Jumat, 26 Februari 2010

Solusi Bagi Wanita Yang Tertindas Suami

Oleh
Redaksi Majalah As-Sunnah



Pada hakikatnya, Islam tidak melepaskan kehidupan rumah tangga berjalan begitu saja tanpa arah petunjuk. Sehingga hawa nafsu menjadi penentu yang berkuasa. Tidak demikian adanya. Islam telah menggariskan hak, kewajiban, tugas dan tanggung-jawab antara suami dan istri sesuai dengan kodrat, kemampuan, mempertimbangkan tabiat dan aspek psikis. Hal tersebut ditetapkan di atas landasan yang adil lagi bijaksana. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Baqarah/2:228].

Jika pasangan suami istri mengerti dan memahami kewajiban masing-masing, niscaya biduk suatu rumah tangga kaum muslimin akan berjalan normal, semarak oleh suasana mawaddah dan rahmat. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya. Begitu pula, istri juga menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan ini, rumah tangga akan menuai kebahagiaan dan ketentraman. Rumah tangga benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [ar-Rûm/30:21].

Akan tetapi, kondisi ideal ini, terkadang terganggu oleh riak-riak yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat mawaddah dan rahmat antara suami-istri. Suami berbalik membenci istrinya. Pada sebagian suami, tidak mampu bersabar sehingga tangan kuatnya diayunkan ke tubuh istri, dan menyebabkan istri mengerang kesakitan. Bekas-bekas penganiayaan pun terlihat jelas. Istrinya merasa tidak aman dan nyaman hidup dengan lelaki itu. Situasi kian memanas. Akibat emosi tak terkendali, kadang timbul aksi yang tidak diharapkan, semisal penganiayaan hingga pembunuhan, baik dari suami maupun istri. Nas`alullah as-salaamah.

Syaikh 'Abdur-Rahmaan as-Sudais menyampaikan fakta: "Ada sejumlah lelaki (suami) yang tidak dikenal kecuali hanya dengan bahasa perintah dan larangan, hardikan, sifat arogan, buruk pergaulan, tidak ringan tangan, susah bertoleransi, emosional dan sangat reaktif. Jika berbicara, perkataannya menunjukkan dirinya bukan orang yang beradab. Dan bila berbuat, perilakunya mencerminkan kecerobohan. Di dalam rumah, suka menghitung-hitung kebaikannya di hadapan istri. Bila keluar rumah, prasangka buruk kepada istri menggelayuti pikirannya. Bukan pribadi yang lembut dan tidak sayang. Istrinya hidup dalam kesulitan, bergulat dengan kesengsaraan dan terpaksa mengalami prahara"[1]

MENDATANGKAN DUA PENENGAH DARI MASING-MASING PIHAK
Dalam konteks ini, bila persoalan semakin meruncing, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan untuk menghadirkan dua penengah dari keluarga suami dan istri.

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [an-Nisaa`/4:35][2].

Tugas mereka berdua, mengerahkan segala upaya untuk mengetahui akar permasalahan yang menjadi sebba perseteruan antara suami istri dan menyingkirkannya, serta memperbaiki hubungan suami-istri yang sedang dilanda masalah. Dua penengah ini (hakamain) disyaratkan orang muslim, adil, dikenal istiqamah, keshalihan pribadi dan kematangan berpikir, dan bersepakat atas satu keputusan. Keputusan mereka berkisar pada perbaikan hubungan dan pemisahan antara mereka berdua. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keputusan dua penengah ini mempunyai kekuatan untuk mempertahankan hubungan atau memisahkan mereka.

TALAK BISA "MENJEMBATANI" KEBUNTUAN ANTARA SUAMI-ISTRI
Pada asalnya, talak bukanlah jalan keluar yang dianjurkan untuk menyelesaikan keretakan hubungan antara suami-istri, jika tidak ada faktor penting dan mendesak yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika istri memperlihatkan tanda-tanda kebencian kepada suami, karena istri sering mengalami penindasan, misalnya secara fisik berupa pukulan yang menciderai, siksaan yang berat, kewajiban nafkah tak dipenuhi, terus-menerus dicaci, mendapatkan tuduhan yang bermacam-macam umpamanya, sehingga kehidupan rumah tangga tidak mendukung menjadi keluarga harmonis, maka dalam kondisi ini, talak bisa menjadi jalan keluar bagi mereka berdua.

Konsepsi kehidupan rumah tangga dalam Islam sendiri bersendikan "pergaulan yang baik, atau dilepaskan dengan cara baik pula". Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik" [al-Baqarah/2:229].

Kalau suami ingin tetap hidup bersama istri, kewajibannya ialah mempergauli istrinya dengan sebaik-baiknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut". [an-Nisâ/4: 19]

Tindakan aniaya terhadap orang lain terlarang. Demikian juga perbuatan-perbuatan yang merugikan dan membahayakan orang lain. Apalagi kepada orang yang menjadi pendamping hidup dan bersifat lemah. Orang terbaik ialah orang yang berlaku baik kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang bersikap baik kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku" [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].

Kedekatan antara suami dan istri sangat kuat. Dari seringnya interaksi antara keduanya, masing-masing dapat mudah terpengaruh oleh kondisi pasangannya. Pengaruh baik akan berdampak positif bagi pasangan. Begitu pula, keadaan-keadaan yang buruk pun akan mudah berpengaruh pada pasangannya.
Tatkala kesepahaman tidak bisa dipadukan, dan seluruh terapi tidak memberi pengaruh positif bagi perubahan ke arah yang baik, maka kehidupan berumah tangga dengan pasangan bisa menjadi beban berat untuk dipikul. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana" [an-Nisaa/4:130]

BILA SUAMI TIDAK INGIN MENCERAIKAN
Bila kehidupan rumah tangga sudah menjadi beban berat bagi istri sehingga dikhawatirkan tidak mampu lagi menjadi pendamping suami, baik karena perilaku maupun tindak kekerasan yang dilakukan suami atau lainnya, maka dalam keadaan seperti ini, Islam membolehkan wanita mengajukan gugatan cerai kepada suami dengan memberikan ganti rugi harta. Dalam syari’at Islam, gugatan cerai istri atas suaminya ini dinamakan al-khulu’.[3]

Al-Hishnî rahimahullah menjelaskan jenis ketiga dari keringanan dalam pernikahan dengan menyatakan: Di antaranya, ialah kemudahan pensyariatan talak (cerai) karena beban berat tinggal berumah tangga, dan demikian juga al-khulu’. Juga semua yang disyari’atkan hak pilih faskh (menggagalkan akad) karena kesabaran wanita atas keadaan tersebut merupakan beban berat (al-masyaqqah), karena syari’at tidak memberikan hak cerai kepada wanita.[4]

Sedangkan Ibnu Qudamah rahimahullah, ketika menjelaskan hikmah disyari’atkannya al-khulu’, ia menyatakan: "Al-khulu’ (disyari’atkan) untuk menghilangkan dharar (kerugian) yang menimpa wanita karena jeleknya pergaulan dan tinggal bersama orang yang tidak ia sukai dan benci".[5]

Lebih jelas lagi, yaitu pernyataan Ibnul-Qayyim, bahwasanya Allah mensyari’atkan al-khulu’ untuk menghilangkan mafsadat yang berat, menimpa pasangan suami istri dan membebaskan satu dari pasangannya [6]. Apabila suami menyetujuinya, maka rusaklah akad pernikahan keduanya (faskh) dan sang wanita menunggu sekali haidh agar dapat menerima pinangan orang lain.

Namun, apabila suami tidak menerima al-khulu’ (gugatan cerai) istrinya tersebut, maka sang istri dapat mengajukan gugatan cerai kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk pemerintah menangani permasalahan tersebut agar mendapatkan keridhaan suami untuk menerima gugatan cerai tersebut. Sebab, terjadinya al-khulu’, tetap dengan keridhaan suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama bahwasanya al-khulu’ tidak sah kecuali dengan keridhaan suami.[7]

Oleh karena itu, Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Maka wanita diperbolehkan mengajukan gugatan cerai (al-khulu’) dari suami dan menceraikannya bila suami meridhainya".[8]

Demikian, cukup jelas solusi yang diberikan Islam dalam menangani masalah KDRT. Keuntungan dunia dan akhirat akan bisa digapai bila menaatinya. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta'ala membukakan hati kita untuk menerapkan seluruh syari'at-Nya dalam semua aspek kehidupan kita sehari-hari. Wallahu a'lam.

Maraji`:
1. Dhamanâtu Huqûqi al-Mar`ati az-Zaujiyyah, Dr. Muhammad Ya`qub Muhammad ad-Dahlawi, Penerbit Jâmi'ah Islâmiyyah Madînah, Cetakan I, Tahun 1424 H.
2. Kaukabatul- Khutabil-Munîfati min Mimbaril-Ka'batil-Musyarrafah, kumpulan khutbah Dr. 'Abdur-Rahmân as-Sudais, halaman 427-478. Lihat makalah berjudul Abghadhul Halâl, an-Nidâ`ul Hâni ila an-Nishfits-Tsâni, az-Zawâju Hashânatun wab Tihâj, Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât.
3. Shahîh Fiqhis Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Salim, Penerbit Maktabah at-Tauqifiyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Washâya wa Taujiihâtun ilâ al-Azwâj waz-Zaujât
[2]. Adh-Dhamânât, 156-160.
[3]. Lihat artikei almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0
[4]. Dinukil dari kitab Dhamânât Huqûq al-Mar`ah al-Zaujiyyah, Muhammad Ya’qub ad-Dahlawi, hlm. 149.
[5]. Al-Mughni, 10/269. Dinukil dari Dhamânât, hlm. 149.
[6]. I’lâm al-Muwaqqi’în, 4/110.
[7]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, 3/357.
[8]. Al-Muhalla, 1/235.

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/2620/slash/0

Khulu' Cerai Ataukah Faskh?

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi




Syariat Islam menjadikan Al-Khulu’ (gugatan cerai) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga jika konflik itu tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimana status Al-Khulu’ bila telah ditetapkan? Cerai ataukah faskh (pembatalan akad nikah).

Dalam masalah ini, para ulama berselisih pendapat dalam tiga pandangan.

Pendapat Pertama : Al-Khulu adalah thalak bain, dan ini merupakan pendapat madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i dalam qaul jadid.

Pendapat Kedua : Menyatakan, Al-Khulu adalah thalak raj’i, dan inilah pendapat Ibnu Hazm.

Pendapat ketiga : Menyatakan, Al-Khulu adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Dawud Azh-Zhahiri[1]. Begitu pula zhahir madzhab Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ahli fiqih yang muhadits (Fuqaha Al-Hadits).

Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan : “Masalah ini, terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zhahir madzhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan (Al-Khulu) adalah faskh nikah dan bukan thalak yang tiga. Seandainya suami melakukan khulu’ sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan yang lainnya. Ini merupakan salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan mayoritas fuqaha ahli hadits, seperti Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Dawud, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat beliau seperti Thaawus dan Ikrimah. [2]

Pendapat yang rajih (kuat) ialah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut.

1). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui” [Al-Baqarah : 229-230]

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan Thalak dua kali, kemudian menyebutkan Al-Khulu’ dan diakhiri dengan firman-Nya.

“Fain thollaqahaa falaa tahillu lahu = Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya…’

Seandainya Al-Khulu adalah thalak, maka jumlah thalaknya menjadi empat, dan thalak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat. [3]

Demikian yang dipahami Ibnu Abbas dari ayat di atas. Beliau pernah ditanya tentang seseorang yang menthalak isterinya dua kali kemudian sang isteri melakukan gugatan cerai (Al-Khulu), apakah ia boleh menikahinya lagi?

Beliau menjawab :”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan thalak di awal ayat dan di akhirnya, dan Al-Khulu di antara keduanya. Sehingga Al-Khulu bukan thalak. (Oleh karena itu) ia boleh menikahinya”. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf (6/487), dan Sa’id bin Manshur (1455) dengan sanad shahih.[4]

2). Hadits Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz Radhiyallahu anhuma yang berbunyi.
“Beliau melakukan Al-Khulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, atau ia diperintahkan untuk menunggu satu kali haidh” [HR At-Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/275]

Seandainya Al-Khulu adalah thalak, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu satu haidh.

3). Pernyataan Ibnu Abbas.
“Semua yang dihalalkan oleh harta, maka ia bukan thalak” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf, no. 11767] [5]

4). Hal ini sesuai tuntutan kaidah syari’at. Karena iddah (masa menunggu wanita yang dithalak) dijadikan tiga kali haidh agar panjang masa tenggang untuk rujuk. Lalu memungkinkan bagi suami secara perlahan-lahan untuk berpikir dan memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila tidak ada pada Al-Khulu bolehnya rujuk, maka maksudnya ialah sekedar untuk memastikan rahim tidak hamil, dan itu cukup dengan sekali haidh saja, seperti Al-Istibra. [6]

5). Asy-Syaukani membawakan keterangan Ibnul Qayyim yang menyatakan, bahwa yang menunjukkan Al-Khulu itu bukan thalak yang tidak ada menetapkan tiga hukum setelah thalak yang tidak ada dalam Al-Khulu. Ketiga hukum yang dimaksud ialah :
a). Suami lebih berhak diterima rujuknya
b). Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga menikah dengan suami baru dan berhubungan suami isteri dengannya.
c). Iddahnya tiga quru’ (haidh).

Padahal telah ditetapkan dengan nash dan ijma, bahwa tidak ada rujuk dalam Al-Khulu [7].

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah [8], Ibnul Qayyim [9], Asy-Syaukani [10], Syaikh Muhammad bin Ibrahim [11], dan Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di [12], serta Syaikh Al-Albani [13].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya Al-Khulu merupakan faskh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafazh apa saja adalah shahih. Sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (Al-Khulu) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya” [14]

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan : “Yang shahih, bahwasanya Al-Khulu tidak terhitung sebagai thalak, walaupun dengan lafazh thalak dan dengan niat thalak, dan itu umum ; baik dengan lafazh thalak secara khusus maupun dengan lafazh lainnya, dan juga karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafazh dan susunan katanya” [15]

Sedangkan Syaikh Al-Albani menyatakan : “Yang benar adalah fasakh sebagaimana telah dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa” [16]

HASIL DAN KONSEKWENSI AL-KHULU
Masalah Al-Khulu adalah faskh dan bukan thalak, sehingga akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekwensinya. Di antaranya.

[1]. Tidak dianggap dalam hitungan thalak yang tiga. Sehingga , seandainya seorang meng-khulu’ setelah melakukan dua kali thalak, maka ia masih diperbolehkan menikahi isterinya tersebut, walaupun Al-Khulu terjadi lebih dari satu kali. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas.

[2]. Iddah, atau masa menunggunya hanya sekali haidh, dengan dasar hadits Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz sebagaimana telah disampaikan di atas. Dikuatkan dengan hadits Ibnu Abbas yang berbunyi.

“Sesungguhnya isteri Tsabit dan Qais meminta pisah (Al-Khulu) darinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan iddahnya sekali haidh” [HR Abu Dawud, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam shahih Abu Dawud, no. 2229]

Inilah pendapat Utsman bin Affan, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ishaq, Ibnul Mundzir dan riwayat dari Ahmad bin Hanbal. Inilah yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [17]

[3]. Al-Khulu diperbolehkan setiap waktu, walaupun dalam keadaan haidh atau suci yang telah digauli, karena Al-Khulu disyariatkan untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa wanita, karena faktor tidak baiknya pergaulan sang suami, atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan Al-Khulu

Demikian, beberapa hukum berkenaan dengan Al-Khulu sebagai pelengkap pembasahan sebelumnya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji.
[1]. Al-Adillah Ar-Radhiyah Li Matni Ad-Durar Al-Bahiyyah Fi Masail Al-Fiqhiyyah, Muhammad Asy-Syaukani. Ditulis oleh Muhammad Shubhi Hallaf. Dar Al-Fikr, Beirut, Cetakan Tahun 1423H
[2]. Al-Mukharat Al-Jaliyah min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Mu’allafat Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di Markaz Shalih bin Shalih Ats-Tsaqafi, Unaizah, KSA, Cetakan Kedua, Tahun 1412H.
[3]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudah An-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Tahqiq Ali Hasan Al-Halabi, Dar Ibnu Affan, Mesir, Cetakan Pertama, Tahun 1420H
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Al-Maktabah At-Tauqifiyah, Mesir tanpa cetakan dan tahun
[6]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H
[7]. Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, Ibnul Qayyim, Tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Taudhihul Ahkam min Bulughul Maram, 3/344-345
[2]. Majmu Fatawa, 23/289
[3]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudah An-Nadiyah Shidiq Hasan Khan (2/275), Taudhihul Ahkam (5/473), dan Shahih Fiqih Sunnah (3/3345).
[4]. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah 3/346
[5]. Ibid
[6]. Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, 5/179
[7]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/263
[8]. Majmu Al-Fatawa, 23/289
[9]. Zadul Ma’ad, 5/179
[10]. Al-Adillah Ar-Radhiyyah Li Matni Ad-Durar Al-Bahiyyah Fi Masa’il Al-Fiqhiyah, hal. 129
[11]. Taudhihul Ahkam, 5/473
[12]. Al-Mukharat Al-Jaliyyah Min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, 2/173
[13]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/273
[14]. Majmu Al-Fatawa, 23/290
[15]. Al-Mukharat Al-Jaliyyah Min Al-Masa’il Al-Fiqhiyyah, 2/173
[16]. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘Ala Ar-Raudhah An-Nadiyah, 2/273
[17]. Shahih Fiqih Sunnah (3/360).

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/2381/slash/0

Tata Cara Sujud Sahwi

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Sujud sahwi adalah suatu istilah untuk dua sujud yang dikerjakan oleh orang yang shalat, fungsinya untuk menambah celah-celah yang kurang dalam shalatnya karena lupa.

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang harus mengerjakan sujud sahwi ada tiga macam : penambahan, pengurangan dan ragu-ragu

1. Penambahan
Apabila seorang yang shalat menambah shalatnya, baik menambah berdiri, duduk, rukuk atau sujud secara sengaja, maka shalatnya batal (tidak sah). Jika dia melakukannya karena lupa dan dia tidak ingat bahwa dia telah menambah shalatnya hingga selesai shalat, maka dia tidak terkena beban apa pun kecuali hanya mengerjakan sujud sahwi, sedangkan shalatnya tetap sah. Tetapi jika dia telah menyadari adanya tambahan tersebut di saat dia masih mengerjakan shalat, maka dia wajib kembali kepada posisi yang benar, lalu mengerjakan sujud sahwi, dan shalatnya tetap sah.

Sebagai contoh
Ada seseorang telah mengerjakan shalat dzuhur 5 (lima) rakaat, tetapi dia baru mengingatnya kembali setelah posisi tasyahud (akhir), maka dia harus menyempurnakan tasyahudnya (terlebih dahulu), lalu salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.

Jika dia baru mengingatnya kembali setelah salam, maka dia harus segera mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia mengingatnya di saat masih mengerjakan rakaat yang ke lima, maka dia harus segera duduk pada saat itu juga, lalu bertasyahud dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Dalilnya ada hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu [1]

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dzuhur 5 (lima) rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah shalat sengaja ditambah? Beliau menjawab : “Memangnya apa yang terjadi?” Kemudian mereka (para sahabat) menjawab: “Anda telah mengerjakan shalat (dzuhur) lima rakaat. “Maka beliau langsung sujud dua kali kemudian salam”

Dalam riwayat lain disebutkan : “Maka beliau langsung melipat kedua kakinya dan menghadap kiblat, kemudian sujud dua kali dan salam” [HR Al-Jama’ah] [2]

Salam Sebelum Sempurna Shalat
Salam sebelum sempurna (selesai) shalat, juga termasuk penambahan dalam shalat [3]. Oleh karena itu, apabila seorang yang shalat dengan sengaja salam sebelum selesai shalat, maka shalatnya batal.

Jika dia mengerjakannya karena lupa dan dia baru mengingatnya kembali setelah rentang waktu yang lama, maka dia harus mengulangi shalatnya.

Tetapi jika dia telah mengingatnya kembali hanya dalam rentang waktu beberapa saat saja, seperti dua atau tiga menit, maka dia hanya perlu menyempurnakan shalatnya saja dan salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur atau ashar bersama para sahabatnya. Tetapi baru dua rakaat, beliau telah salam. Maka orang-orangpun bergegas keluar dari pintu-pintu masjid seraya mengatakan : “Shalat telah diqashar (diringkas)”. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan berjalan mendekati sebatang kayu yang berada di dalam masjid, lalu beliau menyandarkan diri kepadanya seakan-akan beliau sedang marah. (Melihat hal itu), maka ada seorang laki-laki lalu berdiri seraya mengatakan : Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa atau memang sengaja mengqashar shalat? Beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan tidak pula berniat mengqasharnya”. Laki-laki tadi menegaskan : “Benar, sungguh Anda telah lupa”. Kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya yang lain: “Benarkah apa yang dikatakannya?” Mereka menjawab :benar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian maju ke depan, lalu beliau menyempurnakan rakaat shalat yang belum dikerjakannya kemudian salam. Selanjutnya beliau sujud dua kali kemudian salam lagi” [Mutafaqun Alaihi] [4]

Apabila seorang imam telah salam sebelum sempurna shalatnya, sedangkan di antara para makmum ada orang-orang yang masbuk (belum mengerjakan beberara raka’at shalatnya), maka mereka harus bangkit untuk menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi. Namun bila kemudian imam tersebut ingat kembali bahwa shalatnya kurang lengkap, lalu dia bangkit untuk menyempurnakan shalatnya, dalam kondisi seperti ini, maka bagi para makmum yang telah menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi diberikan dua pilihan. Dia boleh berasumsi bahwa mereka telah menyempurnakan shalatnya, lalu hanya mengerjakan sujud sahwi atau mereka kembali bersama imam dan mengikutinya lagi. (Jika pilihan kedua ini yang mereka pilih), maka bila imam telah salam lagi, mereka harus kembali lagi menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi, kemudian setelah salam baru mengerjakan sujud sahwi. Hal ini lebih utama dan lebih berhati-hati

2. Pengurangan
Pengurangan dalam mengerjakan shalat ada beberapa macam, di antaranya adalah sebagai berikut:

A. Kekurangan Rukun-Rukun Dalam Shalat
Apabila seorang yang shalat mengurangi (tidak mengerjakan) salah satu rukun shalat, jika yang kurang tadi adalah takbiratul ihram, maka tidak ada shalat baginya, baik ketika dia meninggalkannya karena sengaja maupun karena lupa, sebab shalatnya belum dianggap dimulai.

Jika yang kurang tadi bukan takbiratul ihram, dia sengaja meninggalkannya, maka shalatnya batal.

Tetapi jika dia meninggalkannya karena lupa, bila dia telah sampai pada rakaat kedua maka dia harus membiarkan rukun shalat yang tertinggal tadi dan mengerjakan rakaat berikutnya sebagaimana posisinya. Tetapi jika dia belum sampai pada rakaat kedua, maka dia wajib mengulangi kembali rukun shalat yang tertinggal tadi, kemudian menyempurnakannya dan rukun-rukun setelahnya. Dalam kedua kondisi ini, maka dia wajib mengerjakan sujud sahwi setelah salam.

Sebagai contoh.
Misalnya seorang lupa tidakl mengerjakan sujud kedua pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya pada saat dia sedang duduk di antara dua sujud pada rakaat kedua, maka dia harus membiarkan rakaat pertama yang telah dikerjakannya tadi lalu melanjutkan rakaat kedua sebagaimana mestinya. Sedangkan rakaat yang telah dia kerjakan tadi, telah dianggap sebagai rakaat pertama dan dia tinggal menyempurnakan shalatnya. Setelah itu salam, dilanjutkan sujud sahwi dan salam lagi.

Kasus lain.
Misalnya seseorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua dan duduk sebelum sujud pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dari rukuk (I’tidal) pada rakaat kedua, maka dia harus kembali duduk dan sujud, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

B. Adanya Kekurangan Dalam Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Shalat
Apabila seorang yang shalat dengan sengaja tidak mengerjakan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka shalatnya batal.

Jika dia mengerjakannya karena kelupaan, kemudian dia baru mengingatnya kembali sebelum mengerjakan kewajiban kewajiban shalat yang lainnya, maka dia harus menyempurnakan kewajiban yang kelupaan tadi dan dia tidak terkena beban apapun.

Jika dia baru mengingatnya kembali setelah tidak pada posisinya tetapi belum sampai pada rukun shalat berikutnya, maka dia harus kembali dan mengerjakan kewajiban shalat yang terlupakan tadi, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Setelah itu hendaknya dia bersujud sahwi dan salam lagi.

Tetapi jika dia baru mengingatnya setelah sampai pada rukun shalat berikutnya, maka gugurlah dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan rakaat yang terlupakan tadi, kemudian dia diharuskan melanjutkan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.

Sebagai contoh
Misalnya seseorang langsung bangkit dari sujud kedua pada rakaat kedua untuk mengerjakan rakaat ketiga karena lupa (tidak ingat) tasyahud awal, tetapi kemudian dia mengingatnya sebelum berdiri, maka dia harus tetap duduk dan mengerjakan tasyahud awal, kemudian menyempurnakan shalatnya dan dia tidak terkena beban apapun.

Jika dia baru mengingatnya kembali setelah bangkit, tetapi belum sampai berdiri dengan sempurna, maka dia harus kembali, lalu duduk dan mengerjakan tasyahud, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dengan sempurna, maka gugurlah kewajiban baginya untuk mengerjakan tasyahud yang terlupakan tadi dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan tasyahud tersebut. Selanjutnya dia hanya tinggal menyempurnakan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-lainnya [5] dari Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu a’nhu.

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur bersama para sahabat,kemudian beliau langsung berdiri pada rakaat kedua yang pertama dan beliau tidak duduk (yakni tasyahud awal), maka orang-orang pun juga ikut berdiri bersama beliau hingga shalat usai. Kemudian semua orang menunggu-nunggu beliau salam, tetapi beliau bertakbir lagi padahal beliau sedang duduk, kemudian beliau bersujud dua kali sebelum salam, kemudia setelah itu baru beliau salam”

3. Ragu-Ragu
Asy-Syak adalah keraguan antara dua perkara, mana diantara keduanya yang benar.

Ragu-ragu yang tidak perlu dihiraukan dalam semua ibadah adalah dalam tiga kondisi.

1. Apabila keraguan itu hanya berupa angan-angan belaka yang tidak nyata, seperti perasaan was-was.
2. Apabila seseorang sering sekali dihinggapi perasaan ragu-ragu, sehingga setiap kali dia ingin melaksanakan suatu ibadah pasti akan ragu-ragu.
3. Apabila keragu-raguan itu muncul setelah melaksanakan suatu ibadah. Maka dia tidak perlu menghiraukan perasaan ragu-ragu tersebut selama perkaranya belum jelas dan dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya.

Sebagai contoh
Misalnya seseorang telah mengerjakan shalat zhuhur. Tetapi setelah selesai mengerjakan shalat dia merasa ragu-ragu, apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat. Maka dia tidak perlu menggubris perasaan ragu-ragu ini kecuali bila dia telah merasa yakin bahwa dia memang shalat tiga rakaat. Apabila dia tahu bahwa shalatnya tiga rakaat, maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika rentang waktu (dengan shalatnya tadi) masih berdekatan, lalu salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah terpaut waktu yang lama, maka dia harus mengulangi kembali shalatnya.

Sedangkan merasa ragu selain dalam tiga kondisi tersebut, maka perlu dipertimbangkan (diperhatikan).

Ragu-ragu dalam shalat tidak akan terlepas dari dua kondisi dibawah ini.
1. Dia bisa menentukan salah satu yang lebih rajih (kuat/benar) di antara dua perkara, maka dia harus mengerjakan apa yang menurutnya lebih rajih tersebut, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Sebagai contoh
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat zhuhur, kemudian dia merasa ragu-ragu dalam salah satu rakaatnya, apakah ia berada di rakaat kedua atau ketiga. Jika perkiraannya lebih condong bahwa itu rakaat ketiga, maka dia harus menganggapnya sebagai rakaat ketiga dan setelah itu dia tinggal menambah satu rakaat lagi dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang disebutkan dalam Ash-Shahahain dan yang lain, dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakan dengan pilihannya tadi dan salam, kemudian sujud dua kali” [Ini adalah lafazh Al-Bukhari] [6]

2. Dia tidak bisa menentukan salah satu yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut, maka minimal dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya. Kemudian menyempurnakan shalatnya sesuai dengan yang diyakininya tadi, lalu sebelum salam sujud sahwi, kemudian baru salam.

Sebagai contoh.
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat Ashar, kemudian dia merasa ragu dalam salah satu rakaat, apakah itu rakaat kedua atau ketiga dan dia tidak memiliki perkiraan yang paling mungkin, rakaat kedua atau ketiga. Maka dia harus menganggapnya sebagai rakaat kedua, kemudian mengerjakan tasyahud awal, dan setelah itu dia tinggal mengerjakan dua rakaat lagi, kemudian sujud sahwi dan salam.

Dalilnya adalah sebuah hadits yangb diriwayatkan oleh Muslim [7] dari Abu Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa rakaat dia shalat, tiga atau empat rakaat, maka hendaknya dia membuang keraguan tersebut dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia ternyata shalat lima rakaat, maka shalatnya tersebut akan menjadi syafaat baginya, sedangkan jika ternyata dia shalat tepat empat rakaat, maka kedua sujudnya bisa membuat marah syetan”.

Sebagai contoh.
Apabila seseorang datang, sedangkan imam baru mengerjakan rukuk, maka dia harus segera mengerjakan takbiratul ihram dan bediri dengan sempurna, kemudian baru rukuk. Pad saat seperti itu, maka dia tidak akan terlepas dari tiga kondisi.

1. Dia benar-benar merasa yakin bahwa dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sebelum imam tersebut bangkit dari rukuknya, sehingga dia dikategorikan telah mendapat satu rakaat dan gugur kewajiban membaca surat al-fatihah.
2. Dia benar-benar merasa yakin bahwa imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia mendapatkannya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan rakaat tersebut
3. Dia merasa ragu-ragu, apakah dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sehingga dia dikategorikan telah mendapatkan satu rakaat atau imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia menjumpainya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan satu rakaat. Jika dia bisa menentukan mana yang lebih rajih antara dua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang menurutnya lebih rajah tadi, lalu menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Kecuali jika dia tidak meninggalkan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka dia tidak perlu mengerjakan sujud sahwi.

Jika dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajah antara kedua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya (yakni dia tidak mendapatkan rakaat tersebut), lalu dia harus menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi sebelum salam, kemudian baru salam.

Faedah
Apabila seseorang merasa ragu-argu dalam shalatnya, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya atau yang menurutnya lebih rajih sebagaimana yang telah dijelaskan secara mendetail di atas. Namun bila akhirnya dia yakin bahwa apa yang dikerjakannya itu ternyata sesuai dengan kenyataan, tidak menambah ataupun mengurangi, maka menurut pendapat madzhab yang popular dia telah gugur kewajiban (tidak perlu lagi) mengerjakan sujud sahwi karena factor yang mengharuskan dia harus mengerjakan sujud sahwi yaitu keragu-raguan sudah tidak ada lagi.

Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa dia belum gugur mengerjakan sujud sahwi untuk membuat syetan marah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“.. Sedangkan jika ternyata shalatnya tepat empat rakaat, maka kedua sujud tersebut membuat marah syetan” [8]

Disamping itu, karena ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan dengan perasaan ragu-ragu. Inilah pendapat yang lebih rajih (kuat).

Sebagai contoh.
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat, kemudian timbullah keraguan dalam salah satu rakaatnya, apakah ia dalam rakaat kedua atau ketiga? Karena dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajih antara kedua perkara tersebut, maka dia menganggapnya sebagai rakaat yang kedua, lalu dia menyempurnakan shalatnya. Namun akhirnya jelaslah baginya bahwa itu memang benar-benar rakaat kedua, maka menurut pendapat madzhab yang popular, dia tidak wajib sujud sahwi, sedangkan menurut pendapat kedua yang menurut kami lebih rajih hendaknya dia mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.

[Disalin dari buku Tata Cara Sujud Sahwi, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Mutsanna Abdul Qohhar, Penerbit Pustaka At-Tibyan. Jl. Kyai Mojo 58, Solo, 57117]
________
Footnote
[1]. HR Mutafaqun Alaih. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam (kitab) As-Shalah, bab : maa ja’a fie al-qiblah, (404) yang redaksionalnya sangat pendek, dan pada hadits (401) redaksionalnya sangat panjang, dalam (kitab) As-Sahwi (1227) dan juga dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam kitab Al-Masajid, bab : As-Sahwi fie Ash-Shalah (91) dan (572).
[2]. Para perawi al-Jama’ah lainnya : Abu Dawud meriwayatkannya dalam (kitab) Ash-Shalah, bab : Idza shalla khamsan, (2019) dan (1020), At-Tirmidzi meriwayatkannya dalam bab : maa ja’a fie sajdatai as-sahwi ba’da as-salam wa al-kalam (392). An-Nasaa-i meriwayatkannya dalam ; As-Sahwi, bab : At-Taharry (III/33), (1242) dan 1243), dan Ibnu Majah dalam Iqamah ash-Shalah, bab : ma ja’a fiiman syakka fie shalatihi (1211).
[3]. Hal ini juga dikategorikan menambah dalam shalat karena ia telah menambah salam pada saat dia masih mengerjakan shalat.
[4]. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam : Ash-Shalah, bab : Tasybik al-Ashabi’ fie al-Masjid wa Ghairihi, (482) redaksionalnya sangat pendek, (714) dan (715) dalam : As-Sahwi (1226) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalat (97) dan (573).
[5]. HR Al-Bukhari : Al-Adzan bab : man lam yara at-Tasyahud wajiban..(829), dalam : As-Sahwi (1223,1225) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fii ash-Shalah (85) dan (570)
[6]. HR Al-Bukhari dalam : Ash-Shalah, bab : At-Tawajjuh Nahwa Al-Qiblah (401) dan Muslim dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalah (89) dan (572)
[7]. HR Muslim dalam :Al-Masajid, bab As-Sahwu fie ash-Shalah, (88) dan (571).

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/2217/slash/0

Al-Khulu', Gugatan Cerai Dalam Islam

AL-KHULU’, GUGATAN CERAI DALAM ISLAM


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi



Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

PENGERTIAN GUGATAN CERAI
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” [2]

HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. [8]

KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.

[1]. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [11]

[2]. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]

b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]

[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

[4]. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]

Wallahu a’lam

Maraji’.
[1]. Fathul Bari
[2]. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
[3]. Majmu Fatawa
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqhis Sunnah
[6] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton, Gondangrejo - Solo 57183. Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[3]. Al-Mughni, 7/51
[4]. Majmu Al-Fatawa, 32/282
[5]. Fathul Bari, 9/315
[6]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[8]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[9]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.
[10]. Fathul Bari, 9/318
[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0

Lupa Ilmu Yang Telah Dipelajari Dan Keluarnya Wanita Untuk Menuntut Ilmu

Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh




Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya : Saya telah menuntut ilmu beberapa tahun, tetapi ilmu yang saya pelajari tidak dapat kokoh menetap (dalam hati) dan saya tidak merasakan faedahnya ?! Nasehatilah kami!

Jawaban
Jangan mengatakan saya tidak dapat faedahnya, karena seorang penuntut ilmu itu berada dalam suatu ibadah, dan tujuan menuntut ilmu itu adalah ridho Allah Jalla Jalaluhu atas hamba, dan kalian telah mengetahui (sebuah hadits) seorang lelaki yang datang dalam keadaan bertaubat dan malaikat maut datang untuk menjemput nyawanya. Maka malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih tentang keadaan orang tersebut. Malaikat rahmat berkata : “Ia datang dalam keadaan bertaubat menghadapkan hatinya kepada Allah Jalla Jalaluhu, sedangkan malaikat azab berkata : “Ia belum beramal sedikitpun. Lalu datanglah malaikat dalam bentuk manusia, malaikat rahmat dan malaikat azab menjadikannya sebagai hakim. Malaikat itu berkata : “Ukurlah di antara dua tempat (tempat yang dituju dan tempat yang ditinggalkan), jika dekat dengan salah satu dari dua tempat itu maka ia termasuk golongannya. Merekapun mengukur dan didapati bahwa orang yang bertaubat lebih dekat dengan tempat yang dituju, maka malaikat rahmatpun membawanya. Lelaki yang bertaubat ini diampuni, Karena perginya ia (ke tempat kebaikan) dinilai baik baginya.

Dengan demikian langkah penuntut ilmu adalah ibadah, sebagaimana langkah seorang yang behijrah untuk bertaubat ke negeri yang baik. Dan menuntut ilmu lebih baik bagimu dari melakukan shalah sunnah, atau ibadah-ibadah sunnah lainnya. Oleh sebab itu kita harus mempunyai niat yang baik, dan bukanlah tujuan menuntut ilmu agar anda menjadi seorang alim atau tetap sebagai penuntut ilmu. Akan tetapi tujuan engkau menuntut ilmu adalah menghilangkan kebodohan dari dirimu, dan agar beribadah kepada Allah Jalla Jalaluhu dengan ibadah yang benar, dan anda selamat dari syubhat, selamat dari cinta kemashuran.

Allah berfirman.

“Artinya “ Pada hari harta dan anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” [Asy-Syu’araa : 88-89]

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kami tidak menyia-nyiakan amal orang yang berbuat baik” [Al-Kahfi : 30]

Dan jika anda tidak dapat memberi manfaat kecuali hanya dirimu dan keluargamu, tentulah yang demikian itu terdapat kebaikan yang banyak.


KELUARNYA WANITA UNTUK MENDAPATKAN ILMU

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya : Apakah hukum keluarnya wanita untuk mendapatkan ilmu dari sekolah-sekolah atau untuk mengajar? Demikian juga perginya mereka ke tempat-tempat menghafal Al-Qur’an?

Jawaban
Pada dasarnya wanita itu saudara kaum lelaki dalam beban dan kewajiban syariat serta dalam perkara-perkara syariat yang dikehendaki dari mereka. Wanita itu seperti laki-laki dalam kewajiban-kewajiban agama kecuali pada hukum yang dikhususkan untuk wanita dan penuntut ilmu. Wanitapun diarahkan untuk menuntut ilmu dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menuntut ilmu, akan tetapi dengan syarat-syarat yang sesuai dengan syariat diantaranya dengan seizin walinya, dan tidak ada padanya perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak melalaikan pekerjaan/tugas di rumah suaminya atau pada anak-anaknya dan lainnya. Jika terpenuhi syarat-syarat tersebut dan tidak ada penghalangnya, maka upaya seorang wanita dalam menuntut ilmu mempunyai fadhilah yang besar.

Pada saat ini kita membutuhkan para wanita untuk pendidikan dan dakwah. Karena banyaknya wanita-wanita pendatang, dan karena kebutuhan wanita pada bidang ini, mudah-mudahan Allah Jalla Jalaluhu memberi petunjuk kepada mereka. Oleh karena itu saya wasiatkan kepada para wanita agar menuntut ilmu, akan tetapi hendaknya menuntut ilmu yang batasannya nafilah (tambahan) bagi mereka, tidak didahulukan dari kewajiban yang harus mereka tunaikan.

Karena sebagian wanita, kadang-kadang menelantarkan suaminya, atau rumahnya, atau anak-anaknya dan lainnya. Maka akibatnya timbul perkara-perkara yang tidak terpuji. Oleh sebab itu hendaklah seorang wanita menimbang-nimbang dalam masalah ini dan mendapatkan maslahat hingga tertolaklah kerusakan, dan bagi wanita akan mendapat pahala sesuai dengan niatnya –insya Allah-.

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo’dah 1423/Januari 2003. Diterbitkan : Ma’had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya]

Di copi dari:http://www.almanhaj.or.id/content/897/slash/0

Wukuf Di Arafah, Waktu Datang Dan Meninggalkan Arafah

WUKUF DI ARAFAH, WAKTU DATANG DAN MENINGGALKAN ARAFAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan jama'ah haji berangkat menuju Arafah dan kapan meninggalkannya ?

Jawaban
Disyari'atkan datang ke Arafah setelah terbit matahari pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan melaksanakan shalat dzuhur dan ashar di qashar dan jama' taqdim dengan satu adzan dan dua iqamat karena meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan jama'ah haji berada di Arafah hingga terbenam matahari dengan memperbanyak dzikir, do'a, membaca al-Qur'an dan talbiyah. Juga disyariatkan memperbanyak membaca :

"Laa ilaha illallahu wah dahu laa syaikalahu, lahulmulku walahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syain qadiir, subhaanallahi walhamdullahi walaa ilaha ilallahu wala hawla wala quwwata illa billahi"

Juga disunnahkan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat ketika berdoa dengan memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada awal dan akhir do'a, karena Arafah semuanya adalah tempat wukuf. Lalu ketika matahari terbenam disyri'atkan meninggalkan Arafah untuk menuju Muzdalifah dengan suasana tenang disertai memperbanyak talbiyah. Dan jika telah sampai di Muzdalifah melaksanakan shalat maghrib dan isya dijama' dengan satu adzan dan dua iqamat, di mana shalat Maghrib tetap dilakukan tiga rakaat sedang shalat Isya dilaksanakan dua rakaat.

MENINGGALKAN 'ARAFAH SEBELUM MATAHARI TERBENAM

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang haji yang meninggalkan 'Arafah sebelum matahari terbenam karena kondisi pekerjaannya .?

Jawaban
Bagi orang yang meninggalkan 'Arafah sebelum matahari terbenam, maka menurut mayoritas ulama, dia wajib membayar kifarat, yaitu menyembelih kurban yang disembelih dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Tapi jika dia kembali lagi ke Arafah pada malam hari maka kifarat tersebut gugur darinya.

WUKUF DI LUAR 'ARAFAH

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika orang yang haji wukuf di luar batas 'Arafah, dekat darinya, hingga terbenam matahari kemudian meniggalkan 'Arafah. Bagaimana hukum hajinya ?

Jawaban
Jika orang haji tidak berada di 'Arafah pada waktu wukuf, maka tiada haji baginya. Sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Haji adalah wukuf di Arafah. Maka siapa yang mendapati 'Arafah pada malam hari sebelum terbit fajar, sesunggunya dia telah mendapat haji" [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Adapun waktu wukuf adalah setelah matahari condong ke barat pada hari Arafah sampai terbit fajar pada malam Idul Adha. Ini adalah yang disepakati semua ulama. Sedanghkan wukuf sebelum matahri condong ke barat maka terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Mayoritas ulama mengatakan wukuf Arafah dianggap tidak sah jika tidak dilakukan setelah matahri condong ke barat dan pada malam hari. Maka siapa yang wukuf pada siang hari setelah matahari condong ke barat atau pada malam hari maka telah cukup baginya. Namun yang utama adalah agar seseorang wukuf setelah shalat dzuhur dan shalat ashar dengan jama' taqdim sampai matahari terbenam, dan tidak boleh meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam bagi orang yang wukuf pada siang hari. Jika dia melakukan demikian, maka menurut mayoritas ulama, dia wajib menyembelih kurban karena meninggalkan kewajiban haji, yaitu wukuf di Arafah antara malam dan siang bagi orang yang wukuf siang hari.

TIDAK DAPAT WUKUF SIANG, BOLEH WUKUF PADA MALAM HARI

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang melaksanakan amal-amal haji, tapi pekerjaannya tidak memungkinkan dia wukuf di Arafah pada siang hari. Apakah dia boleh wukuf pada malam hari setelah manusia meninggalkan Arafah ? Berapa lama waktu wukuf yang cukup baginya ? Dan apakah jika dia lewat dengan mobilnya di Arafah maka demikian itu telah cukup baginya ?

Jawaban
Waktu wukuf di Arafah adalah dari terbit fajar hari kesembilan Dzulhijjah sampai terbit fajar malam Idul Adha. Jika seseorang tidak memungkinkan wukuf pada siang hari lalu dia wukuf pada malam hari setelah manusia meninggalkan Arafah demikian itu telah cukup baginya, hingga walaupun dia wukuf pada akhir malam mejelang subuh dan hanya beberapa menit. Demikian juga kalau seorang melewati Arafah di atas kendaraannya, maka sudah cukup baginya. Tapi yang utama adalah bila seorang hadir pada waktu manusia wukuf bersama-sama mereka dalam berdo'a pada sore hari 'Arafah dengan khusyu dan berharap sebagaimana mereka mengharapkan turunnya rahmat dan didapatkannya ampunan Allah. Tapi jika seseorang terlewatkan waktu siang, maka dia dapat wukuf pada malam hari. Adapun yang utama adalah bila seseorang bersegera wukuf kapan dia mampu melakukan dan singgah di Arafah walaupun sebentar saja seraya memanjatkan do'a kepada Allah dan merendahkan diri dalam meminta kepada-Nya, kemudian pergi bersama mereka ke Muzdalifah dan mabit di Muzdalifah sampai akhir malam sehingga hajinya sempurna.


[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, penyusun Muhammad bin Abadul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal. 181 - 186, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Di copy dari:http://www.almanhaj.or.id/content/1975/slash/0

Jumat, 19 Februari 2010

Inilah Sepak Terjang Neo Khawarij DI/TII (4): Antara Perundingan Renville dan Perjanjian Hudaibiyah

Diambil dari Blog Rumah Belajar Ibnu Waqqash http://waqqash.blogspot.com



Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (QS. Al Fath: 1).

Perundingan Renville pada tanggal 7 Desember 1947 (ditandatangani 17 Januari 1948) boleh dikatakan sebagai satu kerugian bagi Republik Indonesia. Karena berdasarkan perundingan tersebut praktis wilayah RI hanya tinggal Yogyakarta saja, setelah pada perundingan sebelumnya mencakup Sumatera, Jawa dan Madura. Berdasarkan perjanjian tersebut sekaligus sebagai dampak dari Agresi Militer Belanda ke-I, 21 Juli 1947, sebelumnya.

Pihak Belanda berkeinginan mempertahankan kekuasaannya atas daerah-daerah yang didudukinya pada Agresi ke-I, yang terdiri dari sebagian besar wilayah Sumatera (Medan, Palembang dan sekitarnya) dan Jawa (Jakarta, Jawa Barat, sebagian besar Jawa Tengah), serta menetapkan garis demarkasi yang kemudian dikenal dengan “Garis Van Mook”.

Perundingan Renville dan Kerugian bagi pihak RI.
Perundingan yang ditengahi oleh KTN (Komisi Tiga Negara) ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Dalam perundingan itu, pihak Republik Indonesia diwakili oleh Mr. Amir Sjarifuddin (Perdana Menteri) sementara pihak Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo (seorang kolonel KNIL).

Perundingan menghasilkan kesepakatan antaralain:

1. Pengakuan Belanda atas Wilayah RI untuk Yogyakarta.

2. Kewajiban bagi TNI dan segenap komponen untuk mundur dari daerah-daerah kantong untuk selanjutnya direlokasi ke Yogyakarta.

3. Pembentukan Uni Indonesia – Belanda, yang diketuai oleh Ratu Belanda.



Secara zhahir memang perundingan ini merugikan pihak Republik sementara bagi Belanda ini merupakan suatu keuntungan karena wilayah kekuasaannya semakin bertambah bahkan seakan-akan Agresi pertamanya itu dapat dibenarkan dan dilegitimasi. Perundingan ini pun membawa dampak baru bagi pihak Republik. Selain Belanda, pihak Republik juga harus menghadapi rongrongan dari internal RI sendiri.

Atas perundingan yang merugikan itu terjadilah Pemberontakan PKI di Madiun 1948 yang dipimpin oleh Muso dan Amir Sjarifuddin. Selain itu, Gerakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat juga dimulai. Kartosuwirjo, bersama dengan laskar-laskar perjuangannya (Laskar Hizbullah dan Sabillah) memilih tetap bertahan di Jawa Barat dan tidak mentaati ketentuan untuk hijrah ke Yogyakarta (wilayah RI yang mendapat pengakuan pasca Perundingan Renville) bersama komponen perjuangan lainnya.

Perjanjian Hudaibiyah.
Jika dilihat sepintas, perundingan Renville sebenarnya adalah pengulangan sejarah. Perundingan serupa juga pernah terjadi di zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Perundingan itu kita kenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh keinginan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam dan kaum Muslimin Madinah ketika itu untuk melaksanakan ibadah umrah di Masjidil Haram Makkah, dimana Makkah masih berada di bawah kekuasaan Kafir Quraisy. Kemudian niat untuk umrah tersebut terhalang oleh bala tentara Kafir Quraisy di Hudaibiyah, lalu antara kaum Muslimin dan Kafir Quraisy melaksanakan sebuah perjanjian damai.

Isi dari perjanjian damai itu antaralain:

1. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam kembali pulang bersama kaum Muslimin pada tahun ini dan tidak memasuki kota Makkah. Beliau baru bisa memasukinya pada tahun depan. Kemudian beliau diizinkan menetap selama tiga hari dengan tidak membawa senjata kecuali sebilah pedang yang berada di dalam sarung pedangnya.

2. Dilakukan gencatan senjata antara kedua belah pihak selama 10 tahun.

3. Barangsiapa ingin bergabung dengan pihak Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam maka ia bisa masuk ke dalamnya. Dan barangsiapa ingin bergabung dengan pihak Quraisy, maka ia pun bisa masuk ke dalamnya.

4. Barangsiapa dari kalangan Quraisy yang lari meminta perlindungan kepada kaum Muslimin, maka kaum Muslimin harus mengembalikannya kepada Quraisy. Sedangkan barangsiapa dari kalangan Muslimin yang lari meminta perlindungan kepada Quraisy, maka Quraisy tidak mengembalikannya.



Setelah ditandatanganinya perjanjian Hudaibiyah itu, kaum Muslimin diliputi kekecewaan yang mendalam karena dua hal, yakni:

1. Harus kembalinya mereka tanpa bisa menunaikan umrah.

2. Tidak adanya kesetaraan (dalam ketentuan perjanjian) antara kedua belah pihak. Kaum Muslimin harus mengembalikan orang yang datang berlindung kepada mereka, sedangkan pihak Quraisy tidak diharuskan untuk mengembalikan seorang Muslim yang meminta perlindungan.



Meskipun demikikan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam melihat ada kemaslahatan dari perjanjian ini. Beliau memiliki pertimbangan bahwa orang yang keluar dari Kaum Muslimin lalu bergabung dengan Quraisy, maka sungguh ia telah dijauhkan oleh Alloh. Sedangkan orang yang datang dari mereka (ingin bergabung dengan kaum Muslimin), maka Alloh memberikan kemudahan dan jalan keluar. Ini juga didasarkan pandangan jangka panjang. Sejumlah kaum Muslimin yang tinggal di Habasyah (Ethiopia) sendiri tidak terkena perjanjian ini sehingga memungkinkan bagi orang-orang yang tertahan di Makkah untuk pergi berlindung kepada mereka.

Jadi seharusnya sikap yang harus diambil oleh Kartosuwirjo maupun siapa-siapa saja yang kecewa atas perundingan Renville itu adalah mengikuti sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika menyikapi hasil Perjanjian Hudaibiyah yang disatu sisi memang merugikan kaum Muslimin. Tetapi memang demikianlah yang terjadi, sebagian kecewa hingga melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan yang sah.

Perundingan Renville memang terjadi bukan pada zaman Nabi maupun Sahabat tetapi di masa-masa dimana fitnah dan perselisihan sudah banyak bertebaran. Suatu kondisi yang telah digambarkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam, dalam sabda beliau:

“Karena orang-orang yang hidup sesudahku niscaya akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing dan lurus. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu”


(HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Demikian pula dengan Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 70 – 71)

Serta Firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. ” (QS. An Nisa’: 59)

Inilah sikap yang seharusnya diambil oleh Kartosuwirjo dkk. jika memang ia mengaku berpegang kepada Al Qur’an dan Sunnah. Bukannya malah melakukan pemberontakan dan membuat pemerintahan tandingan.

Wallohu A’lam.

Referensi:

* Al Qur’an dan Terjemahan (Hadits Web 3.0).

* Agresi Militer Belanda I (http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:xLCO8PddSJUJ:indopedia.gunadarma.ac.id/pdf.php%3Fcat%3D18%26id%3D5485%26lang%3Did+agresi+militer+belanda+I&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShqoZldzMAy6cKl6m6VhgBcaxzUegXE8UsPSjIIc0P-x_pqncR_Ha1jQf0rbr_zkEVxvibjiAHqM4xPnrbg2OTd-WH2nzIKrfeIJlzCFh5SwUIbRBwPRP5ucXPDBJzeUvpUPu1V&sig=AHIEtbQdDtWcDVx3fe68E3NC4oBNF2ViWg)

* Perundingan Renville (http://id.wiki.detik.com/wiki/Perundingan_Renville)

* Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury. 2009. Sirah Nabawiyah: Taman Cahaya di Atas Cahaya Perjalanan Hidup Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam. Penerbit Ash Shaf Media – Tegal.

Senjata yang Paling Ampuh

Penulis: Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani

Wahai para hamba Allah, sidang jum’at yang dimuliakan oleh Allah

Sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini akan dipenuhi oleh berbagai cobaan dan rintangan. Maka tak ada tempat berlindung kecuali hanya kepada Allah semata. Setiap urusan dan perkara bergantung kepada kehendak dan kekuaasan-Nya. Tak ada yang bisa memberi kemaslahatan dan menghindarkan dari bahaya kecuali hanya Dzat-Nya dan tak ada sekutu bagi-Nya.
Oleh karena itu, bertawakal kepada Allah merupakan senjata ampuh bagi kaum mukminin dalam menghadapi berbagai tantangan hidup yang waktu demi waktu semakin tajam. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an:
وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“ dan hanya kepada Allah, kaum mukminin bertawakal.” (Ali Imran: 122)
Ayat ini menunjukkan bahwa bagi kaum mukminin, tak ada yang bisa memberikan rasa aman, kemaslahatan, dan perlindungan dari berbagai marabahaya, kecuali hanya Allah semata. Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159)

Sesungguhnya setiap urusan yang akan diperbuat oleh setiap hamba sangat membutuhkan kepada pertolongan dan kemudahan dari Allah Ta’ala. Yang bisa mewujudkannya hanya Allah saja dan tidak yang selainnya. Maka bagi kaum mukminin, Allah Ta’ala merupakan tempat menggantungkan diri dalam menghadapi segala urusan yang mereka lakukan di dunia ini. Sehingga keinginan, harapan, dan tujuan mereka tercapai dan terpenuhi dengan seizin Allah.
Sebagai bentuk tawakal kepada Allah, hendaknya setiap perkara baik yang akan dilakukan oleh seorang mukmin, diawali dengan ucapan ’bismillah’ untuk memohon pertolangan dan kemudahan dari Allah. Inilah madzhab ahlus sunnah dalam memaknai ucapan ’bismillah’ dari seorang hamba yang tunduk kepada Dzat yang Maha kuasa.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3)

Maka seluruh perkara berada di tangan Allah yang memiliki seluruh alam ini. Allah ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi, kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan seluruhnya, maka sembahlah dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Robmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (Hud: 123)

Khutbah yang kedua

Wahai para hamba Allah, sidang jum’at yang dimuliakan oleh Allah …

Dalam sebuah hadits, dari sahabat Abu huroiroh radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيّ خَيْرٌ وَأَحَبّ إِلَىَ اللّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضّعِيفِ. وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ.
“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah daripada seorang mukmin yang lemah, dan pada masing-masingnya ada kebaikan.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa kekuatan seorang hamba adalah pada keimanannya. Oleh sebab itu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkaitkan keimanan dengan kekuatan seorang hamba. Maka jika keimanan seorang hamba bertambah kuat, niscaya dirinya akan semakin dicintai oleh Allah daripada seorang hamba yang lemah keimanannya.
Lalu darimanakah bermula kekuatan iman bagi seorang hamba? Kekuatan iman yang sangat besar akan lahir dari bertawakal kepada Allah. Sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian salaf: “Barangsiapa yang ingin menjadi seorang hamba yang kuat (keimanannya), maka hendaklah dia bertawakal kepada Allah”. Ucapan ini mensiratkan bahwa tawakal kepada Allah mendatangkan kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, keimanan seorang hamba akan menjadi kuat dengan bertawakal kepada Allah subhanahu wa Ta’ala.
Tawakal di dalam Islam memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ibnu Qayyim rohimahulah berkata dalam kitabnya ”Madarijus Salikin”: “Bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan setengah dari agama”. Ini menunjukkan bahwa bertawakal kepada Allah memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam.
Apakah yang dimaksud dengan bertawakal kepada Allah? Bertawakal kepada Allah yaitu seorang hamba benar-benar menyandarkan dan mempasrahkan dirinya kepada Allah di dalam menggapai berbagai kemaslahatan atau menolak berbagai marabahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Maka inilah yang disebut dengan bertawakal kepada Allah. Dengan bertawakal kepada Allah, seorang hamba akan memiliki kekuatan iman dalam meraih seluruh yang dinginkannya dari segala kebaikan dunia maupun akherat.
Allah ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Dan bertakwalah kalian kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal.” (Al-Maidah: 11)
Bagi seorang yang tidak bertawakal kepada Allah, maka cobaan yang kecil sekalipun akan mampu menggoncangkan keimanannya. Perkara yang sedikit sekalipun akan bisa memalingkannya dari menghadap Allah ta’ala. Semua itu karena dia telah kehilangan tawakal kepada Allah secara keseluruhan atau sebagiannya.
Pernyataan Allah pada ayat diatas: “Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal”, ini menunjukkan bahwa seorang yang lemah keimanannya akan berkurang tawakalnya dan seorang yang lemah tawakalnya akan berkurang keimanannya. Maka tidak ada keimanan bagi seorang yang sama sekali tidak bertawakal kepada Allah.
Wallahua’lam bi shawab.

http://alhujjah.wordpress.com/2008/02/01/senjata-yang-paling-ampuh/

Penyimpangan Dan Larinya Para Pemuda Dari Nilai Agama

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah penyebab penyimpangan dan larinya kebanyakan generasi muda dari nilai-nilai agama ?

Jawaban
Penyimpangan dan larinya kebanyakan generasi muda dari segala yang berkaitan dengan nilai-nilai agama seperti yang anda sebutkan disebabkan banyak hal : Yang paling prinsip adalah kurangnya ilmu dan bodohnya mereka terhadap hakekat Islam dan keindahannya, tidak ada perhatian terhadap Al-Qur’an Al-Karim, kurangnya pendidik yang memiliki ilmu dan kemampuan untuk menjelaskan hakekat Islam kepada generasi muda, menjelaskan segala tujuan dan kebaikannya secara terperinci yang bakal didapatkan di dunia dan akhirat.

Ada beberapa penyebab yang lain, seperti lingkungan, radio dan telepon, rekreasi keluar negeri, dan bergabung dengan kaum pendatang yang memiliki aqidah yang batil, akhlak yang menyimpang, dan kebodohan yang berlipat ganda, hingga faktor-faktor lainnya yang menyebabkan mereka lari dari Islam dan mendorong mereka dalam pengingkaran dan ibahiyah (permisivisme). Pada posisi ini, banyak generasi muda yang bergabung, hati mereka kosong dari ilmu-ilmu yang bermanfaat dan aqidah-aqidah yang benar, datangnya keraguan, syubhat, propaganda-propaganda menyesatkan dan syahwat-syahwat yang menggiurkan. Akibat dari semua ini adalah yang telah kamu sebutkan dalam pertanyaan berupa penyimpangan dan larinya kebanyakan pemuda dari segala hal yang mengandung nilai-nilai Islam. Alangkah indahnya ungkapan dalam pengertian ini.

“Hawa nafsu datang kepadaku, sebelum aku mengenalnya. Maka ia mendapatkan hati yang kosong, lalu menetap (di dalamnya)”

Dan yang lebih mantap’ lebih benar dan lebih indah dari ungkapan itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Terangkan kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” [Al-Furqan : 43-44]

Menurut keyakinan saya, pengobatannya bervariasi menurut jenis penyakitnya, yang terpenting adalah memberikan perhatian terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah, ditambah lagi adanya guru, direktur, pengawas dan metode yang shalih, melakukan reformasi terhadap berbagai sarana informasi di Negara-negara Islam, dan membersihkan dari ajakan kepada ibahiyah, akhlak yang tidak Islami, berbagai macam pengingkaran dan kerusakan yang ada padanya, apabila para pelaksananya adalah orang-orang yang jujur dalam dakwah Islam, dan memiliki keinginan dalam mengarahkan rakyat dan generasi muda kepadanya. Di antaranya adalah memprioritaskan perbaikan lingkungan dan membersihkannya dari berbagai wabah yang ada padanya.

Termasuk pengobatan juga adalah larangan melancong ke luar negeri kecuali karena terpaksa. Dan perhatian terhadap organisasi-organisai Islam yang bersih, serta terarah lewat perantara berbagai sarana informasi, para guru, da’i dan para khatib. Aku memohon kepada Allah agar memberikan nikmat atas hal itu, membimbing para pemimpin umat Islam, memberikan taufiq kepada mereka untuk memahami dan berpegang dengan agama, dan melawan sesuatu yang menyalahi dengan jujur, ikhlas, usaha yang berkesinambungan. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar serta Dekat.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Jilid V hal, 253-256. Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

True Story: Kisah Seorang Pemuda Arab Yang Menimba Ilmu Di Amerika

Alkisah ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, ia berk-nalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.

Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan. Namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk.

Di saat itu si pendeta agak terbelalak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, “Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini.” Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, “Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya.” Barulah pemuda ini beranjak keluar.



Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pendeta, “Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim.” Pendeta itu menjawab, “Dari tanda yang terdapat di wajahmu.” Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut.

Sang pendeta berkata, “Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menja-wabnya dengan tepat.” Si pemuda tersenyum dan berkata, “Silahkan!

Sang pendeta pun mulai bertanya, “Sebutkan satu yang tiada duanya, dua yang tiada tiganya, tiga yang tiada empatnya, empat yang tiada limanya, lima yang tiada enamnya, enam yang tiada tujuhnya, tujuh yang tiada delapannya, delapan yang tiada sembilannya, sembilan yang tiada sepuluhnya, sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh, sebelas yang tiada dua belasnya, dua belas yang tiada tiga belasnya, tiga belas yang tiada em-pat belasnya. Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh! Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya? Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyu-kainya? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu! Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api? Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar! Pohon apakah yang mempu-nyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?”

Mendengar pertanyaan tersebut pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah. Setelah membaca basmalah ia berkata,
-Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.

-Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman,
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami).” (Al-Isra’: 12).

-Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika me-negakkan kembali dinding yang hampir roboh.

-Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an.

-Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.

-Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ketika Allah SWT menciptakan makhluk.

-Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis. Allah SWT berfirman,
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (Al-Mulk: 3).

-Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah SWT berfirman,
”Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat men-junjung ‘Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka.” (Al-Haqah: 17).

-Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Musa j: tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang.*

-Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah ke-baikan. Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat.” (Al-An’am: 160).

-Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara-saudara Yusuf .

-Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu’jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah,
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.” (Al-Baqarah: 60).

-Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.

-Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Shubuh. Allah SWT ber-firman, “Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (At-Takwir: 18).

-Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.

-Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Yusuf , yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala.” Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, ” tak ada cercaaan ter-hadap kalian.” Dan ayah mereka Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

-Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” (Luqman: 19).

-Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.

-Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, “Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim.” (Al-Anbiya’: 69).

-Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).

-Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah tipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar.” (Yusuf: 28).

-Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari.

Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta. Pemuda ini berkata, “Apakah kunci surga itu?” mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.

Mereka berkata, “Anda telah melontarkan 22 pe-tanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab, sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!” Pendeta tersebut berkata, “Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah.” Mereka menjawab, “Kami akan jamin keselamatan anda.” Sang pendeta pun berkata, “Jawabannya ialah: Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Aasyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.”



Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugrahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertakwa.**

* Penulis tidak menyebutkan yang kesembilan (pent.)
** Kisah nyata ini diambil dari Mausu’ah al-Qishash al-Waqi’ah melalui internet, www.gesah.net

sumber: www.alsofwah.or.id

Dahsyatnya Sakaratul Maut

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar hamba-hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezaliman bersegera untuk meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.
Namun, berbagai peringatan dan pelajaran baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
“Tidaklah berita itu seperti orang yang melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Ash-Shahihah no. 135)
Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan, dengan sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali hamba-hamba-Nya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya:
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ. وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ. وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ. فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ. تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan’, hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya. ‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang dia rasakan karena sakaratul maut itu. ‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka’ (para malaikat). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, kenapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ. وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ. وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ. وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ. إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, dia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.
Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi ‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (Lihat Ash-Shahihah no. 132)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
فَلَا أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ لِأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 4446)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama rahimahumullah mengatakan bahwa apabila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul r, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ. أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ
“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)
Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:

1. Agar makhluk mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan dia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, dia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal dia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut –padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya– hal itu akan memupus anggapan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi –selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad–, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut1.

2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ
“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”
Maka jawabannya adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.”2
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)
Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri tugas untuk mencabut arwah hamba-hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga tidak ada di dalam Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu’.” (As-Sajdah: 11)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullahu berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ. ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللهِ مَوْلَاهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)
Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)

1 Beliau mengisyaratkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ
“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi)
2 Lihat Ash-Shahihah no. 143.

Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=807