Kamis, 18 Februari 2010

UNTUK APA KITA HIDUP

SEBUAH TANYA YANG LALAI UNTUK SELALU KITA JAWAB

Sahabatku di jalan Allah…

Bukalah lembar-lembar sejarah peradaban kita yang penuh cahaya. Di sana ada banyak hikmah yang mengagumkan. Tapi yang terpenting –setidaknya menurut hamba Allah yang lemah ini- adalah kecerdasan mereka menjawab “untuk apa kita hidup?” Perjalanan kita sudah sejauh ini. Mungkin jarak antara kita dengan alam barzakh tidak lagi sejauh jarak yang telah kita tempuh di hari-hari yang lalu. Hm, sudah sejauh ini. Berhentilah sejenak –meski harusnya tidak cukup hanya sejenak-. Tanyakanlah pertanyaan ini pada hatimu saat engkau sendiri, “Untuk apa kita hidup?”

Manusia-manusia agung seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, Al-Hasan Al-Bashri, Ahmad ibn Hanbal, -dan sebutlah nama-nama lainnya dengan bibirmu-. Menurutmu apa yang melebihkan mereka dari diri kita? Sekali lagi, menurutku karena mereka sangat cerdas menjawab pertanyaan ini dengan amal mereka. Hanya itu.

Sahabatku dalam perjuangan…

Suatu ketika, aku diizinkan oleh Allah untuk menyiapkan penerbitan sebuah buku tentang kehidupan seorang mujahid besar abad ini, Syekh Ahmad Yasin rahimahullah. Terus terang harus kuakui, saat membaca buku itu, aku seperti baru saja mengenal mujahid yang lumpuh itu. Aku malu. Dan itu bukan basa-basi. Aku benar-benar malu pada Syekh itu. Menurutmu, dengan sekujur tubuh yang lumpuh seperti itu, apa yang akan engkau lakukan untuk masa depanmu? (Ingatlah, aku tidak sedang bertanya tentang “apa yang akan engkau lakukan untuk ummat ini dengan kelumpuhan seperti itu?”). Mengucilkan diri. Atau mencoba tersenyum dan mencoba bersabar. Bukankah kita patut malu pada Syekh tua itu? Mengapa kita tidak malu, dengan tubuh yang sedemikian sehat ini saja kita tak pernah benar-benar serius memikirkan masa depan ummat, apalagi dengan segala kelumpuhan fisik.

Hari itu, saat aku usai membaca tentang Syekh Ahmad Yasin, aku mencatat dalam pengantarku untuk buku itu kalimat-kalimat berikut:
“’Hidup ini sesungguhnya untuk apa?’. Itulah pertanyaan yang seharusnya bergelayut dalam pikiran dan benak kita sepanjang hari. Tidak untuk apa-apa, hanya sekedar untuk mengingatkan kita, apakah kelak bila kematian menjemput, ada jejak yang patut kita banggakan di hadapan Allah Azza wa Jalla di yaumil hisab. Bukankah hingga usia kehidupan kita sejauh ini, kita masih selalu saja melupakan hal itu? Kilap kemilau dunia terlalu sering membuat kita lalai menyiapkan “jejak-jejak kebaikan” yang menebarkan semerbak wewangian mengagumkan di dunia dan di akhirat kelak.

Banyak orang yang hidup. Dan sudah banyak pula yang beranjak menjemput kematian. Ke mana mereka semuanya pergi? Entahlah. Banyak yang meninggalkan dunia, dan menyisakan jejak-jejak laknat pada generasi berikutnya. Dalam pentas sejarah, nama-nama seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab, dan Musailamah Al-Kadzdzab, adalah nama-nama yang menebarkan aroma laknat dan kejahatan. Sungguh jauh, ya, sangat jauh dengan aroma rahmat yang ditebarkan oleh Musa, Muhammad, Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar ibn Al-Khathab dan kafilah yang mengikuti mereka.

Banyak orang yang hidup. Fisik mereka sehat dan sempurna. Tapi saat kematian menghampiri, hampir tak satupun jejak-jejak kebaikan yang dapat dikenang dari mereka. Mereka pergi begitu saja dari dunia ini, tanpa ada yang kehilangan. Ada yang menangisi, tapi hanya untuk beberapa saat. Setelah itu, nama dan jejak mereka tak lagi pernah disentuh. Miris. Tentu saja. Tapi mungkin seperti itulah akhir hayat manusia yang tak pernah bertanya dengan jujur, “Hidup ini sesungguhnya untuk apa?”.

Dulu –tapi belum lama-, seorang pria tua dan lumpuh pernah hidup di antara reruntuhan negri dan bangsanya. Bagi manusia berhati lemah, reruntuhan itu mungkin tak akan pernah menyisakan harapan. Tapi tidak bagi “manusia berjiwa langit” ini. Kekuatan hatinya terlalu perkasa untuk dikalahkan oleh kelumpuhan fisiknya. Lihatlah wajah dan senyumnya! Dari situ saja, engkau akan mendapatkan energi kehidupan. Kekuatan dan energi itulah yang membuatnya menjadi manusia paling ditakuti oleh bangsa paling “cerdik” (baca: cerdas tapi licik) di dunia, Israel. Padahal menggerakkan tangannya saja ia tak sanggup, apalagi menarik pelatuk senjata.

Dan hari itu, 22 Maret 2004, di sebuah subuh yang dingin, pria tua dan lumpuh itu meraih impian tertingginya. Ketakutan Israel yang semakin membuncah mendorong mereka untuk menembakkan rudal dari sebuah helikopter Apache buatan Amerika…hanya untuk membunuh seorang kakek yang bahkan untuk menggerakkan kepalanya saja ia tak sanggup. Subuh yang dingin itu menjadi saksi. Tembok-tembok rumah yang terciprat darah itu pun kelak menjadi saksi, bahwa di tanah itu, seorang “panglima berkursi roda” memenuhi janji Tuhannya.

Ahmad Yasin, nama kakek tua yang lumpuh itu. Ada banyak kata untuknya. Dan buku kecil ini adalah “sedikit kata” tentangnya. Jika hingga detik ini, Anda belum juga menemukan jawaban untuk “Hidup ini sesungguhnya untuk apa?”, bacalah buku ini. Insya Allah, Anda akan mengerti bagaimana seharusnya menjalani hidup, lalu kelak meninggalkan jejak-jejak semerbak di dunia dan di akhirat.” (Pengantar buku Syekh Ahmad Yasin; Syahid yang Membangunkan Ummat , hal.ix-xi)

Sahabatku…

Setiap kali aku membaca kalimat-kalimat yang kutulis sendiri itu, setiap kali itu pula aku perasaan malu dalam jiwaku membuncah. Entah apa yang sanggup kita katakan? Tubuh yang sempurna ini, bukankah kelak ia akan ditanya tentang apa yang telah kita perbuat dengannya? Mata yang indah ini, wajah yang sempurna ini, bibir yang cantik ini, kedua tangan yang lengkap ini, kedua kaki yang tegap melangkah ini; Sahabat, tentang semua nikmat ini, bukankah kita akan dihisab?? Tapi sejauh ini, jejak kebaikan apakah yang telah kita tinggalkan melalui setiap anggota tubuh dan panca indera kita yang luar biasa kenikmatannya itu?

Kita seringkali ditanya, dan jawaban kita pun menjadi klise belaka, “Hidup ini untuk beribadah.” Benarkah? Maksudku, benarkah jawaban itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh
meyakininya? Atau mungkin itu hanya menjadi –seperti biasa- pemanis bibir kita saja, terutama karena orang lain sudah terlanjur menganggap kita manusia shaleh kekasih Tuhan? Ah, sudahlah…Ini semakin membuatku malu. Seorang ulama salaf pernah mengungkapkan pada muriid-muridnya –ia heran mengapa mereka begitu betah duduk bersamanya-, “Seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan aroma yang busuk dari para pelakunya, maka pasti kalian tidak akan berlama-lama duduk di majlisku ini.” Demikian ungkapnya. Lalu kita, ya, kita, sahabat, apa yang akan kita katakan?

Sahabatku…

Maka mulailah menghitung jejak-jejak yang tersisa. Dan jangan pernah bosan untuk bertanya di setiap jejak-jejak itu, “Untuk apa aku hidup? Jejak apakah yang nanti akan tertoreh dalam catatan amalku?” Ingatlah, di kehidupan abadi itu sudah pasti kita tidak akan bersama lagi. Karena aku dan kau, setiap kita hanya akan mempertanggungjawabkan semua secara sendiri-sendiri. Yah, sendiri-sendiri. Tidak ada ayah, ibu, anak, istri, saudara atau sahabat seperjuangan. Hanya aku sendiri. Dan engkau pun sendiri. Sungguh menakutkan. Dan terlalu mencekam.

Cipinang Muara, 19 Rajab 1426H
Muhammad Ihsan Zainuddin

0 komentar:

Posting Komentar