Rabu, 17 Februari 2010

Adab Berpakaian

Pakaian merupakan salah satu nikmat sangat besar yang Allah berikan kepada para hambanya, Islam mengajarkan agar seorang muslim berpakain dengan pakaian islami dengan tuntunan yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Berikut ini adalah adab-adab berkenaan dengan berpakaian yang sepantasnya diketahui oleh seorang muslim.

Mendahulukan yang Kanan

Di antara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mendahulukan yang kanan ketika memakai pakaian dan semacamnya. Dalil pokok dalam masalah ini, dari Aisyah Ummul Mukminin beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan ketika bersuci, bersisir dan memakai sandal.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam redaksi muslim dikatakan, “Rasulullah menyukai mendahulukan yang kanan dalam segala urusan, ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci.”

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini mengandung kaidah baku dalam syariat, yaitu segala sesuatu yang mulia dan bernilai maka dianjurkan untuk mendahulukan yang kanan pada saat itu semisal memakai baju, celana panjang, sepatu, masuk ke dalam masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku, menggunting kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, menggundul kepala, mengucapkan salam sebagai tanda selesai shalat, membasuh anggota wudhu, keluar dari WC, makan dan minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad dan lain-lain. Sedangkan hal-hal yang berkebalikan dari hal yang diatas dianjurkan untuk menggunakan sisi kiri semisal masuk WC, keluar dari masjid, membuang ingus, istinjak, mencopot baju, celana panjang dan sepatu. Ini semua dikarenakan sisi kanan itu memiliki kelebihan dan kemuliaan.” (Syarah Muslim, 3/131)

Adab Memakai Sandal

Yang sesuai sunnah berkaitan dengan memakai sandal adalah memasukkan kaki kanan terlebih dahulu baru kaki kiri. Ketika melepas kaki kiri dulu baru kaki kanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian memakai sandal, maka hendaklah dimulai yang kanan dan bila dicopot maka hendaklah mulai yang kiri. Sehingga kaki kanan merupakan kaki yang pertama kali diberi sandal dan kaki terakhir yang sandal dilepas darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan Hanya Memakai Satu Sandal

Demikian pula seorang muslim dimakruhkan hanya menggunakan satu buah sandal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika tali sandal kalian copot maka janganlah berjalan dengan satu sandal sehingga memperbaiki sandal yang rusak.” (HR. Muslim)

Demikian pula dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian berjalan menggunakan satu sandal. Hendaknya kedua sandal tersebut dilepas ataukah keduanya dipakai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perlu diketahui bahwa dua hal di atas hukumnya adalah dianjurkan dan tidak wajib. Oleh karena itu, orang yang mendapatkan masalah dengan alas kakinya karena tali sandal copot maka hendaknya berhenti sejenak untuk memperbaiki sandal tersebut untuk melepas semua sandal lalu melanjutkan perjalanan. Tidak sepantasnya bagi seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun hukumnya makruh dan tidak sampai derajat haram. Hendaknya kita berlatih dan membiasakan diri untuk mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir dan bathin sehingga mendapatkan kemuliaan karena ittiba’ dengan sunnah Nabi secara hakiki.

Sebenarnya, makna eksplisit dari larangan memakai satu sandal adalah menunjukkan hukum haram andai tidak terdapat pernyataan Imam Nawawi yang mengklaim bahwa memakai dua sandal sekaligus itu disepakati sebagai perkara yang dianjurkan dan tidak wajib. Dalam Riyadhus Shalihin beliau memberi judul untuk hadits-hadits di atas dengan hukum makruh saja. Maka keabsahan nukilan ini perlu dikaji dengan lebih seksama jika ternyata tidak benar maka makna eksplisit larangan dan berbagai penjelasan ulama tentang motif larangan ini menunjukkan bahwasanya menggunakan satu alas kaki saja itu hukumnya haram.

Perkataan Para Ulama Tentang Sebab Pelarangan Tersebut

Mengenai larangan berjalan dengan satu sandal, para ulama memberikan beragam keterangan tentang motif Nabi dengan larangan tersebut. Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama mengatakan sebab larangan tersebut adalah karena menyebabkan pemandangan yang tidak pantas dilihat. Nampak cacat dan menyelisihi sikap wibawa. Di samping itu, kaki yang bersandal jelas lebih tinggi daripada kaki yang lain. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan saat berjalan. Bahkan boleh jadi menyebabkan terpeselet. (Syarah Muslim, 14/62)

Sedangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 10/309-310 mengatakan, “Al-Khithabi menyatakan bahwa hikmah larangan menggunakan satu sandal adalah karena itu berfungsi menjaga kaki dari gangguan duri atau semisalnya yang ada di tanah. Jika yang bersandal hanya salah satu kaki maka orang tersebut harus ekstra hati-hati untuk menjaga kaki yang lain, satu hal yang tidak perlu dilakukan untuk kaki yang bersandal. Kondisi ini menyebabkan gaya berjalan orang ini tidak lagi lumrah dan tidak menutup kemungkinan dia bisa terpeleset. Ada yang berpendapat hal itu dilarang karena tidak bersikap adil terhadap anggota badan dan boleh jadi orang yang berjalan dengan satu sandal dinilai oleh sebagian orang sebagai orang yang akalnya bermasalah. Sedangkan Ibnul Arabi mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut terlarang karena itu merupakan gaya setan berjalan. Ada pula yang berpendapat karena sikap tersebut merupakan sikap yang tidak wajar dan lumrah. Di sisi lain, Al-Baihaqi berkomentar bahwa hukum makruh karena memakai satu sandal adalah disebabkan hal tersebut merupakan pemicu popularitas. Banyak mata akan tertarik memandangi orang yang berperilaku aneh seperti itu dan terdapat hadits yang melarang pakaian yang menyebabkan popularitas. Karenanya segala sesuatu yang menyebabkan popularitas sangat berhak untuk dijauhi.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan menggunakan satu sandal.” (HR. Thahawi dalam Musykil Al-atsar, Al-Albani mengatakan setelah menyebutkan sanadnya ini adalah sanad yang shahih, seluruh perawinya adalah orang-orang yang tsiqah, perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim selain ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi namun beliau juga seorang yang kredibel.” (Silsilah shahihah no. 348). Dengan hadits ini jelaslah bagi kita motif dari larangan Nabi untuk berjalan dengan satu sandal karena itulah gaya berjalannya setan. Jika demikian, maka kita tidak perlu memaksa-maksakan diri dan mencari-cari motif pelarangan.

Termasuk Sunnah Adalah Kadang-kadang Berjalan Tanpa Alas Kaki

Namun perlu diketahui bahwa termasuk sunnah Nabi adalah berjalan tanpa alas kaki kadang-kadang, dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pergi menemui Fudhalah bin Ubaid yang tinggal di Mesir. Setelah tiba dia berkata kepada Fudhalah, “Kedatanganku ini bukanlah dengan maksud berkunjung akan tetapi aku mendengar demikian pula engkau sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya. Fudhalah bertanya, “Hadits apa yang engkau maksudkan?” Orang tadi mengatakan, “Demikian dan demikian,” Orang tersebut lalu bertanya, “Kenapa ku lihat rambutmu tidak tersisir rapi padahal engkau adalah seorang penguasa.” Fudhalah mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah melarang kami untuk terlalu sering bersisir.” “Lalu mengapa aku tidak melihatmu memakai sandal?” Tanya orang tersebut. Fudhalah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk kadang-kadang berjalan tanpa alas kaki.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Memilih Pakaian Warna Putih

Warna pakaian yang dianjurkan untuk laki-laki adalah warna putih. Tentang hal ini terdapat hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian yang berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan jadikanlah kain berwarna putih sebagai kain kafan kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud dll, shahih)

Dari Samurah bin Jundab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian berwarna putih karena itu lebih bersih dan lebih baik dan gunakanlah sebagai kain kafan kalian.” (HR . Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah, shahih)

Tentang hadits di atas Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkomentar, “Benarlah apa yang Nabi katakan karena pakaian yang berwarna putih lebih baik dari warna selainnya dari dua aspek. Yang pertama warna putih lebih terang dan nampak bercahaya. Sedangkan aspek yang kedua jika kain tersebut terkena sedikit kotoran saja maka orang yang mengenakannya akan segera mencucinya. Sedangkan pakaian yang berwarna selain putih maka boleh jadi menjadi sarang berbagai kotoran dan orang yang memakainya tidak menyadarinya sehingga tidak segera mencucinya. Andai jika sudah dicuci orang tersebut belum tahu secara pasti apakah kain tersebut telah benar-benar bersih ataukah tidak. Dengan pertimbangan ini Nabi memerintahkan kita, kaum laki-laki untuk memakai kain berwarna putih.

Kain putih disini mencakup kemeja, sarung ataupun celana. Seluruhnya dianjurkan berwarna putih karena itulah yang lebih utama. Meskipun mengenakan warna yang lainnya juga tidak dilarang. Asalkan warna tersebut bukan warna khas pakaian perempuan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan. Demikian pula dengan syarat bukan berwarna merah polos karena nabi melarang warna merah polos sebagai warna pakaian laki-laki.Namun jika warana merah tersebut bercampur warna putih maka tidaklah mengapa.” (Syarah Riyadus Shalihin, 7/287, Darul Wathon)

Pakaian Berwarna Merah?

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, Rasulullah pernah melihatku mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur maka Nabi menegurku dengan mengatakan, “Ini adalah pakaian orang-orang kafir jangan dikenakan”. Dalam lafazh yang lain, Nabi melihatku mengenakan kain yang dicelup dengan ‘usfur maka Nabi bersabda, “Apakah ibumu memerintahkanmu memakai ini?” Aku berkata, “Apakah kucuci saja?” Nabipun bersabda, “Bahkan bakar saja.” (HR Muslim)

Menurut penjelasan Ibnu Hajar mayoritas kain yang dicelup dengan ‘ushfur itu berwarna merah (Fathul Bari, 10/318)

Dalam hadits di atas Nabi mengatakan “Apakah ibumu memerintahkanmu untuk memakai ini” hal ini menunjukkan pakain berwarna merah adalah pakaian khas perempuan sehingga tidak boleh dipakai laki-laki. Sedangkan maksud dari perintah Nabi untuk membakarnya maka menurut Imam Nawawi adalah sebagai bentuk hukuman dan pelarangan keras terhadap palaku dan yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.

Dari hadits di atas juga bisa kita simpulkan bahwa maksud pelarangan Nabi karena warna pakaian merah adalah ciri khas warna pakaian orang kafir. Dalam hadits di atas Nabi mengatakan “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir. Jangan dikenakan”.

Terdapat hadits lain yang nampaknya tidak sejalan dengan penjelasan di atas itulah hadits dari al Barra’, beliau mengatakan, “Nabi adalah seorang yang berbadan tegap. Ketika Nabi mengenakan pakaian berwarna merah maka aku tidak pernah melihat seorang yang lebih tampan dibandingkan beliau”.(HR Bukhari dan Muslim).

Jawaban untuk permasalahan ini adalah dengan kita tegaskan bahwa yang terlarang adalah kain yang berwarna merah polos tanpa campuran warna selainnya. Sehingga jika kain berwarna merah tersebut bercampur dengan garis-garis yang tidak berwarna merah maka diperbolehkan.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan adanya tujuh pendapat ulama tentang hukum memakai kain berwarna merah. Pendapat ketujuh, kain yang terlarang adalah berlaku khusus untuk kain yang seluruhnya dicelup hanya dengan ‘ushfur. Sedangkan kain yang mengandung warna yang selain merah semisal putih dan hitam adalah tidak mengapa. Inilah makna yang tepat untuk hadits-hadits yang nampaknya membolehkan kain berwarna merah karena tenunan yaman yang biasa Nabi kenakan itu umumnya memiliki garis-garis berwarna merah dan selain merah.

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunnah padahal itu sebuah kekeliruan karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan yaman sedangkan tenunan yaman itu tidak berwarna merah polos.” (Fathul Bari, 10/319)

Di samping diplih oleh Ibnu Qayyim, pendapat di atas juga didukung oleh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Kain berwarna merah yang Nabi pakai tidaklah berwarna merah polos akan tetapi kain yang garis-garisnya berwarna merah. Semisal istilah kain sorban merah padahal tidaklah seluruhnya berwarna merah bahkan banyak warna putih bertebaran di sana. Namun disebut demikian karena titik dan coraknya didominasi warna merah. Demikian pula sebutan kain tenun berwarna merah maksudnya garis-garisnya berwarna merah. Adapun seorang laki-laki memakai kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya maka itu adalah sesuatu yang dilarang oleh Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 7/288, Darul Wathon)

Pendapat di atas juga disepakati oleh Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Beliau mengatakan, “Terdapat banyak hadits yang melarang pakaian merah untuk laki-laki. Di antaranya adalah hadits yang diriwayarkan oleh Bukhari, ‘Sesungguhnya Nabi melarang kain berwarna merah’. Lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan bahwa beliau memakai kain berwarna merah?

Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa kain merah yang Nabi kenakan itu bukan merah polos tapi kain yang memiliki garis-garis berwarna merah dan hitam. Sehingga kelirulah orang yang memiliki praduga bahwa itu adalah kain berwarna merah polos dan tidak tercampur dengan warna selainnya. Karena kain yang mayoritas garis-garisnya berwarna merah itu disebut kain merah.

Kami dapatkan nukilan pendapat dari guru kami, Abdurrahman As Sa’di bahwa Nabi mengenakan kain berwarna merah untuk menjelaskan bahwa itu diperbolehkan.
Menurut hemat kami penggabungan yang diajukan oleh Ibnul Qoyyim itu lebih bagus karena larangan mengenakan kain berwarna merah polos itu keras lalu bagaimana mungkin beliau mengenakannya dengan maksud menjelaskan bahwa itu adalah suatu yang dibolehkan.” (Taisirul ‘Allam, 1/147)

Sedangkan tentang hal ini, Syaikh Salim Al Hilali memberikan uraian sebagai berikut. “Tentang memakai pakaian berwarna merah terdapat beberapa pendapat ulama’. Yang pertama membolehkan secara mutlak. Inilah pendapat dari ‘Ali, Tholhah, Abdullah bin Ja’far, Al Barra’ dan para shahabat yang lain. Sedangkan diantara tabiin adalah Sa’id bin Al Musayyib, An Nakha’I, Asy sya’bi, Abul Qilabah dan Abu Wa’il. Yang kedua melarang secara mutlak. Yang ketiga, hukum makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk warna merah yang reduh. Pendapat ini dinukil dari atho’, Thowus dan Mujahid. Pendapat keempat, hukum makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika dipakai dengan maksud semata berhias atau mencari populeritas namun diperbolehkan jika dipakai di rumah dan untuk pakaian kerja. Pendapat ini dinukil dari ibnu Abbas. Yang kelima, diperbolehkan jika dicelup dengan warna merah saat berupa kain baru kemudian ditenun dan terlarang jika dicelup setelah berupa tenunan. Inilah pendapat yang dicenderungi oleh Al Khathabi. Yang keenam, larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan ‘ushfur karena itulah yang dilarang dalam hadits sedangkan bahan pencelup selainnya tidaklah terlarang. Pendapat ketujuh, yang terlarang adalah warna merah membara bukan semua warna merah dan pakaian tersebut digunakan sebagai pakaian luar karena demikian itu adalah gaya berpakaian orang yang tidak tahu malu. Sedangkan pendapat terakhir, yang terlarang adalah jika kain tersebut seluruhnya dicelup dengan warna merah. Tapi jika ada warna selainnya, semisal putih dan merah maka tidak mengapa.

Aku (Syaikh Salim al Hilali) katakan, “Pendapat yang paling layak untuk diterima adalah pendapat terakhir. Dengannya hadits-hadits tentang pakaian Nabi yang berwarna merah bisa disinkronkan karena kain yang dikenakan Nabi itu tenunan Yaman yang pada umumnya memiliki garis-garis merah dan selainnya…… Sedangkan pendapat-pendapat yang lain itu kurang tepat. Pendapat pertama bisa dibantah dengan penjelasan bahwa kain berwarna merah yang dimaksudkan itu tidak polos. Pendapat kedua juga keliru karena jelas nabi memiki kain berwarna merah. Sedangkan pendapat ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh adalah pendapat-pendapat yang memberikan rincian tanpa dalil dan menghukumi dalil tanpa dalil.” (Bahjatun Nazhirin, 2/81-82)

Berdasarkan uraian panjang lebar di atas jelaslah bahwa kain sorban merah yang biasa dikenakan orang-orang saudi bukan termasuk ke dalam hadits larangan berpakaian merah.

Haruskah Hitam?

Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?

Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.

عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ

Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya. Yang kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR. Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)

Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.

Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.

Yang pertama, sabda Nabi,

إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه

“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.

Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut ini:

عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا

Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)

Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?”. Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid).” Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga awet.” Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata, “Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823)

Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam.

Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)

Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.

Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi yang lewat.

Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:

* Dari Ibrahim an Nakha’I, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah.
* Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca:berwarna merah).
* Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)
* Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).

Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.

Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:

1. Pakaian yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna warni).
2. Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).

Al Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di mana-mana”(Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).

Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).

Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:

1. Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam (HR Muslim)

Serba Serbi Seputar Warna

Jilbab Putih

Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?”

Jawaban Lajnah Daimah, “Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna putih.

Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).

Pakaian Perhiasan

Dalam edisi yang lewat, telah kita bahas tentang salah satu yang terlarang untuk pakaian perempuan yaitu bukan perhiasan dan telah kita sebutkan dua kriteria untuk mengetahui hal tersebut. Namun beberapa waktu yang lewat kami dapatkan penjelasan yang lebih tepat mengenai hal ini. Tepatnya dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Puncak, Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).

Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah: “Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (‘urf ).”

Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan.

Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.

Pakaian Hitam untuk Khatib Jum’at

Tidak dijumpai kata mufakat di antara para ulama’ mengenai warna pakaian yang paling utama bagi seorang khatib, warna hitam ataukah putih. Terdapat dua pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama, menganjurkan warna hitam. Ini merupakan pendapat sebagian ulama’ bermazhab Hanafi. Mereka beralasan bahwa hal itu merupakan bentuk meneladani perilaku para khalifah yang sudah turun temurun di berbagai masa dan daerah.

Dalam Syarh al Multaqa, “Dianjurkan mengenakan pakaian berwarna putih, demikian pula yang berwarna hitam karena warna hitam merupakan simbol para khalifah bani abbasiah dan ketika Nabi berhasil menundukkan kota Mekah, Nabi mengenakan sorban berwarna hitam.”

Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Nabi memiliki sorban berwarna hitam yang beliau kenakan pada saat dua hari raya. Ujung sorban beliau biarkan terjulur di punggung beliau. (al Kamil, karya Ibnu Adi 6/2113 dari Jabir, lihat pula Raddul Muhtar, 3/21).

عَنْ عَمْرِو بْنِ حُرَيْث أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

“Dari Amr bin Huraits, sesungguhnya Rasulullah berkhutbah dengan mengenakan sorban berwarna hitam.” (HR. Muslim)

Namun setelah dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lain disimpulkan bahwa kejadian ini terjadi pada saat penaklukan kota Mekah.

“Seakan aku ingat Rasulullah yang sedang berkhutbah di atas mimbar dengan bersorban hitam. Ujung sorban beliau biarkan di antara kedua pundak beliau.” (HR. Muslim)

Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama’ yaitu warna putih merupakan warna yang dianjurkan baik untuk khatib ataupun bukan.

Imam Syafi’i mengatakan, “Warna yang paling aku sukai adalah warna putih.” (al Umm, 1/337)

Al Mawardi mengatakan, “Di antara kebiasaan Nabi dan para khalifah yang empat memakai pakaian yang berwarna putih.” (lihat al Hawi al Kabir, 2/440)

Imam Nawawi berkata, “Hendaknya khatib mengenakan pakaian terbaik yang dia miliki dan yang paling utama adalah yang berwarna putih.” (al Majmu’, 4/368)

Ibnu Qudamah berkata, “Pakaian yang paling utama adalah pakaian yang berwarna putih karena Nabi bersabda, ‘Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang berwarna putih. Gunakanlah sebagai pakaian kalian dan kain kafan kalian.” (al Mughni, 3/229)

Jika kita cermati sabda Nabi maka beliau menyebutkan bahwa pakaian yang terbaik adalah pakaian yang berwarna putih. Sedangkan secara praktek, Nabi mengenakan pakaian berwarna hitam namun tanpa dikaitkan dengan hari Jum’at.

Dari Aisyah, beliau bertutur, “Pada suatu pagi Nabi keluar rumah dengan berselimutkan pakaian berwarna hitam.” (HR. Muslim)

Dari Jabir, “Sesungguhnya ketika Nabi memasuki kota Mekkah pada saat Fathu Mekkah beliau mengenakan sorban berwarna hitam.” (HR Muslim)

“Sesungguhnya Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat saat Fathu Makkah dengan bersorban hitam.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah, “Kubuatkan untuk Rasulullah pakaian berwarna hitam lalu beliau kenakan. Ketika beliau berkeringat, beliau dapatkan bau wol lalu beliau campakkan pakaian tersebut karena beliau menyukai bau yang harum.” (HR. Ahmad)

Belum kita dapatkan satupun hadits yang menjelaskan bahwa Nabi memakai pakaian berwarna putih ataupun hitam. Yang kita dapatkan adalah hadits-hadits yang bersifat umum tanpa dikaitkan dengan hari Jum’at.

Tapi jika dicermati dengan seksama, terdapat kaedah bahwa sabda Nabi itu berlaku untuk seluruh umat beliau. Sedangkan Nabi telah memotivasi agar memakai pakaian berwarna putih. Berdasarkan hal tersebut pakaian berwarna putih itu lebih utama. Akan tetapi jika terkadang, seorang khatib berpakaian serba hitam maka tidak apa-apa asal tidak dilakukan terus menerus karena terus menerus berpakaian hitam saat menjadi khatib Jum’at adalah bid’ah sebagaimana penegasan para ulama.

Al Mawardi mengatakan, “Yang pertama kali berkhutbah dengan berpakaian hitam-hitam adalah Bani Abbasiyyah pada masa pemerintahan mereka sebagai simbol mereka.” (al Hawi al Kabir, 2/440)

Ibnul Qayyim berkata, “Bani Abbasiyyah menjadikan warna hitam sebagai simbol bagi mereka, para gubernur, dan para penceramah mereka. Padahal Nabi tidak pernah memakai pakaian tertentu sebagai simbol beliau pada saat berhari raya, shalat Jum’at dan pertemuan dengan banyak orang. Akan tetapi kebetulan saat Fathu Mekkah beliau memakai sorban berwarna hitam, namun ini bukanlah pakaian para sahabat yang lain. Bahkan tidak semua pakaian Nabi berwarna hitam kala itu. Buktinya, kala itu bendara Nabi berwarna putih.” (Zaadul Ma’ad, 3/358)

Lebih jauh lagi, al Ghazali berpandangan makruhnya khatib berpakaian hitam. Beliau mengatakan, “Memakai pakaian berwarna hitam bukan termasuk sunnah Nabi dan tidak pula mengandung nilai lebih. Bahkan sejumlah ulama berpendapat bahwa memandang pakaian tersebut hukumnya makruh karena hal tersebut merupakan perkara yang diada-adakan setelah Rasulullah.” (Ihya’ Ulumid Din, 1/181)

Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Semata-mata warna hitam untuk seorang khatib bukanlah perkara yang makruh namun juga tidak dianjurkan karena pakaian yang paling Allah cintai adalah yang berwarna putih.” (Ihya’ Ulumud Din, 2/336)

0 komentar:

Posting Komentar