Sabtu, 30 Januari 2010

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH MENETAPKAN SIFAT AL 'ULUW BAGI ALLAH AZZA WA JALLA

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Sifat al ‘Uluw merupakan salah satu dari sifat - sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dariNya. Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini sebagaimana sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al Qur'an dan As Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil - dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas seluruh makhlukNya.
Di antara dalil dari Al Qur’an As Sunnah tentang sifat al‘ Uluw adalah :

1. Firman Allah Azza wa Jalla "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba - tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk : 16]

2. Firman Allah Azza wa Jalla "Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An Nahl : 50]

3. Firman Allah Azza wa Jalla "Sucikanlah Nama Rabb mu Yang Mahatinggi.” [Al A’laa : 1]

4. Firman Allah Azza wa Jalla "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. KepadaNya lah naik perkataan - perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya. Dan orang - orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]

5. Pertanyaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita : "Dimana Allah ?” Ia menjawab : “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa aku ?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.” [1] Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini :
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim : “Di mana Allah ?”
Kedua, jawaban yang ditanya adalah : “Di (atas) langit” Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, berarti ia memungkiri al Mushthafa (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). [2]

6. Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj. Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata : [3] “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘ArsyNya, di antaranya ungkapan : "Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah ( langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).’ [4]
Kemudian naiknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabbnya, lalu didekatkan oleh Rabb kepadaNya dan difardhukan shalat atasnya.”

7. Jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dzul Khuwasyirah : "Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit ?” [5]

Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata : “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al Qur’an dan As Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaanNya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai- sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.” [6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama' ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy Syafi'i, PO BOX 7803 /JACC 13340 A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427 H/Juni 2006 M]
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/ 141-142), Abu Dawud (no. 930) , an Nasa'i (III/14-16), ad Darimi (I/ 353-354), Ibnul Jarud dalam al Muntaqaa’ ( no. 212), al Baihaqi (II/ 249-250) dan Ahmad (V/ 447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami Radhiyallahu ‘anhu
[2]. Lihat Mukhtasharul ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz Dzahabi, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
[3]. Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyyah, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[4]. HR. Al Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264) ) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah Radhiyallahu 'anhu. Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke-25 : Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.
[5]. HR. Al Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al Khudri.
[6]. Diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath Thahaawiyyah ( hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at Turki, lihat juga kitab Manhajul Imam asy Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/347).

0 komentar:

Posting Komentar