksa mereka menerapkan hukum syariat Islam dan meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.<br />Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui berbagai macam orasi politik yang penuh dengan provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.<br /><br />Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan kritik dan kontrol serta koreksi terhadap penguasa, atau terkadang mereka mengistilahkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar. Yang ternyata tindakan mereka tersebut justru mendatangkan kehinaan bagi kaum muslimin serta ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai pribadi muslim ataupun sebagai warga negara di banyak negeri. Dengan ini, semakin pupuslah harapan terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini lebih banyak dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.<br /><br />Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik kelompok Al-Ikhwanul Muslimun ataupun Hizbut Tahrir serta semua pihak yang menempuh cara mereka, tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian tempuh sepanjang sejarah kelompok kalian. Di Mesir kalian telah gagal total, bahkan harus ditebus dengan dieksekusinya tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan atau ditembak mati, dan semakin suramnya nasib dakwah. Di Al-Jazair pun ternyata juga pupus bahkan berakhir dengan pertumpahan darah dan perpecahan.<br /><br />Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai Daulah Islamiyyah yang berhasil kalian dirikan, dimana kalian berhasil dalam Pemilu di negeri tersebut. Namun apa yang terjadi setelah itu…? Wakil Presidennya adalah seorang Nashrani, lebih dari 10 orang menteri di kabinet adalah Nashrani. Atau mungkin kalian menganggap itu sebagai kesuksesan di panggung politik di negeri Sudan, ketika kalian berhasil ‘mengorbitkan’ salah satu pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang salah satu tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, yaitu Hasan At-Turabi. Apakah orang seperti dia yang kalian banggakan, orang yang berakidah dan berpemikiran sesat?! Simak salah satu ucapan dia: “Aku ingin berkata bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian yang satu, boleh bagi seorang muslim – sebagaimana boleh pula bagi seorang Nashrani– untuk mengganti agamanya.”(2)<br /><br />Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir dengan pernyataan yang sama. Bagaimana Allah akan memberikan keberhasilan kepada kalian sementara kalian menempuh cara-cara Khawarij yang telah dikecam keras oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sekian banyak haditsnya?<br /><br />Dimana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut Tahrir—dibanding manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam menyampaikan nasehat kepada penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunm: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:<br />مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانِ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ<br />“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang penguasa, maka jangan dilakukan secara terang-terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan kepadanya secara pribadi, jika ia (penguasa itu) menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan, namun jika tidak mau menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah hadits no. 1096)<br /><br />2. Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan atau gerakan kudeta/revolusi terhadap penguasa yang sah, dengan alasan mereka telah kafir karena tidak menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktek kenegaraannya. Kelompok pergerakan ini cenderung menamakan tindakan teror dan kudeta yang mereka lakukan dengan nama jihad, yang pada hakekatnya justru tindakan tersebut membuat kabur dan tercemarnya nama harum jihad itu sendiri. Mereka melakukan pengeboman di tempat-tempat umum sehingga tak pelak lagi warga sipil menjadi korban. Bahkan tak jarang di tengah-tengah mereka didapati sebagian umat Islam yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa. Cara-cara seperti ini lebih banyak diperankan oleh kelompok-kelompok radikal semacam Jamaah Islamiyyah, demikian juga Usamah bin Laden –salah satu tokoh Khawarij masa kini— dengan Al-Qaeda-nya beserta para pengikutnya dari kalangan pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu syar’i dan cenderung melandasi sikapnya di atas emosi. Cara-cara yang mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk pengaruh pemikiran-pemikiran sesat dari tokoh-tokoh mereka, seperti:<br />a. Abul A’la Al-Maududi, dimana dia menyatakan: “…Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-tulisan dan risalah-risalah kita bahwa tujuan kita yang paling tinggi yang kita perjuangkan adalah: MENGADAKAN GERAKAN PENGGULINGAN KEPEMIMPINAN. Dan yang saya maksudkan dengan itu adalah untuk membersihkan dunia ini dari kekotoran para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu kita bisa menegakkan imamah yang baik dan terbimbing. Itulah usaha dan perjuangan yang bisa menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang lebih berhasil untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan wajah-Nya yang mulia di dunia dan akhirat.” (Al-Ushusul Akhlaqiyyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 16)<br /><br />Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia yang shalih sebanyak mungkin, kemudian dibentuk (sebagai suatu kekuatan) untuk merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)<br /><br />b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring umat ini untuk menyikap lingkungan dan masyarakat serta pemerintahan muslim sebagai lingkungan, masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah. Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode penyelesaian problema umat demi terwujudnya Khilafah Islamiyyah.<br />Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain.(3)<br /><br />Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas di negeri ini, yang cukup punya andil besar dalam menggiring para pemuda khususnya untuk berpemikiran radikal serta memilih cara-cara kekerasan untuk mengatasi problematika umat ini dan menggapai angan yang mereka canangkan. Maka wajib bagi semua pihak dari kalangan muslimin untuk berhati-hati dan tidak mengkonsumsi buku fitnah karya tokoh-tokoh Khawarij.<br /><br />Demikian juga buku-buku kelompok Syi’ah Rafidhah yang juga syarat dengan berbagai provokasi kepada umat ini untuk melakukan berbagai aksi dan tindakan teror terhadap penguasa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada pemerintah kita agar mereka bisa mencegah peredaran buku-buku sesat dan menyesatkan tersebut di tengah-tengah umat, demi terwujudnya stabilitas keamanan umat Islam di negeri ini.<br /><br />Khilafah Islamiyyah bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi<br />Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita, bahwa banyak dari kalangan aktivis pergerakan-pergerakan Islam yang menyatakan bahwa permasalahan Daulah Islamiyyah merupakan permasalahan yang penting, bahkan terpenting dalam masalah agama dan kehidupan.<br /><br />Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus diketahui jawabannya oleh setiap muslim, yaitu: Apakah penegakan Daulah Islamiyyah adalah fardhu ‘ain (kewajiban atas setiap pribadi muslim) yang harus dipusatkan atau dikosentrasikan pikiran, waktu, dan tenaga umat ini untuk mewujudkannya?<br />Kemudian: Benarkah bahwa tujuan utama dakwah para nabi adalah penegakan Daulah Islamiyyah?<br /><br />Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, mari kita simak penjelasan para ulama besar Islam berikut ini.<br />Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah: “…Jika telah pasti tentang wajibnya (penegakan) Al-Imamah (kepemerintahan/kepemimpinan) maka tingkat kewajibannya adalah fardhu kifayah, seperti kewajiban jihad dan menuntut ilmu.” Sebelumnya beliau juga berkata: “Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk melanjutkan khilafatun nubuwwah dalam rangka menjaga agama dan pengaturan urusan dunia yang penegakannya adalah wajib secara ijma’, bagi pihak yang berwenang dalam urusan tersebut.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)<br /><br />Imamul Haramain menyatakan bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)<br /><br />Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Maka anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang permasalahan Al-Imamah bahwasanya ia tergolong permasalahan furu’, tidak lebih sebatas wasilah (sarana) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama dan politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajibannya masih diperselisihkan apakah dalil ‘aqli ataukah dalil syar’i…. Bagaimanapun, jenis permasalahan yang seperti ini kondisinya, yang masih diperselisihkan tentang posisi dalil yang mewajibkannya, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa masalah Al-Imamah ini merupakan puncak tujuan agama yang paling hakiki?”<br /><br />Demikian jawaban dari pertanyaan pertama. Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :<br />“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan satu tuntutan yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah suatu kedustaan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari kalangan Syi’ah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-salahan yang jauh lebih penting daripada perma-salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan yang diketahui secara pasti dalam dienul Islam.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)<br />Kemudian beliau melanjutkan:<br />“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Ta’ala serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga tentunya Diantara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terntang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah Ta’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)<br /><br />Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, lalu coba kita bandingkan dengan ucapan Al-Maududi, yang menyatakan bahwa:<br />1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar.<br />2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang shalihah dan rasyidah.<br />3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama tugas para nabi.<br /><br />Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya permasalahan yang terpenting adalah permasalahan yang dibawa oleh seluruh para nabi –alaihimush shalatu was salaam- yaitu permasalahan tauhid dan iman, sebagaimana telah Allah simpulkan dalam firman-Nya:<br />وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ<br />“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian thagut.” (An-Nahl: 36)<br /><br />وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ<br />“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)<br /><br />وَلَقَدْ أُوْحَي إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ<br />“Sungguh telah kami wahyukan kepadamu dan kepada (para nabi) yang sebelummu (bahwa) jika engkau berbuat syirik niscaya akan batal seluruh amalanmu dan niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)<br /><br />Inilah permasalahan yang terpenting yang karenanya terjadi permusuhan antara para nabi dengan umat mereka, dan karenanya ditenggelamkan pihak-pihak yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak tujuan agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta tujuan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah peribadatan kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya untuk-Nya… Sebagaimana firman Allah:<br />وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُيْنِ<br />“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)<br /><br />الر، كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ. أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ<br />“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2)<br /><br />Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk nasehat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.<br />Wallahu a’lam bish-shawab.<br /><br />Footnote :<br />1. Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam.<br />2. Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.<br />3. Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari Indonesia, bernama Imam Samudra.<br /><br />(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul asli "Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah Islamiyah, karya Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=289)<br /><br />Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.<br />Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=980Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-79799011857380317082010-04-08T15:13:00.000+07:002010-04-08T15:14:49.640+07:00Fatwa ttg Kesesatan Hizbut Tahrir (II)Penulis: Syaikh Al Albani<br />Firqoh-Firqoh, 01 Juli 2003, 04:16:25<br />Pada suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat HT).<br /><br />Pertanyaan Yang Pertama :<br /><br />Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin Anda menjelaskan atau memberikan faedah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir ini.<br /><br />Pertanyaan Yang Kedua :<br /><br />Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir, sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?<br /><br />Saya (Syaikh Al Albani) menjawab atas dua pertanyaan tadi :<br /><br />Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata!<br /><br />Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.<br /><br />Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang mereka semua harus ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginginkan nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih :<br /><br />“Agama itu adalah nasehat”, kami (para shahabat) berkata : “Bagi siapa ya Rasulullah?” (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) bersabda : “Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi Imam-Imam kaum Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya.” (Imam Muslim menyendiri dalam lafadz hadits hadits ini dari hadits Tamim Ad Dari).<br /><br />Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an tentang permasalahan ini :<br /><br />“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al Ankabut : 69)<br /><br />Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj Salafus Shalih merekalah orang-orang yang dimaksud dalam ayat :<br /><br />“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad : 7)<br /><br />Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.<br /><br />Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja. Dan saya (Al Albani) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte) karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salafus Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini.<br /><br />Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam baik yang berhubungan dengan Al Qur’an maupun As Sunnah.<br /><br />Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij) pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, kemudian sejak mulainya Jaad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan nama-nama yang baru pula.<br /><br />Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salafus Shalih.<br /><br />Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka, baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan kesempurnaan dakwah kita.<br /><br />Yakni (perkataan) berada di atas manhaj Salafus Shalih. Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri) walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka semua mengatakan dengan perkataan yang sama?<br /><br />Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila dibangun di atas manhaj Salafus Shalih. Sekarang pada diri kita timbul satu pertanyaan : “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan manhaj Salafus Shalih?”<br /><br />Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang Mukmin, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan barangsiapa menentang Rasul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)<br /><br />Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka mereka akan berkata, “Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Hanafi”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’i”, dan seterusnya.<br /><br />Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka apakah benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali tidak. Oleh sebab itu apa faedahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya.<br /><br />Dari contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid (awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum keadaannya.<br /><br />Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala tidaklah menyebutkan kalimat di pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta'ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting, suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Kaum Muslimin hanyalah dikatakan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah baik secara pokok-pokoknya dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salafus Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.<br /><br />Artinya wajib bagi kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka yakni agar mereka bersandar kepada Al Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman Salafus Shalih.<br /><br />Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Baats dan partai komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.<br /><br />Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya (pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam ayat Al Qur’an :<br /><br />“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)<br /><br />Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan) sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan), karena ayat ini menyatakan : “Sesungguhnya jalan yang bisa menuju pada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br /><br />Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana keberadaan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam itu sendiri (menjelaskan dan menerangkan Al Qur’an, pent.). Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalam Al Qur’anul Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :<br /><br />“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl : 44) Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah penjelas yang sempurna terhadap Al Qur’an, sedangkan Al Qur’an adalah asal peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (Syaikh Al Albani) berkata : “Al Qur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan As Sunnah bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut.”<br /><br />Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur’an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati. Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti Salafus Shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang :<br /><br />“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin.” (QS. An Nisa : 115)<br /><br />Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut dalam ayat terdahulu :<br /><br />“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)<br /><br />Saya (Syaikh Al Albani) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini dari riwayat salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu ketika beliau mengatakan :<br /><br />Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membuat satu garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah, kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan (menunjuk) pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”.<br /><br />Bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sambil menunjuk jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda, “ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada syaithan yang menyeru manusia padanya.”<br /><br />Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan selain dari keduanya dari Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik, dan yang selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /><br />“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para shahabat) bertanya : “Siapa dia ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dia adalah apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya.”<br /><br />Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi. Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka itulah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada hadits Al Firaq, ketika beliau ditanya tentang Firqatun Najiah (golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.”<br /><br />Maka jawaban ini wajib diperhatikan, karena merupakan jawaban dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala maka itu adalah tafsir dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terhadap jalannya orang-orang Mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Dan barangsiapa yang menentang Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”<br /><br />Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan tentang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan jalannya orang-orang Mukmin. Sementara itu (dalam hadits, pent.) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyebutkan tanda Firqatun Najiah yang tidak termasuk 72 golongan yang binasa. Sesungguhnya Firqatun Najiah adalah golongan yang berdiri di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabat. Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati pula dalam ayat. Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja. Di samping itu ayat juga menyebutkan jalannya orang-orang Mukmin demikian pula dalam hadits terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Al Qur’an.<br /><br />Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /><br />“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku dan tidaklah terpisah keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) sampai keduanya datang kepadaku di Haudl.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’-nya, Al Hakim dalam Mustadrak-nya dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits nomor 2937)<br /><br />Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.<br /><br />Semakna dengan hadits ini adalah hadits Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu 'anhu yang termasuk salah satu shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam secara langsung dan bersih. Berkata Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu 'anhu :<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberi nasehat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena terharu). Kami berkata : “Ya Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berilah kami wasiat.” Maka beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi. Berkata Tirmidzi, hadits ini hasan)<br /><br />Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /><br />“Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”<br /><br />Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul (dipertanyakan) : “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku.” Dan Rasulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau :<br /><br />“ … dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”<br /><br />Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Al Qur’an dan As Sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits Al Firaq (perpecahan) serta hadits dari Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu 'anhu.<br /><br />Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa sekarang ini sebagaimana keberadaan firqah-firqah yang sesat, khususnya kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya.<br /><br />(Selesai)<br /><br />(Dikutip dari buku Terjemahan HT Mu'tazilah Gaya Baru, terbitan Cahaya Tauhid Press)<br /><br />Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.<br />Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=76Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-53538577071986664902010-04-08T15:12:00.000+07:002010-04-08T15:13:53.778+07:00Fatwa ttg Kesesatan Hizbut Tahrir (I)Penulis: Syaikh Al Albani<br />Firqoh-Firqoh, 01 Juli 2003, 04:11:53<br />Pada suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat HT).<br /><br />Pertanyaan Yang Pertama :<br /><br />Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin Anda menjelaskan atau memberikan faedah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir ini.<br /><br />Pertanyaan Yang Kedua :<br /><br />Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir, sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?<br /><br />Saya (Syaikh Al Albani) menjawab atas dua pertanyaan tadi :<br /><br />Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.<br /><br />Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang mereka semua harus ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginginkan nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih :<br /><br />“Agama itu adalah nasehat”, kami (para shahabat) berkata : “Bagi siapa ya Rasulullah?” (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) bersabda : “Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi Imam-Imam kaum Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya.” (Imam Muslim menyendiri dalam lafadz hadits hadits ini dari hadits Tamim Ad Dari)<br /><br />Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an tentang permasalahan ini :<br /><br />“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al Ankabut : 69)<br /><br />Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj Salafus Shalih merekalah orang-orang yang dimaksud dalam ayat :<br /><br />“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad : 7)<br /><br />Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.<br /><br />Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.<br /><br />Dan saya (Al Albani) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte) karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salafus Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini. Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam baik yang berhubungan dengan Al Qur’an maupun As Sunnah.<br /><br />Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij) pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, kemudian sejak mulainya Jaad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan nama-nama yang baru pula. Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salafus Shalih.<br /><br />Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka, baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan kesempurnaan dakwah kita. Yakni (perkataan) berada di atas manhaj Salafus Shalih.<br /><br />Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri) walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka semua mengatakan dengan perkataan yang sama?<br /><br />Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila dibangun di atas manhaj Salafus Shalih. Sekarang pada diri kita timbul satu pertanyaan : “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan manhaj Salafus Shalih?”<br /><br />Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang Mukmin, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)<br /><br />Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan barangsiapa menentang Rasul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)<br /><br />Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka mereka akan berkata, “Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Hanafi”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’i”, dan seterusnya.<br /><br />Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka apakah benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali tidak. Oleh sebab itu apa faedahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya.<br /><br />Dari contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid (awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum keadaannya.<br /><br />Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala tidaklah menyebutkan kalimat di pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta'ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting, suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.<br /><br />Kaum Muslimin hanyalah dikatakan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah baik secara pokok-pokoknya dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salafus Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.<br /><br />Artinya wajib bagi kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka yakni agar mereka bersandar kepada Al Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman Salafus Shalih.<br /><br />Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Baats dan partai komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.<br /><br />Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya (pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam ayat Al Qur’an :<br /><br />“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)<br /><br />Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan) sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan), karena ayat ini menyatakan : “Sesungguhnya jalan yang bisa menuju pada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br /><br />Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana keberadaan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam itu sendiri (menjelaskan dan menerangkan Al Qur’an, pent.). Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalam Al Qur’anul Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :<br /><br />“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl : 44)<br /><br />Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah penjelas yang sempurna terhadap Al Qur’an, sedangkan Al Qur’an adalah asal peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (Syaikh Al Albani) berkata : “Al Qur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan As Sunnah bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut.”<br /><br />Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur’an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati.<br /><br />Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti Salafus Shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang :<br /><br />“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin.” (QS. An Nisa : 115)<br /><br />Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut dalam ayat terdahulu :<br /><br />“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)<br /><br />Saya (Syaikh Al Albani) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini dari riwayat salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu ketika beliau mengatakan :<br /><br />Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membuat satu garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah, kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan (menunjuk) pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”.<br /><br />Bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sambil menunjuk jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda, “ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada syaithan yang menyeru manusia padanya.”<br /><br />Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan selain dari keduanya dari Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik, dan yang selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /><br />“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para shahabat) bertanya : “Siapa dia ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dia adalah apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya.”<br /><br />Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi. Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka itulah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada hadits Al Firaq, ketika beliau ditanya tentang Firqatun Najiah (golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.”<br /><br />Maka jawaban ini wajib diperhatikan, karena merupakan jawaban dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala maka itu adalah tafsir dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terhadap jalannya orang-orang Mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :<br /><br />“Dan barangsiapa yang menentang Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”<br /><br />Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan tentang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan jalannya orang-orang Mukmin. Sementara itu (dalam hadits, pent.) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyebutkan tanda Firqatun Najiah yang tidak termasuk 72 golongan yang binasa. Sesungguhnya Firqatun Najiah adalah golongan yang berdiri di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabat.<br /><br />Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati pula dalam ayat. Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja. Di samping itu ayat juga menyebutkan jalannya orang-orang Mukmin demikian pula dalam hadits terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Al Qur’an. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /><br />“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku dan tidaklah terpisah keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) sampai keduanya datang kepadaku di Haudl.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’-nya, Al Hakim dalam Mustadrak-nya dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits nomor 2937)<br /><br />Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Semakna dengan hadits ini adalah hadits Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu 'anhu yang termasuk salah satu shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam secara langsung dan bersih. Berkata Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu 'anhu :<br /><br />Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberi nasehat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena terharu). Kami berkata : “Ya Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berilah kami wasiat.” Maka beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi. Berkata Tirmidzi, hadits ini hasan) Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :<br /><br />“Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”<br /><br />Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul (dipertanyakan) : “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku.” Dan Rasulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau :<br /><br />“ … dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”<br /><br />Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Al Qur’an dan As Sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits Al Firaq (perpecahan) serta hadits dari Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu 'anhu.<br /><br />Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa sekarang ini sebagaimana keberadaan firqah-firqah yang sesat, khususnya kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya. (Bersambung ke vol. II)<br /><br />(Dikutip dari buku Terjemahan HT Mu'tazilah Gaya Baru, terbitan Cahaya Tauhid Press)<br /><br />Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.<br />Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=75Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-19364052160189157232010-04-08T15:11:00.000+07:002010-04-08T15:12:52.272+07:00Siapakah Hizbut Tahrir ?Penulis: Bagian Kedua - Kumpulan Risalah Ilmiah<br />Manhaj, 04 Juli 2003, 23:41:23<br />Mukadimah<br />Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiyuddin An Nabhani. Gerakan ini berpusat di Yordania, Syiria, dan Libanon. Menyebarkan virusnya ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia.<br /><br />Dalam bukunya “Mengenal HT, 2001” disebutkan bahwa Hizbut Tahrir adalah parpol yang berideologi Islam, Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiyah, bukan lembaga pendidikan, dan bukan lembaga sosial.<br /><br />Membahas tentang Hizbut Tahrir haruslah mengetahui tentang firqah Mu’tazilah. Hal ini penting karena golongan ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur Ahlul Ilmi (Ahli Hadits).<br /><br />Padahal kenyataannya, pernyataan para imam justru sebaliknya (akan datang penjelasannya). Mu’tazilah menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan faedah apa-apa melainkan dzan (prasangka) belaka.<br /><br />Padahal untuk menetapkannya sebagai akidah mestilah memerlukan dalil yang Qath’i (pasti). Jadi dasar pijakan Hizbut Tahrir sebenarnya bersumber dari dasar pijakan kaum Mu’tazilah yang telah menyimpang dari pemahaman Salafus Shalih (Islam).<br /><br />Maka janganlah tertipu dengan pengakuan mereka yang dusta. Mu’tazilah-lah nenek moyang dan pendahulu mereka!<br /><br />Akidah Hizbut Tahrir<br />A. Kesesatan Akidah Hizbut Tahrir<br /><br />Membahas Hizbut Tahrir haruslah mengetahui tentang Mu’tazilah. Hal ini penting karena firqah ini tidaklah segan-segan untuk berdusta dan berlaku keji dengan menisbatkan diri bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur Ahlul Ilmi sebagaimana perkataannya : “Jumhur kaum Muslimin baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhadditsin, fuqaha, serta ulama ushul sepakat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja, tidak menghasilkan keyakinan.” (Syamsudin Ramadlan, Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, halaman …, 2001)<br /><br />Padahal kenyataannya, pernyataan para imam justru sebaliknya (akan datang penjelasannya). Azas yang paling menonjol dari Mu’tazilah yaitu dalam memahami dan melaksanakan Islam, mereka menjadikan akal sebagai hakim/tolok ukur kebenaran. Kedua (akibat dari prinsip pertama tersebut) adalah menolak hadits ahad dalam masalah akidah. Hadits ahad (menurut akal filsafat Mu’tazilah) tidak bisa memberikan faedah apa-apa kecuali dzan (dugaan) belaka. Sementara HT menyatakan bahwa : “Hadits ahad tidak bisa memberikan faedah ilmu dan yakin, hal ini telah disepakati oleh orang-orang yang berakal.” (Syamsudin Ramadlan, Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, halaman …, 2001)<br /><br />Sedangkan iman yang dibangun di atas dzan adalah kekufuran (naudzubillah)!! berikut ucapan Abdurrahman Al Baghdadi (gembong HT di Bogor) : “Sesungguhnya mengambil khabar ahad dalam masalah akidah sama artinya telah mengambil dzan dan telah memperturutkan hawa nafsu. Tentunya, hal semacam ini adalah perbuatan haram. Mengambil khabar ahad dalam masalah akidah sama artinya dengan membangun akidah di atas dzan. Iman yang dibangun di atas dzan tentu di dalamnya akan dipenuhi oleh keraguan dan kontradiksi. Padahal ini adalah sebuah kekufuran … .”<br /><br />“Akhir kata, kegigihan untuk tetap mengambil khabar ahad dalam masalah akidah, serta terus komitmen pada pendapat tersebut merupakan sikap kepala batu.” (Syamsudin Ramadlan, Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, halaman …, 2001)<br /><br />Ucapan Abdurrahman yang keji di atas mengandung takfir (pengkafiran) terhadap Salafus Shalih dan kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jamaah. Lihat betapa jahatnya penentangan dan permusuhan Hizbut Tahrir terhadap manhaj Salafus Shalih yang menyatakan wajibnya mengimani dan membenarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang rawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Jadi dasar pijakan firqah Hizbut Tahrir sebenarnya bersumber dari dasar pijakan kaum Mu’tazilah yang telah menyimpang dari pemahaman Salafus Shalih. Maka janganlah tertipu dengan pengakuan-pengakuan mereka yang dusta. Mu’tazilah-lah nenek moyang dan pendahulu mereka!<br /><br />Para ulama Ahlus Sunnah baik yang dahulu maupun pada masa sekarang telah banyak menulis kitab yang memperingatkan kesesatan pemahaman Mu’tazilah dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangan tentang wajibnya berpegang dengan hadits ahad (yang shahih) baik dalam masalah hukum maupun akidah. Salah satu dalil yang dibawakan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad shahih oleh Anas bin Malik radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika mengutus Muadz radhiallahu 'anhu ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya :<br /><br />“Jadikanlah yang pertama engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat Laa Ilaaha Illallah (tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah).”<br /><br />Siapakah Muslim yang ragu bahwa syahadat ini merupakan azas/pokok Islam yang pertama kali? Artinya sebagai akidah pertama yang diatasnya dibangun keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya? Sesungguhnya Muadz telah pergi sendirian saja sebagai penyampai dan juru dakwah yang menyeru kaum musyrikin agar mereka beriman kepada Dienul Islam.<br /><br />Maka datanglah kaum filsafat ini dengan bukunya yang penuh kedustaan dan pengkafiran terhadap Ahlus Sunnah yang berjudul Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur§) untuk membantah Syaikh Albani (menurut dzan mereka). Mereka datang dengan membawa kilahnya orang yang sedang kebingungan dengan perkataannya : “Hal-hal di atas sama sekali tidak menunjukkan bolehnya mengambil khabar ahad untuk membangun pokok akidah, akan tetapi hanya menunjukkan bolehnya menerima Tabligh Islam (baik tabligh dalam masalah hukum maupun akidah) dengan khabar ahad. Penerimaan terhadap Tabligh Islam tidaklah berarti menerima khabar ahad untuk menetapkan akidah. Tabligh (penyampaian) berbeda dengan Itsbat (penetapan). Seseorang boleh menolak Tabligh Khabar seseorang, buktinya Umar bin Khattab menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah tentang Al Qur’an(?). Umar menolak tabligh, sebab dari sisi itsbat berita riwayat itu tidak disandarkan pada bukti yang qath’i … . Al Qur’an dari sisi itsbatnya adalah khabar mutawatir … . Meskipun Al Qur’an didakwahkan seorang diri kepada penduduk Jepang, tidak otomatis bahwa Al Qur’an menjadi riwayat ahad.” (Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, Syamsudin Ramadlan, halaman 49-50, 2001)<br /><br />Maka benarlah apa yang dikatakan Syaikh Albani : “Mengapa mereka jadi begini? Sesungguhnya mereka telah datang dengan membawa filsafat, kemudian mereka terperangkap secara sambung-menyambung ke dalam banyak filsafat. Akhirnya dengan filsafat tersebut mereka keluar dari jalan lurus yang pernah ditempuh para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ucapan mereka yang bingung itu tidaklah menggugurkan kenyataan bahwa Muadz radhiallahu 'anhu adalah da’i Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di negeri Yaman. Akidah Islamiyah diajarkan dengan khabar ahad Muadz radhiallahu 'anhu, sebagaimana Muadz radhiallahu 'anhu (dan para shahabat lainnya) menerima khabar tersebut dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (Bersambung Bantahan Ilmiyah Terhadap Kesesatan Akidah Hizbut Tahrir).<br /><br />Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.<br />Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=77Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9029916066436826333.post-86018038697747265092010-04-08T11:28:00.000+07:002010-04-08T11:31:08.989+07:00Kutulis Surat Ini Untukmu... Wahai Anakku.......Wahai anakku…<br /><br />5 Februari 2010 pada 23:09 (Adab, Kisah)<br />Tags: curahan hati ibu, ibu dan anak, rintihan ibu, surat ibu kepada anaknya, wahai anakku<br />2 Votes<br /><br /><br /><br />Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Alloh ta’ala<br /><br />Segala puji ku panjatkan ke hadirat Alloh ta’ala, yang telah memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.<br /><br />Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.<br /><br />Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.<br /><br />Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.<br /><br />Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.<br /><br />Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.<br /><br />Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.<br /><br />Anakku…<br /><br />Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.<br /><br />Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.<br /><br />Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.<br /><br />Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.<br /><br />Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.<br /><br />Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…<br /><br />Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.<br /><br />Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.<br /><br />Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.<br /><br />Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.<br /><br />Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.<br /><br />Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.<br /><br />Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.<br /><br />Anakku…<br /><br />Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.<br /><br />Yang ibu pinta kepadamu:<br /><br />Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.<br /><br />Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.<br /><br />Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.<br /><br />Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.<br /><br />Yang ibu tagih kepadamu:<br /><br />Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.<br /><br />Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.<br /><br />Anakku…<br /><br />Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…<br /><br />Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…<br /><br />Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu, mana balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?! bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan bukankah Alloh ta’ala, telah berfirman:<br /><br />هل جزاء الإحسان إلا الإحسان<br /><br />Bukankah balasan kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!<br /><br />Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah buah dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku… Engkaulah laba dari semua usahaku…<br /><br />Dosa apakah yang telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!<br /><br />Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!<br /><br />Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!<br /><br />Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang terhina dari sekian banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?!<br /><br />Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?!<br /><br />Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi mengobati derita orang tua yang malang ini?!<br /><br />إن الله يحب المحسنين<br /><br />Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berbuat baik.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah laki-laki yang supel, dermawan dan berbudi.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang lemah, binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian kedukaan?!<br /><br />Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim.<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu menujunya… Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas budi yang baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang Alloh ta’ala sebagaimana di dalam hadits:<br /><br />الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه<br /><br />Orang tua adalah pintu surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)<br /><br />Anakku…<br /><br />Aku mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa… aku tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang keutamaan shof pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang keutamaan infak, dan bersedekah…<br /><br />Akan tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan… satu keutamaan besar yang telah engkau lalaikan… yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia mengatakan:<br /><br />سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟ قال: الصلاة على ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم أيُّ؟ قال: الجهاد في سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو استزدته لزادني. (متفق عليه)<br /><br />Aku bertanya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai Rosululloh, amal apa yang paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian jihad di jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.<br /><br />Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…<br /><br />Wahai anakku…<br /><br />Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak atau banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…<br /><br />Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga dan anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah berantah untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia salami satu persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia mengatakan: Ayah kalian, wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri yang ayah sendiri tidak tahu, ayah akan mencari emas… Rumah kita yang reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta ini, jagalah…<br /><br />Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana mengganti rumah reotnya.<br /><br />Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia gagal dalam usahanya. Pulanglah ia kembali ke kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun yang selama ini ia tinggal.<br /><br />Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya, matanya terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan besar, tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri orang, kiranya orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.<br /><br />Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…<br /><br />Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…<br /><br />Ibumu adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?! Dan bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!<br /><br />Anakku…<br /><br />Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam- di dalam haditsnya:<br /><br />رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)<br /><br />Celakalah seseorang, celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang bertanya: Siapakah dia wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang yang mendapati orang tuanya saat tua, salah satu darinya atau keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk surga. (HR. Muslim 2551)<br /><br />Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya, hidup bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga.<br /><br />Anakku…<br /><br />Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan duka ini kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya…<br /><br />Aku tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku… bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku…<br /><br />Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan menjadi tua pula.<br /><br />الجزاء من جنس العمل<br /><br />Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat kepadamu.<br /><br />الجزاء من جنس العمل<br /><br />Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.<br /><br />Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau menulis surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku telah menulisnya kepadamu.<br /><br />Wahai anakmu…<br /><br />bertakwalah kepada Alloh… takutlah engkau kepada Alloh… berbaktilah kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan kokohkan badannya yang telah lapuk…<br /><br />Anakku…<br /><br />setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.<br /><br />Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.<br /><br />Dari Ibumu yang merana.<br /><br />(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- dan akan disambung dengan jawaban si anak kepada sang ibu)<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFjzGF8-3_0uUOZprlos46FdiP0w8Z0lrgZLt4XGE7cIXzbY-9o2lZsT3H2onUSI5bh2FCAJ7kkM2u8fac_fgTEC2GlYvw6bazcIqrI49Ej_FZ2fGzKBFuMPO75KfNnDtgT4hkCbOEU/s1600/Bunga.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFjzGF8-3_0uUOZprlos46FdiP0w8Z0lrgZLt4XGE7cIXzbY-9o2lZsT3H2onUSI5bh2FCAJ7kkM2u8fac_fgTEC2GlYvw6bazcIqrI49Ej_FZ2fGzKBFuMPO75KfNnDtgT4hkCbOEU/s320/Bunga.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5457619281063618322" /></a>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06840940996049913842noreply@blogger.com0